Pasar Organik : Warisan Leluhur Kita

0
990
Kebun organik yang dikelola oleh para petani yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu dalam program Kebun Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Marno

Di samping apartemen, ada pasar kaget setiap Rabu dan Minggu. Letaknya, persis di kawasan vaux en Velin, kota Lyon-Perancis.  Ini adalah taman pasar atau pasar taman. Bingung menyebutnya karena ada saatnya menjadi pasar, ada waktunya terlihat menjadi taman. Tentu, dominan taman, sebab pasarnya hanya dua kali seminggu. Itupun, tidak lewat tengah hari. 

Pada setiap Rabu dan Minggu, usai pasar digelar, mobil pembersih datang. Semua sampah yang berserakan dari pasar yang sebelumnya digelar dibersihkan. Tempat itu kembali menjadi taman. Semuanya berlangsung normal, tertip, teratur tanpa kerusakan. Bila berkunjung selain hari Rabu dan Minggu,  tidak terbayang kalau ini adalah pasar yang sangat ramai pada saatnya. 

Di pasar inilah,  tempat kami sering belanja kebutuhan mingguan. Yang menarik, ada dua pilihan produk yang dijajakan. Ada sayur mayur Organik dan non organik. Contohnya, tomat. Kita bisa pilih berdasarkan kesadaran akan kesehatan. Namun tergantung juga pada kemampuan uang yang kita punya. Hal ini karena tomat organik memiliki harga yang relatif lebih mahal. 

Baca Juga :  Di Antara Aku dan Engkau, Ada Kita : Kisah Kami dari Poso

Lain halnya saat sedang di Jepang. Di negeri matahari terbit ini, saya diajak mengunjungi pasar petani. Uniknya, pasar ini ada di tengah-tengah kebun. Saya menyaksikan banyak penduduk berdatangan untuk belanja. Kita boleh memilihnya di rak atau langsung petik di kebun. Belanja dilakukan dengan memilih sesuai kebutuhan. Kebun di pasar atau pasar di ladang. Kedua-duanya adalah bentuk pertanian yang efesien. Selain itu, Ini adalah kebun organik sehingga memiliki nilai tambah.

Di kali waktu, saya diberi tugas oleh pembimbing  saya di Monash University untuk mengunjungi kawasan Organik di kota Melbourne Australia. Kawasan perkebunan organik ini ada di bekas pembuangan sampah kota. Kebunnya dikelola secara bersama oleh satu komunitas bernama “Cares Community”. Di tempat ini, pupuk organik dan pestisida nabati diproduksi.  Tanaman organik percontohan juga mereka kembangkan. Komunitas ini bahkan mengunjungi sekolah secara periodik untuk memberi pemahaman tentang pertanian organik. Mereka bekerja sama dengan Pemerintah Daerah kota Melbourne. Komunitas ini terdiri dari kalangan LSM atau NGO.

Baca Juga :  Mural, Aksi Relawan Seniman di Ruang Milik Orang Desa
Kebun organik dikembangkan di halaman rumah oleh para petani yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu dalam program Kebun Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Marno

Itu di luar negeri. Bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, saya mendatangi banyak tempat pertanian tradisional. Beberapa diantaranya di pegunungan desa Uvelue Donggala. Juga, ke Tinombo Parigi Moutong dan ke Tinangkung Banggai Pulau. Pernah pula ke pedalaman Banggai laut.  Di tempat tempat ini, petani mempraktekan pertanian perladangan berpindah (shifting cultivation). Mereka relatif tidak pakai sarana produksi (saprodi) eksternal berupa pupuk an-organik dan pestisida kimiawi. 

Berbeda dengan kebun organik di Prancis, Jepang dan Australia yang saya kunjungi , pertanian di wilayah Sulawesi menggunakan sistem berpindah lahan . Berpindah lahan ini punya alasan mendasar untuk dapat kesuburan baru. Alasan lainnya,  untuk memutuskan siklus hama penyakit. Ini adalah mekanisme tindakan pengendalian yang sungguh alamiah. Di kebun-kebun ini, menurut pikiran ku, dipanenlah hasil pertanian yang sangat organik. 

Masalah yang dihadapi oleh para petani berpindah lahan ini adalah perubahan external. Ketika, penduduk bertambah, lahan usaha mereka menyempit. Ruang konsesi jatuh ke dunia usaha oleh proses indusrialisasi. Aglomerasi perkotaan. Dan atau, alih fungsi lahan pertanian. Maka, rotasi lahan yang diawali tindakan paras, tebang dan bakar (slash and burn). Tanaman dipercepat tumbuh dan sering atau berulangkali. Akibatnya, suksesi alamiah terhambat . Dampaknya?  memproduksi lahan kritis.

Baca Juga :  Ekspedisi Poso : Bertemu Buntinge dan Bungu Danau Poso

Bila cerita sebelumnya tentang pasar organik di kota Lyon, terjadi pada tahun 1996. Kota kecil di perfektur Gifu Jepang, pada tahun 2004. Ceres Community di kota Melbourne, pada tahun 2008. Maka, praktek perladangan berpindah dari nenek moyang kita, telah lebih dahulu ada berabad silam. Bahkan sebelum ada Indonesia. 

Mereka, nenek moyang kita dengan demikian telah menjadi perintis pertanian organik yang sekarang baru disadari dan mulai dikembangkan. Jauh tempo, para tetua anak negeri ini  telah memulainya. Mempraktekkannya bersambung-sambung. Kitalah yang mungkin tidak pandai merawat warisan moyang sendiri. Wallahu alam bi syawab.

Bagikan
Artikel SebelumnyaPetualangan Rasa Memiliki di Rumah Belajar Anak Indonesia
Artikel SelanjutnyaSekitar Kita Belum Percaya Covid Berbahaya
Nur Sangadji , Associate Profesor bidang Ekologi Manusia, akademisi dan pegiat lingkungan. Aktif sebagai salah satu tim ahli Kajian Lingkungan Hidup Strategis ( KLHS ) dan Forum Danau Indonesia, dan Dosen di Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. Lahir di Ambon, saat ini tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Menempuh pendidikan S1 bidang budidaya pertanian di Univ.Tadulako, pendidikan S2 di Université Jean Moulin, Lyon, Prancis, bidang Ekologi Manusia, dan pendidikan S3 di IPB Bogor bidang Ekologi Manusia Penyuluhan Pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda