Kawan-kawan dari perkumpulan SiDeGo Ternate Maluku Utara dalam webiner rutinnya, mengangkat satu topik yang sangat urgen. Topik ini dipilih sebagai salah satu solusi hadapi covid 19. Solidaritas sosial .
Tidak tanggung tanggung. Topik yang dahsyat ini menghadirkan ketua MPR, Sultan Tidore, Sekda Malut dan Rektor UMU Ternate serta kepala perwakilan Bank Indonesia. Mereka identikan topik ini dengan modal sosial. Banyak juga yang memandangnya sebagai kearifan budaya lokal (lokal wisdom). Sesuatu yang dimiliki oleh hampir semua komunitas di bumi ini.
Begitu pentingnya, hingga PBB (UN) menempatkannya sebagai faktor esensial dari kekayaan kemanusiaan yang ditengarai memudar. PBB sendiri memberi istilah Indigeneus knowledge (pengetahuan tradisional). Sering juga disebut pengetahuan atau kearifan lokal. Dia menjadi nilai (value) yang mengatur tata hidup masyarakat tradisional (indigeneus people) jauh sebelum adanya regulasi modern bernama regulasi, undang-undang dan sejenisnya.
Memori Masa Kecil
Dahulu waktu kecil di Desa Mareku, Pulau Tidore, saya sering bersama kawan ke hutan untuk mencari kenari dan kelapa. Kami memungut yang berserakan di tanah. Sekarang, saya baru tahu kalau kebiasaan semasa kecil itu halal. Halal, karena pemiliknya telah mengihlaskannya berdasarkan aturan konvensi lokal ( kearifan local).
Saya ingat Garrett Hardin. Ekologist yang menolak konsep kepemilikan kolektif. Beliau mengurai keberatan itu dalam bukunya, “tragedy of the common”. Buku inilah yang jadi acuan privatisasi. Tapi, konsep itu dibantah oleh Elinor Ostrom, ahli politik dari Indiana University yang penerima Hadiah nobel di bidang Ekonomi tahun 2009. Mereka bersengketa soal pernyataan “Everybody properti, no body property. Konsekwensinya, sumberdaya alam akan hancur kalau semua orang merasa memiliki. Ostrom bilang, tidak hancur, yang penting dikelola bersama dengan aturan yang jelas (collaborative management).
Kekisruhan pandangan atau konsepsi yang berujung pada pertentangan implementasi ini dijawab oleh orang Tidore dan Maluku Utara secara umum dengan praktek kepemilikan secara konvensi. Pohon itu milik individu (individual property). Tapi, buah yang telah jatuh ke tanah adalah milik bersama (common property).
Agama, mengarahkan kepemilikan ini dengan instruksi moral religius. “Di dalam harta orang kaya itu, ada haknya orang miskin”. Bentuk formalnya zakat. Tapi, orang Maluku utara, memodifikasinya dalam praktek kepemilikan buah dari pohon. Sesuatu yang telah jatuh dari pohon, boleh diambil tanpa perlu minta izin pada memiliknya.
Sebagai keseimbangannya, ada juga sistem tradisional yang melindungi kepemilikan individu. Namanya, “sasi” atau sumpah. Satu objek kepemilikan yang telah disumpah, tidak boleh diambil orang lain tanpa izin. Diberi ikatan kain putih sebagai tanda. Siapa yang melanggar adat ini akan celaka. Ternyata, ada juga regulasi tradisional begini di seantero nusantara.
Tanggungjawab Sosial
Belum lama ini, ada video viral ke seantero Indonesia. Kejadiannya di hotel Bella kota Ternate. Sejumlah orang yang dikarantina Covid 19, melarikan diri. Audionya terdengar halus. Mereka gelisah keluarganya kelaparan. Lampu juga mati karena belum bayar ke PLN. Kita merenung betapa kompleksnya persoalan ini.
Saya berfikir, bila jaringan sosial (sos-net) berupa BLT ini, efektif sampai ke sasaran. Maka, mereka tidak perlu kabur. Sebab, memang begitulah maksudnya BLT tersebut di era covid 19. Demikian juga PLN, badan usaha milik negara. Sedangkan aset pribadi bernama tempat “kost” saja, diminta pengertiannya untuk diskon. Apa lagi negara. Negara harus “all out” dalam kedaruratan ini.
Selain negara, sistem sosial pun mesti bekerja. Tetangga yang lapar harus terpantau oleh sesama. Hakekat solidaritas yang sesungguhnya. Secara institusi, rukun tetangga (nieghborhood) harus hidup. Semua elemen kehidupan perlu di optimalkan. Karib saya, Profesor Dharmawan Salman dari Unhas menyebutnya RON (resource, organizing and Norm).
Di sinilah pentingnya RT/RW dalam sistem pemerintahan kita. Mereka bekerja sukarela, di garis depan. Saya berfikir mesti direvitalisasi eksistensinya. Tidak harus digaji rutin, bila negara merasa berat. Cukup pengakuan (recognition). Libatkan dalam setiap event pembangunan. Mereka pencatat paling akurat dalam setiap pendataan sipil atau penduduk. Tapi, sering diabaikan dalam program sensus dan sejenisnya. Sudah tidak digaji. Kegiatan yang sedikit ada insentifnya pun, tidak diikut disertakan. Pada bencana terdahulu, data selalu kacau balau. Covid 19 ini pun bagitu. Negara ini seperti tidak pernah belajar.
Karena itu, masyarakat tidak boleh tergantung sepenuhnya pada penerintah. Sebab, meskipun mereka bekerja baik, tidak akan bisa menangani semua. Disinilah kita butuh warga aktif (active citizen). Kebetulan, ada satu contoh yang hadir di kota Palu di era Covid 19 yang memuncak. Roa jaga roa. Maknanya, “teman bantu teman”, (terminologi bahasa Kaili). Mereka bergerak menolong sesama. Sebutlah, rakyat bantu rakyat. Dianalogikan sedikit dengan “farmer lead Farmers”.
Good Governance
Dalam kaitan ini, Sultan Tidore menyebutkan hal penting. Beliau bilang, kita butuh pemerintah yang berkepribadian “satunya kata dengan perbuatan”. Ada fenomena pemerintahan yang mengkuatirkan di era covid 19 ini. Ekstrimnya, sampai ada ketua RT yang berani marah kepada Presiden, Gubernur hingga Bupati dan Wali kota di media sosial. Ngeri, karena ini adalah media yang dapat diakses secara mondial.
Di media yang sama, ada begitu banyak simpang siurnya informasi dan komunikasi (saya siapkan tulisan khusus untuk topik ini). Kita membaca adanya keraguan (inconsistency). Juga, ketidak pastian atau berubah-ubah (un certainty) dalam kebijakan. Sekda provinsi juga menyadarinya. Karenanya, beliau butuh dukungan para pihak untuk saling berbagi kerja dan tanggung jawab. Sebuah pengakuan keterbukaan yang bagus.
Sebab secara pribadi, saya sangat menggelisahkan keadaan ini. Satu keadaan yang bila dibiarkan berlarut, akan membentuk embrio yang siap melahirkan bayi bernama “civil disobediences”. Yaitu, situasi dimana rakyat tidak percaya lagi pada apa pun informasi yang disampaikan pemerintah. Atau, tidak patuh lagi pada apapun yang diperintahkan (instruksi) oleh penguasa. Namanya, pembangkangan civil. Dan, bila ini terjadi, pemerintah atau bahkan negara secara hakiki, sesungguhnya sudah tidak ada. Kita kolaps. Kita hancur bersama.
Bertindak Bersama
Dr. Moktar yang piawai memoderatori diskusi itu, memancing gagasan ketua MPR. Bung Ota menyoal, adakah hal yang salah dalam tata kelola negeri ? Dengan tegas, ketua MPR berujar, regulasi di negara ini sudah sangat memadai. Persoalannya ada di implementasi oleh aparatur negeri. Pernyataan ini dipertajam oleh Rektor UMU dengan kalimat yang sangat mengena. “Government without Governance”.
Saat diberi kesempatan, saya lantas tunjukan sedikit perbandingan baik (tentang kekisruhan yang pernah dialami Jepang sebagai pelajaran (lesson learn). Mereka memiliki pemerintahan yang sangat kompak dan amanah (high trust). Satu ketika, semua tidak berdaya. Pemerintahan lumpuh total. Terjadi sewaktu datangnya gempa kota Kobe tahun 1995. Saya disuguhi cerita ini sesaat usai memberi presentasi bersama JICA (Japan Internasional coperation agency) di depan masyarakat di lokasi terparah kota Kobe itu, pada tahun 2004.
Tiba-tiba semua menyadari untuk tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada pemerintah semata. Inilah awal lahirnya gerakan sosial partisipasi di Jepang. Mereka menamakan dirinya, non provite organisation (NPO) atau Non government organisation (NGO). Gerakan kesadaran dari dalam (inner awareness) tentang pentingnya energi sosial bernama solidaritas (solidaritas sosial). Di sana, mereka baru menemukannya kala itu. Di sini, di tempat kita, telah lama memudar. Semoga, hikmah covid 19, membantu mencuatkannya kembali. Wallahu alam bisyawab.