22 tahun operasi keamanan di Poso, bukan hanya tidak berhasil menangkap seluruh anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur ( MIT) tapi juga menimbulkan banyak persoalan. Lamanya waktu dan banyaknya operasi yang dipakai, juga adanya dugaan pelanggaran HAM.
Lamanya waktu dan banyaknya operasi untuk menyelesaikan perlawanan MIT, membuat banyak pihak di Poso gerah. Muncul penilaian Polisi tidak punya kemampuan menghadapi perlawanan gerilya kelompok yang kini dipimpin Ali Ahmad itu. Suara yang meragukan kemampuan Polisi memimpin operasi menangkap Ali dan anggota grupnya nyaring disuarakan oleh tokoh agama dan politisi.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai, pendapat masyarakat tentang operasi yang berlarut-larut itu sah-sah saja. Dia meminta aparat keamanan memberi penjelasan secara rutin mengenai kondisi dan tahapan operasi kepada publik. Penjelasan itu dilakukan bukan saat ada peristiwa saja.
“Sehingga masyarakat tidak bertanya-tanya dan mengembangkan spekulasi” kata Beka.
Sementara itu, pelanggaran HAM atas peristiwa salah tembak aparat keamanan kepada warga belum mendapatkan kepastian keadilan. Kasus salah tembak aparat keamanan dalam 5 tahun terakhir terjadi pada seorang anak muda Qidam Movance Alfaridzi (18) pada Kamis 9 April 2020; dan pada 2 petani, Syarifudin (25) dan Firman (17) pada 2 Juni 2020 saat sedang beristirahat di sebuah pondok tidak jauh dari kebun mereka. Salah tembak ini pula yang menyebabkan semakin kuat permintaan agar operasi pengejaran MIT segera diselesaikan secepat-cepatnya.
Beka, dalam wawancara bersama mosintuwu.com mengatakan, Komnas HAM meminta agar semua aparat keamanan bekerja serius dan sungguh-sungguh agar semua pelaku tertangkap. Yang terpenting menurutnya adalah bagaimana memutus mata rantai kekerasan. Komnas HAM, menurut Beka bertugas memastikan tidak ada pembiaran terhadap tindakan terorisme. Harus ada upaya negara, mulai dari aparat keamanan, penegak hukum, hingga pemerintah daerah untuk menangani masalah ini.
Soal desakan masyarakat agar operasi keamanan segera diselesaikan. Beka mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam operasi keamanan yang sekarang bernama Operasi Madago Raya. Pertama, memperkuat koordinasi Polri dan TNI. Ini penting untuk meminimalisir ruang kesalahan dilapangan. Kedua adalah mencari metode bagaimana agar operasi segera selesai.
“Bagaimanapun masyarakat membutuhkan rasa aman. Segera, agar mereka bisa bekerja dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan aman”kata anggota jaringan Gusdurian ini.
Masih menurut Beka, partisipasi masyarakat sangat penting supaya kerja aparat keamanan lebih efektif dalam menjalankan operasi dan mencegah bertambahnya pengikut kelompok yang berafiliasi dengan ISIS itu. Intinya, untuk membuat agar misi aparat keamanan sejalan dengan masyarakat. Belakangan sejumlah petinggi keamanan menghimbau warga agar tidak takut kepada MIT dan tidak memberi bantuan apapun kepada kelompok itu.
Namun ini bukan hal mudah. Ada hambatan psikologis di tengah masyarakat, khususnya yang tempat tinggalnya di wilayah dekat dengan operasi keamanan.
Sejarah kekerasan di Poso mencatat banyak orang terbunuh oleh MIT karena dianggap membantu aparat keamanan. Dulu istilahnya Banpol. Mendapat stigma Banpol tentu tidak mengenakkan, terutama bagi petani yang lahannya jauh kedalam hutan. Tidak adanya jaminan keamanan membuat sebagian warga cenderung diam.
Serangkaian pembunuhan terhadap petani di wilayah Poso Pesisir hingga Lore membuat hampir semua orang berhati-hati bicara, terutama kepada orang luar. Takut akan ancaman dari kelompok MIT. Salah seorang petani mengatakan, kondisi mereka serba salah. Di cap membantu Polisi saja, itu sudah seperti vonis mati bagi mereka. Sedangkan jika bertemu dengan kelompok MIT saat berada di kebun, itu juga membuat susah karena bisa saja dicurigai menjadi bagian dari kelompok radikal itu.
Jika warga takut berbicara, itu juga karena tidak ada yakin ada jaminan keamanan. Beberapa orang petani mengemukakan, yang mereka alami saat ini ibarat pepatah, Maju Kena Mundur Kena. Kalau menceritakan apa yang dilihat ketika berada di kebun, akan di cap Banpol. Tapi kalau membiarkannya tanpa memberitahukan kepada aparat keamanan, bisa bahaya juga.
Rasa takut akan kita temukan pada petani yang kebunnya di bukit yang jauh dari pemukiman. Di desa Tangkura, Patiwunga dan Betalemba di kecamatan Poso Pesisir Selatan, banyak yang sudah tidak mengolah kebun-kebun kakao di bukit sebelah barat desa. Mereka pernah merasakan teror akibat serangkaian pembunuhan terhadap petani pada akhir 2014 dan 2015
Istilah Banpol memang menakutkan bagi banyak warga di Poso pasca konflik. Sejumlah petani dibunuh karena cap Banpol atau dianggap membantu aparat keamanan yang sedang mengejar kelompok itu. Pada 18 September 2018, Fadli (50) petani di dusun Padalembara desa Pantangolemba kecamatan Poso Pesisir Selatan dibunuh dihadapan istrinya. Oleh kelompok MIT dia dianggap sebagai Banpol. Sebelumnya, pembunuhan Daeng Tapo dan Ajeng oleh Ali Kalora juga dianggap Banpol.
Salah seorang warga mengatakan, dia mendengar desas-desus kalau dirinya juga dicap Banpol oleh kelompok radikal itu. Meski khawatir, dia menegaskan apa yang dituduhkan kepadanya bukanlah kesalahan. “Ini tempat kelahiran saya. Saya tidak ingin daerah saya begini terus. Itu sebabnya saya mau membantu pemerintah. Kalau bukan kita lalu siapa. Masak harus orang dari luar terus yang datang membantu”. Demi keamanan keluarganya, orang yang mengatakan ini meminta namanya dirahasiakan.
Upaya aparat keamanan untuk mendorong partisipasi masyarakat memang terlihat dari banyaknya kunjungan ke rumah warga hingga melaksanakan diskusi di beberapa tempat seperti di dusun Tamanjeka, desa Masani kecamatan Poso Pesisir hingga di desa-desa di kecamatan Poso Pesisir Utara.
Namun persoalan di Poso memang bukan semata soal siapa yang lebih pantas mengejar kelompok MIT, tapi ada soal lain yang tidak kalah penting, yakni pemulihan trauma masyarakat, khususnya mereka yang menjadi korban dan berada disekitar wilayah operasi. Belum lagi persoalan ekonomi yang semakin berat karena tidak terkelolanya lahan-lahan produktif mereka.
Rustomini, warga kecamatan Poso Pesisir Utara mengatakan, sudah lama tidak mengolah beberapa hektar kebun kakao mereka yang letaknya jauh dari rumah. Sekarang dia dan suaminya hanya mengandalkan sedikit lahan untuk menanam jagung dan pohon Nilam.
“Kalau tanah yang diatas sana (di kaki gunung) sudah lama tidak diolah. Tidak ada yang mau kesana karena bisa saja bertemu dengan kelompok itu”kata dia. Rustomini dan warga desa lain berharap. Persoalan keamanan bisa segera teratasi agar mereka bisa kembali mengolah tanahnya.