“Kita mengajak masyarakat desa supaya berdaya, biar mereka tahu pekerjaan itu banyak bukan hanya petani atau nelayan”
Kalimat itu di ucapkan seorang teman dalam diskusi kegiatan pemuda yang saya ikuti. Rahang saya hampir jatuh saking tidak percayanya pada kalimat yang barusan saya dengar. Dalam hati, pikiran saya berkecamuk , mengulang kembali kalimat ‘Pekerjaan itu banyak, bukan hanya petani atau nelayan’
Memangnya apa yang salah dari menjadi petani? atau menjadi nelayan?
Sebagai anak desa yang tumbuh dekat dengan sawah dan danau, pernyataan di atas membuat saya bingung dan berusaha menemukan dimana letak kesalahannya. Apakah pekerjaan ini bermasalah? Saya yang keliru memaknai petani dan nelayan? Atau ?
Pernyataan yang seakan-akan mempermasalahkan pekerjaan petani dan nelayan muncul berbagai kesempatan pertemuan yang saya ikuti. Bukan satu kali, atau hanya dua kali. Baru-baru ini dalam sebuah workshop nasional saya bertemu dengan sangat banyak anak muda yang bersama menyusun sebuah kegiatan pelestarian keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat di suatu daerah.
“Kita bisa membuat kegiatan untuk masyarakat supaya mereka sejahtera”
Atau “kita melibatkan perempuan dalam kelas memasak supaya kesetaraan gender tercapai”
Pada sebuah kesempatan, mereka bertanya domisili saya. Setelah menjelaskan dengan susah payah dimana kota Tentena berada, beberapa teman bertanya “disana orang-orang kerja apa?”
Bersemangat, saya menjawab “mayoritas petani dan nelayan”
“Oh petani”
Sebuah nada yang dalam kesan saya, semangat saya itu tidak bisa dibanggakan.
Hal ini bukan hanya di alami oleh saya. Seorang kenalan saya dari wilayah bagian Timur Indonesia lainnya, Jayapura, juga pernah bercerita. Dalam sebuah diskusi daring bersama anak-anak muda, seorang teman memberikan pertanyaan menggelikan namun agak peyoratif : “Kak, kalau di Jayapura alat transportasi naik motor atau batang Sagu?”. Teman Papua saya kehilangan kata-kata menerima pertanyaan ini. Dia bingung mau jawab seperti apa. Akhirnya dia guyon seperti kebanyakan orang Papua. “Batang Sagu dijadikan Sagu dong, masa dijadikan motor-motor ha ha”.
Ketika kawan saya bercerita tentang hal ini, saya terdiam cukup lama sambil berpikir ‘motor atau batang Sagu? Bukannya saya tidak tahu apa itu batang Sagu, tapi saya berpikir keras tentang apa yang dibayangkan, diimajinasikan oleh orang-orang yang lahir dan besar di kota tentang desa dan tentang profesi menjadi petani.
Kejutan-kejutan tentang cara pandang ‘orang kota’ ke desa, bukan hanya membuat rahang saya sakit, atau kebingungan. Saya menjadi penasaran menelusuri proses apa yang terjadi sehingga beberapa orang memandang desa sedemikian tidak berdaya. Bahwa profesi petani dan nelayan hal yang patut diubah karena kurang bergengsi. Atau bahwa kesuksesan dan kemakmuran seperti yang digambarkan dalam dunia dongeng ada di kota.
UU 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menyebutkan desa ; desa adat atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyimak pengertian desa ini, pernyataan-pernyataan yang sebelumnya saya dengar menjadi semakin membingungkan. Darimana kesimpulan bahwa orang-orang desa tidak berdaya sehingga harus diberdayakan? Lalu, memangnya kenapa kalau orang desa mayoritas bekerja sebagai petani atau nelayan?
Hal yang pertama muncul di pikiran saya adalah media. Televisi dan media sosial. Di televisi kita akan dengan mudah menemukan tayangan-tayangan yang menunjukan betapa susahnya hidup di desa atau betapa jauhnya masyarakat desa dari kata ‘hidup enak’ seperti di kota besar.
Salah satu acara televisi nasional pernah membuat program yang mengutus orang-orang muda dari kota untuk hidup bersama dengan petani dan nelayan di desa atau pedagang dengan segudang masalah didalamnya. Dalam acara itu digambarkan menjadi petani bukan pekerjaan yang sejahtera. Gambaran tentang anak dalam keluarga yang membantu untuk berjualan demi membeli buku sekolah. Kehidupan keluarga nelayan yang digambarkan sangat memprihatinkan karena sehari-harinya hanya makan ikan bukan makanan mahal di restoran ‘all you can eat’. Tayangan-tayangan seperti ini menguatkan bahwa orang yang hidup di desa adalah orang susah, pekerjaan sebagai petani dan nelayan adalah pekerjaan yang harus di hindari karena tidak menguntungkan.
Media seperti ini menjual rasa iba dan ketidakmampuan sehingga citra orang desa menjadi tidak berdaya. Yang diperlihatkan hanya tentang orang desa yang masih ketinggalan dan menderita sehingga perlu diubah agar jadi modern.
Tapi ada yang terlupa. Tentang bagaimana gigihnya petani dan nelayan kecil memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka. Tentang anak-anak yang bermain bebas di alam dengan udara yang sehat , tentang bagaimana setiap orang saling mengenal dan saling membantu satu sama lain.
Yang juga tidak diperlihatkan kepada pemirsa adalah masyarakat adat di desa hidup lebih sehat, bahagia dan aman dengan pengetahuan tradisional mereka. Acara-acara seperti yang ditampilkan televisi itu disatu sisi hendak menunjukkan orang-orang desa tidak punya kemampuan berpikir maju. Industri media yang gandrung akan drama penuh tangisan luput menceritakan perjuangan orang-orang desa yang bertahan dan memperjuangkan adat dan budaya mereka.
Sebagai anak yang lahir, besar dan tinggal di desa, ada banyak hal yang saya sayangkan. Banyak hal di desa yang tidak dibicarakan, masalah perebutan lahan adat, perampasan dan eksploitasi sumber daya, kriminalisasi terhadap masyarakat adat di tanah mereka sendiri, terancamnya sumber ekonomi karena investasi, hilangnya identitas budaya dan masalah sosial lainnya yang mengancam kehidupan orang desa.
Saya pikir jika kehidupan sesungguhnya yang sedang dihadapi orang desa diangkat, anak-anak muda akan lebih kritis dalam mengolah pikir dan juga cara pandang mereka tentang desa.
Soal kedua pertanyaan di atas, saya kemudian memahami mengapa teman-teman yang saya temui dalam berbagai diskusi sering melihat masyarakat desa dengan kacamata abu-abu mereka. Tidak cukup gelap untuk tidak tahu sama sekali, dan tidak cukup jernih untuk bisa membasuh.
Mereka ada di tengah, abu-abu. Kebanyakan pengguna kacamata abu-abu ini ditemani dengan perasaan superior dan rasa percaya bahwa mereka harus mengubah kehidupan orang desa. Tidak ada yang salah tentu saja dengan hal ini, namun yang saya temui kebanyakan akan berucap “jadi saya akan ke desa A, membuat program A supaya masyarakat berdaya” sangat jarang yang berucap “saya akan ke desa A, berdiskusi bersama masyarakat tentang kebutuhan dan tantangan mereka, apa yang sedang mereka kerjakan untuk menyelesaikan masalah mereka dan melihat di bagian mana saya bisa membantu mereka”.
Apa perbedaanya? Tentu saja berbeda ketika menempatkan masyarakat sebagai objek, dan bukan subyek. Sementara di desa masyarakat adalah subyek yang menghidupi desa.
Menjadi petani atau nelayan adalah akar dari sumber penghidupan, selain mereka adalah sumber utama pangan yang kita konsumsi setiap hari, mereka juga adalah bukti bahwa pekerjaan seharusnya memerdekakan kita. Harapannya adalah sistem ekonomi dan pemerintahan yang ada mampu berfungsi dengan semestinya agar penghidupan petani dan nelayan sejahtera.
Menulis ini, saya menjawab rasa bingung saya sendiri sembari memberikan ide dan informasi untuk teman-teman ‘anak kota’ yang ingin ke desa dan membangun desa. Pastikan sejak awal libatkan masyarakat desa didalamnya, jika ingin kegiatan atau project apapun yang kalian kerjakan bisa berhasil. Mulailah dengan apa yang masyarakat tahu, apa yang masyarakat bisa dan apa yang masyarakat butuhkan. Belajar bahwa setiap manusia termasuk orang di desa dan pilihan pekerjaan mereka saling menghidupi satu dengan yang lain, berjalin berkelindan dengan sisi yang satu dan sisi lainnya.
Mungkin setelah ini saya akan sering mendengar “ wah, kamu tinggal di desa ya, seru sekali!” dengan nada antusias.
Penulis : Lani Mokonio
Editor : Lian Gogali