Dulu. Di hulu Sungai Poso, terbentang sebuah jembatan kayu sepanjang lebih 200 meter. Jembatan ini menghubungkan kelurahan Sangele dan kelurahan Pamona. Yondo mPamona. Jembatan ini memiliki sejarah panjang yang bermula di awal abad 20. Kala itu masyarakat di seberang timur membutuhkan jembatan penyeberangan untuk mengangkut hasil sawah dari seberang barat. Untuk kebutuhan tersebut, mereka membangun jembatan darurat secara gotong royong, berbahan bambu dengan atap daun Rumbia. Dalam jangka waktu tertentu mereka harus mengganti bahan yang sudah lapuk/rusak. Dalam perkembangannya tiang-tiang jembatan mereka mulai ganti dengan kayu yang tentunya lebih tahan lama.
Di tahun 1960-an, oleh pimpinan Kecamatan digagaslah pembangunan jembatan kayu yang tentunya akan lebih kokoh dan lebih tahan lama. Kala itu Kepala Kecamatan adalah bpk Y. Gintu, yang didampingi oleh (nomenklatur sekarang) Danramil, .bapak Liwulanga dan Kapolsek bapak Pomatu.
Dalam perencanaannya, jembatan ini akan dibangun secara gotong royong dengan melibatkan masyarakat – yang dalam pembagian wilayah pemerintahan sekarang ini – dari Kecamatan Pamona Utara, Pamona Puselemba, Pamona Barat, Pamona Selatan, Pamona Tenggara, dan Pamona Timur. Gotong royong yang digagas ini adalah “gotong royong total”, di mana seluruh bahan jembatan dan biaya selama pembuatannya disiapkan oleh masyarakat desa yang dilibatkan. Masing-masing desa diberi tanggung jawab mendirikan sekian meter jembatan yang disesuaikan dengan jumlah warganya, dengan jenis kayu yang sudah ditentukan berdasarkan kwalitasnya.
Rencana “gotong royong total”ini disepakati. Menurut saya, dibutuhkan pemimpin kharismatik untuk merealisir gagasan spektakuler seperti ini. Mereka berhasil memanfaatkan budaya “sintuwu”yang dihidupi oleh Masyarakat Pamona, sehingga mampu memobilisasi kekuatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa di Poso, di kalangan masyarakat Pamona, ada budaya gotong royong yang otentik.
Masyarakat dari masing-masing desa dengan saling menyemangati berjibaku menyelesaikan bagiannya. Semuanya dikerjakan secara manual. Mereka menebang kayu dengan kampak, membuat balak, papan tebal dengan gergaji manual. Mereka mengangkut material jembatan melalui darat dan air (Danau). Dalam pembangunannya tiang-tiang jembatan dipancang dengan alat seadanya di kedalaman air 1 – 2 meter. Jembatan dirangkai dengan menggunakan pasak kayu dan tali yang terbuat dari ijuk. Ada informasi yang mengatakan salah seorang dari desa Pandayora menjadi korban kecelakaan kerja.
Ketika peresmiannya, digelarlah acara yang sangat meriah. Menurut salah seorang yang hadir waktu itu, sebagai wujud syukur, doa dibawakan oleh wakil dari rohaniawan Kristen ( Bapak Pdt. Dj. Kambodji) dan juga dari pihak Muslim. Ada penggalan syair lagu yang diciptakan sehubungan dengan peresmian tersebut yang bertutur:
Puu mboto ondae dan tentena
Dulunya satu Satu skarang jadi Satu
Sebagai bukti jembatan puselemba
Bayangan kemakmuran kecamatan Pamona
Dari syair tersebut nampak jelas makna kehadiran jembatan hasil gotong royong itu sebagai pemersatu dan simbol kemakmuran dalam arti yng luas. Jembatan tersebut dipandang sebagai karya besar sehingga layak disebut Jembatan Puselemba. Puselemba adalah “nama besar” bagi kawasan Tentena dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan raja Rumbenunu yang berkedudukan di bukit Pamona, di mana suku pamona dulunya bermukim dan akhirnya menyebar keberbagai wilayah di “Tana Poso”. Jembatan ini lebih dikenal dengan nama Jembatan Pamona, atau Yondo mPamona dalam Bahasa Bare’e (Pamona).
Renovasi oleh Pemprov Sulteng
Di awal tahun 1980-an, Bupati Poso mengusulkan kepada Gubernur Sulawesi Tengah agar jembatan Pamona direnovasi untuk dapat dilalui kendaraan roda empat, karena jembatan tersebut berada di jalur jalan Propinsi. Usulan tersebut disetujui oleh Gubernur lalu menganggarkannya dari dana bantuan Pemerintah Pusat sebesar seratu juta rupiah ( Rp.100.000.000 ). Konstruksi jembatan tetap berbahan kayu.
Di kemudian hari pemerintah memprogramkan pengembangan infrastruktur jalan dan jembatan, dan salah satunya adalah pembangunan jembatan permanen pengganti jembatan Pamona. Awalnya direncanakan untuk membongkar jembatan Pamona lalu di tempat yang sama akan dibangun jembatan permanen yang dimaksud. Namun tokoh-tokoh masyarakat waktu itu menyarankan agar Jembatan Pamona tetap dipertahankan, karena sejarahnya yang sarat makna; sebagai saksi sejarah budaya “Sintuwu”yang patut dilestarikan. Setidak-tidaknya wujudnya yang masih berbahan dasar kayu tetap dapat menjadi symbol kenangan yang sangat membanggakan.
Yondo mPamona, riwayatmu kini.
Sekitar tahun 2003/2004 PT Poso Energy hadir di Tana Poso untuk membangun PLTA dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso yang hulunya adalah Danau Poso. Salah satu turbin pembangkit dibangun berjarak kurang dari 10 KM dari outlet Danau Poso. Untuk mengoptimalkan fungsi turbin tersebut, pihak perusahaan merasa perlu untuk menambah kedalaman dasar sungai 2 – 4 meter, dan juga menaikan permukaan air sungai. Untuk menambah kedalaman dasar sungai, mereka mengeruk pasirnya. Sementara dasar sungai yang terdiri dari bebatuan, mereka ledakkan dengan menggunakan puluhan batang dinamit untuk menghancurkan bebatuan yang ada. Untuk menaikkan permukaan air sungai, mereka membangun bendungan yang ternyata berdampak juga pada ketinggian permukaan air danau yang juga ikut naik dan mengakibatkan ratusan hektar sawah dan puluhan hektar areal penggembalaan kerbau ikut tenggelam
Program PT. Poso Energy yang mengeruk, melakukan pengeboman sungai, mereklamasi wilayah Kompodongi ini dinamakan ( dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Poso ) sebagai penataan sungai Poso.
Penataan yang sungai Poso yang dilakukan dengan mengeruk, mengebom, mereklamasi ini berdampak juga pada keberadaan Yondo mPamona. Jembatan kayu yang punya sejarah spektakuler ini harus dibongkar. Dalam MoU antara pihak perusahaan dengan Pemda Poso dikatakan bahwa PT Poso Energy akan mengganti jembatan Pamona yang ada dengan jembatan modern dengan konstruksi: sepanjang kira-kira 60 meter berkonstruksi besi baja dan sisanya sepanjang 140 meter juga dilakukan perbaikan berkonstruksi kayu untuk tetap mempertahankan keaslian jembatan.
Pada bulan November 2019, di tengah-tengah penolakan masyarakat yang berkeberatan karena mengingat nilai budaya yang terkandung di dalamnya, jembatan Pamona akhirnya dibongkar – yang secara kasat mata – oleh Pemda Poso. Tentu yang berkepentingan adalah PT Poso Energy.
Kini pengganti jembatan Pamona itu telah selesai dibangun. Bagian tengah agak tinggi, sehingga harus menggunakan tangga. Pada baliho proyek, masih disebut bahwa yang dibangun ini Yondo mPamona. Bagi mereka itu hanya sekedar nama. Menurut MoU, itu adalah jembatan modern. Entahlah. Kriteria modern itu apa, tidak jelas. Mungkin jembatan kayu menjadi jembatan besi? Konstruksi kayu yang direncanakan sepanjang 140 meter tidak ada. Semuanya besi. Di bagian tengah konstruksinya besi baja, sementara sisanya yang seharusnya kayu, ternyata menggunakan besi yang lebih kecil . Ada tangga di bagian tengah. Sebuah konstruksi yang lucu, juga tidak ramah pada lansia dan difable.
Menjadi Yondo moEja
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah jembatan besi yang baru itu dapat disebut Jembatan Pamona? Jembatan Pamona, atau Yondo mPamona, bukan hanya sekedar nama jembatan yang salah satu ujungnya berada di kelurahan Pamona. Sebagaimana telah diuraikan di awal, Yondo mPamona, atau Jembatan Puselemba, melekat erat pada jembatan kayu yang memiliki sejarah panjang itu, serta nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Karena itu jembatan besi bertangga itu sangat tidak layak dinamakan Jembatan Pamona/ Yondo mPamona, atau pun Jembatan Puselemba, karena hal itu akan mereduksi nilai “Puselemba” itu sendiri. Jembatan besi bertangga itu tidak menggambarkan apa-apa tentang apa yang ada di Tana Poso, karena itu berilah nama yang tidak ada kaitannya dengan Tana Poso.
Hal lain, dalam penggalan syair lagu “Yondo mPamona” ciptaan Bapak Yustinus Hokey (alm), maestro budaya Pamona, bertutur:
“Yondo mPamona yondo kupowani,
ewa koloro marate tedindi….”
Dari syair lagu ini, Yondo mPamona itu “ewa koloro marate tedindi” yang artinya seperti tali panjang yang direntangkan dengan kuat. Tali yang direntangkan, yang masing-masing ujungnya ditarik dengan arah yang berlawanan, akan terlihat lurus; tidak ada bagian tengahnya yang naik ke atas.
Karena itu, bagi masyarakat Pamona, nama itu penuh makna, bukan hanya sekedar nama jembatan yang membentang antara Kelurahan Sangele dan Kelurahan Pamona.
Saya sendiri akan menyebutnya dengan julukan “yondo moeja” jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti jembatan yang ada tangganya. Kalau Yondo mPamona dalam bahasa Indonesia sebagai disebut jembatan Pamona, untuk Yondo Moeja dalam bahasa Indonesia bisa disebut jembatan keruk. Ini untuk mengingat sejarahnya, bahwa jembatan ini dipaksakan kehadirannya untuk kepentingan pengerukan hulu sungai Poso. Karena Yondo mPamona punya sejarah bekerja bersama-sama, sementara Yondo moEja punya sejarah latar belakang pengerukan yang merusak ekosistem sungai dan Danau Poso.
Jangan kita membuat bingung anak cucu kita yang nantinya menyanyikan nyanyian “Yondo mPamona” sambil menatap jembatan bertangga itu. Menyanyikan Yondo mPamona untuk Yondo moEja membelokkan bahkan mengkhianati sejarah kerja keras dan kerja bersama orang Poso yang pernah ada. Bukan cuma membelokkan sejarah, juga menutup-nutupi sejarah kehadiran Yondo moeja atau jembatan keruk yaitu kepentingan PLTA PT Poso Energy.