Anak-Anak Poso dan Kisah Pentingnya Buku

0
1108
Perpustakaan keliling di desa Wera. Foto : Dok. Mosintuwu

“Mengapa minat baca pada anak-anak kurang? karena, minimnya akses terhadap buku. Akibatnya, anak-anak menjadikan Gadget sebagai panduan utama mereka dalam banyak hal. Saking banyaknya waktu melihat layar,banyak yang lupa mengerjakan PR dari sekolah” (ibu Erni/panti asuhan Yahya)

Buku sedang menghadapi tantangan serius. Sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling terpercaya, tapi semakin jarang yang membacanya. Semua teralihkan ke teknologi baru. Handphone cerdas atau Gadget. Istilah yang di tawarkan teknologi ini sangat memukau, Dunia Dalam Genggaman. Namun disitu pula letak masalahnya. Berbagai survey dan penelitian menunjukkan, semakin banyak anak-anak di Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan dasar apalagi matematika. Sebabnya, minat baca yang sangat rendah.

Satu sebab rendahnya minat baca dan kemampuan sains dan matematika karena kurangnya akses pada buku terutama pada anak-anak yang tinggal jauh dari ibukota kabupaten maupun kecamatan. Perpustakaan hanya ada di kota Poso, taman baca juga adanya di Tentena. Sedangkan sebagian besar wilayah kabupaten Poso masih berupa pedesaan dengan fasilitas membaca terbatas.

Rendahnya minat baca mulai dari anak-anak berakibat rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia khususnya Poso memahami pengetahuan yang diberikan di sekolah. Survey yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2018 menemukan rendahnya kemampuan membaca, Sains dan matematika pada pelajar Indonesia. Kita di peringkat 71 dari 79 negara.

PISA adalah survei evaluasi sistem pendidikan yang mengukur kinerja siswa sekolah menengah yang dilaksanakan setiap tiga tahun. Ada tiga ha; utama yang menjadi poin penilaian, pertama literasi, matematika, dan sains. Tahun 2018 lalu, ada 600 ribu anak usia 15 tahun dari 79 negara yang diukur kemampuannya.

Rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia bukan hanya terlihat di survey PISA. Survey yang dilakukan Unesco pada tahun 2016 juga menemukan hal yang kurang lebih sama dengan temuan PISA. Hanya ada 0,001% orang Indonesia yang gemar membaca. Artinya, hanya 1 orang dari 1,000 orang Indonesia.

Kurangnya akses pada buku ditambah budaya Gadget memperparah minat pada buku. Riset  World’s Most Literate Nations Ranked yang dibuat Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu menemukan , Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, dari segi infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Baca Juga :  Minat Baca di Desa dan Ketersediaan Perpustakaan di Poso

Saat ini ada sekitar 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget.  Emarketer, sebuah lembaga riset keuangan memperkirakan di 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Perpustakaan keliling di Desa Mayoa. Foto : Dok.Mosintuwu/Lian

Perpustakaan Sophia, Membangun Harapan bagi Anak Poso.

Berbagai persoalan diatas seperti sudah begitu akut. Namun masih ada harapan untuk bangkit, menjadikan anak-anak Poso punya kemampuan bukan hanya sains dan matematika, tapi juga ilmu pengetahuan lain. Itu adalah perpustakaan keliling.

Hal pertama yang kami lakukan untuk menaikkan kemampuan membaca, sains, matematika dan pengetahuan lain dimulai dari desa. Menyiapkan pengelola perpustakaan kecil. Kami melakukan training pendamping perpustakaan keliling yang diikuti sebagian dari pendamping perpustakaan keliling di desa-desa, di hari Sabtu, 12 Juli 2021

Ada 7 orang yang hadir kali ini dari 12 pendamping. Diantaranya ada  Ibu Raru dari desa Tomehipi, kecamatan Lore Barat, Ibu Velma Bambari dari desa Gintu, kecamatan Lore Selatan, Ibu Sekar dari desa Buyumpondoli, kecamatan Pamona Puselemba, Kak Eka dari Desa Tonusu, kecamatan Pamona Puselemba, Ibu Erni dari desa Tendeadongi, kecamatan Pamona Utara, Ibu Plistin dari desa Didiri, kecamatan Pamona Timur dan Ibu Helpin dari desa Taripa, kecamatan Pamona Timur.  Beberapa Pendamping belum bisa hadir diantaranya: Ibu Cili dari desa Tuare, kecamatan Lore Barat, Ibu Irma dari desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir, Ibu Meri dari desa Pinedapa, kecamatan Poso Pesisir, Ibu Widya dari desa Trimulya, kecamatan Poso Pesisir Utara dan Ibu Serli dari dusun Kameasi, desa Kilo kecamatan Poso Pesisir Utara. Mereka terkendala situasi pandemi. Namun sebelum kegiatan dilaksanakan, mereka mengirimkan pesan tentang semangat mereka untuk meneruskan perpustakaan keliling di desa sehingga mereka jangan dilupakan. 

Kami memulai training dengan cerita, kak Lian Gogali , pengalamannya bertemu dengan anak-anak yang beragama Kristen dan Islam di lokasi pengungsian saat melakukan riset mengenai dampak konflik terhadap perempuan dan anak di beberapa desa di kabupaten Poso tahun 1999-2001. 

Di pengungsian Yosi (tidak jauh dari perpustakaan Sophia) kelurahan Pamona, kak Lian mengajak anak-anak pengungsi menggambar bersama-sama.  Apa yang digambar oleh anak-anak saat itu? ternyata tentang rumah mereka yang dibakar. Pensil warna merah yang disediakan menjadi rebutan. Di desa Pendolo, ujung selatan danau Poso, seorang anak menggambar kakeknya yang ditembak. Di Poso Kota dan Palu, tempat pengungsian warga muslim, anak-anak juga menggambar rumah mereka yang dibakar dan orang tua atau teman mereka yang terbunuh saat konflik.

Baca Juga :  Memeriksa Kinerja DPRD Poso : Minim Perda Inisiatif untuk Rakyat, Abai isu Perempuan

Hampir 10 tahun  kemudian, saat membangun sekolah perempuan di desa Malei kecamatan Lage dan kelurahan Pamona kecamatan Pamona Puselemba, ada banyak anak-anak yang ikut masuk kelas mengikuti ibu mereka. Tetapi waktu itu kak Lian dan teman-temannya bingung mau mengajarkan apa pada anak-anak tersebut. Akhirnya diberikanlah beberapa permainan. Tetapi anak-anak ini mudah bosan dengan permainan tersebut. Lalu diganti dengan buku bergambar. Ternyata anak-anak sangat suka buku-buku itu. Maka sejak saat itu muncul ide menggunakan buku untuk jembatan yang mempertemukan anak-anak Muslim dan Kristen dalam berbagai kegiatan. 

Awalnya ada 25 buku yang dibawa ke desa-desa untuk membuka perpustakaan. Buku ini menjadi tempat bertemunya anak-anak muslim dan kristen. 

“Jadi buku pada awalnya bukan untuk memberikan akses membaca saja, tetapi untuk menghubungkan anak-anak Muslim dan Kristen” kata kak Lian. Menurut kak Lian yang paling berkesan, ketika membawa buku ke Kilo 9 atau desa Sintuwulemba, kecamatan Lage. Awalnya disana anak-anak kristen dan muslim terpisah. Akan tetapi saat pertama kali perpustakaan Sophia masuk ke sana untuk pertama kalinya juga anak-anak itu berkumpul bersama membaca dan bermain bersama.

“Sejak itu kita berjalan menggunakan buku dan pada akhirnya berkembanglah menjadi perpustakaan keliling”kata kak Lian.

Anak-anak membaca buku saat Perpustakaan Keliling di Peura, Kecamatan Pamona Puselemba. Foto : Dok.Mosintuwu

Mengapa Anak-Anak Butuh Buku?

“Ceritakan tentang anak-anak dan mengapa membutuhkan perpustakaan keliling?” demikian pertanyaan pertama kak Lian kepada ibu-ibu pengelola perpustakaan desa.

Ibu Helpin segera menjawab. Anak-anak lebih sering bermain handphone dari pada membaca buku. Pada dasarnya tidak masalah  asalkan orang tuanya dapat mengontrol saat anaknya menggunakannya. Kak Lulus, pengurus panti asuhan Emanuel desa Buyumpondoli juga memberikan pandangannya. Menurut dia, perpustakaan itu penting karena masih terbatasnya akses untuk buku. Makanya perpustakaan keliling membuat anak-anak mempunyai akses untuk membaca.

Pengalaman mendampingi anak-anak di panti asuhan membuat kak Lulus tahu pentingnya buku. Dia punya pengalaman bagaimana gadget mengalihkan anak-anak dari buku. Dia menceritakan, dulu sebelum buku perpustakaan keliling masuk ke panti, saat pengurus mengumpulkan Gadget anak-anak, mereka justru beralih menonton tayangan sinetron.

Baca Juga :  Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan

Ibu Erni, pengurus panti asuhan Yahya kelurahan Tendeadongi juga menceritakan, mengapa minat baca pada anak-anak kurang. Salah satu sebab, minimnya akses terhadap buku. Akibatnya, anak-anak menjadikan Gadget sebagai panduan utama mereka dalam banyak hal. Saking banyaknya waktu melihat layar,banyak yang lupa mengerjakan PR dari sekolah.

Ibu Velma dari desa Gintu juga punya cerita tentang perpustakaan keliling ini. Menurut dia, adanya fasilitas buku, kertas dan pensil warna sangat membantu guru dan murid PAUD di desanya. Saat ini, banyak anak-anak yang mulai datang membaca atau sekedar belajar mewarnai di perpustakaan yang didirikan dirumahnya.

“Sering kali guru PAUD datang dirumah untuk meminta template gambar yang akan diwarnai dan meminjam buku untuk dibawa ke sekolah. Itu sangat membantu perkembangan anak-anak kita nantinya”kata ibu Velma.

Di desa Didiri, Ibu Plistin mengamati betul bagaimana Gadget telah mengambil konsentrasi anak-anak lewat berbagai aplikasi game yang tersedia. Upaya mengajak anak-anak agar tidak selalu memandang layar dilakukannya dengan memperkenalkan buku-buku cerita bergambar yang menarik.

“Anak-anak sekarang mulai suka membaca buku. Bahkan ada yang sudah bertanya-tanya kapan bukunya akan tiba”kata ibu Plistin. Adanya perpustakaan keliling menurut dia dapat merangkul dan mengajar anak-anak untuk bersenang-senang sekaligus membuka wawasan dan pengetahuan yang lebih luas dan berguna.

Cerita dari Ka Eka tentang anak-anak di desanya juga menarik. Menurut dia, dengan adanya perpustakaan keliling anak-anak sering datang untuk menggambar mewarna dan bermain diperpustakaan. Bahkan sudah ada yang meminjam buku untuk dibaca dirumah.

“Walaupun pada awalnya sulit untuk mengajak semua anak-anak untuk membaca tapi akan dimulai perlahan-lahan karena menumbuhkan minat baca anak tidak semudah membalikan telapak tangan”kata kak Eka.

Kami semua bersemangat memulai kembali perjalanan perpustakaan keliling yang sudah dimulai sejak 2009, di desa-desa. Sebagai pengelola perpustakaan yang berjalan keliling desa membawa buku, saya sangat menyaksikan bagaimana buku-buku sangat penting bagi adik-adik yang saya temui. Buku menjadi teman mereka untuk tetap berkeliling dunia dan meluaskan pikiran mereka. 

Penulis : Djody Mokonio

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda