“Seakan-akan kita ini tidak punya keturunan yang akan hidup kedepan” ( Yandris Lakiu/ petani desa Bancea)
266 hektar sawah dan lahan perkebunan warga di desa-desa tepi danau Poso terendam sejak awal tahun 2020 . Ini terjadi ketika bendungan PLTA Poso 1 yang menghasilkan 200 MW listrik yang dioperasikan PT Poso Energi, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla mulai diujicoba. Bendungan yang membendung sungai Poso itu berada di desa Saojo kecamatan Pamona Utara. Jaraknya sekitar 13 kilometer dari mulut danau Poso. Sungai Poso adalah satu-satunya pintu keluar air danau Poso yang menuju Teluk Tomini. Sungai ini juga menjadi jalur ruaya Sidat dari danau ke laut dan sebaliknya.
Karena terendam, sawah dan kebun itu tidak lagi bisa diolah. Padahal dalam setahun bisa dipanen 2 kali, tanaman lain seperti jagung juga demikian. Dalam hitungan para petani desa Meko, 1 are menghasilkan 50 kg beras, maka 1 hektar menghasilkan 5 ton beras. Berarti dalam 1 kali musim tanam total 133 ton beras tidak dapat dihasilkan dari pinggir danau Poso sejak tahun 2020. Dikalikan harga Rp 8,000/kg maka total kerugian sekali panen Rp 3,1 miliar.
Yandris Lakiu(51), petani desa Bancea kecamatan Pamona Selatan adalah salah seorang yang tidak lbisa lagi mengolah 3 hektar sawahnya karena tenggelam. Sebelum air danau Poso dibendung, setiap hektar sawahnya menghasilkan 200 kilogram.
“Sekarang biar satu karung tidak ada lagi yang bisa diambil. Sudah terendam”
Menurut Yandris , pada November 2020, ada kesepakatan kompensasi yang dibuat antara petani desa Bancea dan Panjo yang lahannya terendam dengan perwakilan Poso Energy.
Salah satu poin kesepakatan itu adalah ganti rugi sebesar Rp 150 ribu per are. Namun sampai 13 November 2021 kesepakatan tidak terlaksana. Yandris dan para petani justru menerima kabar, nilai kompensasi yang akan dibayarkan sebesar 10 kilogram beras per are. Dalam kabar yang didengarnya, Poso Energy menjelaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada pertemuan warga di Desa Tindoli. Padahal, Yandris dan banyak petani lainnya bukan warga Tindoli. Yandris tegas menolak penetapan kompensasi yang tidak sesuai dengan nilai panen mereka itu. Alasannya, itu bukan kesepakatan yang dibangun bersama.
Rusna Dongalemba, petani desa Bancea lainnya, sudah setahun diminta bersabar. Dia mahfum, kesepakatan yang dibuat di desanya tahun 2020 lalu tidak akan terealisasi. Dia menuntut agar air danau dikembalikan supaya sawahnya bisa ditanami kembali. Merasa terus dirugikan, sejumlah warga desa Bancea yang lahannya terendam kini bersiap mengajukan keberatan secara resmi ke perusahaan.
Tuntutan agar sawah yang terendam bisa kembali ditanami menjadi yang pertama disuarakan para petani. Kristian Basompe, pemilik 1,2 hektar sawah yang terendam di desa Meko mengatakan, tidak punya lahan lain untuk diolah. Sawah adalah tumpuan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya.
“Kalau dulu, saya bisa pinjam uang atau beras kepada pihak lain dan dipercaya. Karena pasti akan saya kembalikan, sebab ada hasil panen sawah. Sekarang, saya mau bayar pake apa?” katanya.
10 Kg Bukan Kesepakatan dengan Pemda Poso
Besaran kompensasi 10 kilogram ini rupanya bermula dalam sebuah pertemuan di desa Tindoli yang dihadiri kepala desa se kecamatan Pamona Tenggara pada bulan Juli 2021 lalu. Kepala desa Tokilo, Hertian Tangku’a yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan tidak ada persetujuan dari Bupati Poso bahwa nilai ganti rugi 10 kg per are.
Sekretaris desa Tindoli, B Sigilipu juga mengatakan, di pertemuan itu dia meminta kompensasi sebesar 40 kg per are namun usulannya tidak mendapat kesepakatan dari pihak PT Poso Energi yang hadir saat itu. Lalu petani mengalah, menurunkan lagi permintaannya menjadi 25 kilogram per are. Nilai ini kembali tidak disepakati oleh perusahaan. Akhirnya yang muncul disepakati perusahaan adalah 10 kg per are.
Kepala Dinas Pertanian kabupaten Poso, Suratno Teguh membantah informasi yang menyebut nilai kompensasi beras 10 kg/are adalah keputusan bersama antara pemda Poso dengan PT Poso Energi.
“Jadi tidak benar kalau dibilang Dinas Pertanian dan Pemda yang menetapkan. Kami hanya mediator, mereka yang bermusyawarah”katanya. Kepada para penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang ada di desa-desa pinggiran Danau Poso, Suratno menyampaikan bahwa nilai kompensasi seharusnya dibicarakan di desa lain juga sebelum ditetapkan.
Nilai ganti rugi 10 kg beras per are kini menjadi standar yang ditawarkan kepada para petani di pinggir danau Poso seperti di desa Tokilo, Tindoli, Tolambo, Salukaia, Toinasa, Dulumai dan Peura. Yang menerima diharuskan menandatangani pakta integritas diatas 3 materai. Pakta intergritas ini bertuliskan bahwa petani yang menandatangani tidak akan membuat keluhan, termasuk tidak melakukan unjuk rasa terhadap seluruh kegiatan operasional PLTA Poso Energy. Para petani juga dilarang memberikan data dan informasi tentang PT Poso Energy yang dianggap rahasia baik termasuk diantaranya nilai kompensasi.
Camat Pamona Puselemba, Markus Wutabisu, menceritakan laporan yang diperolehnya dari desa-desa yang menerima ganti rugi 10 kg/are, dimana pembagian beras ganti rugi ini dilakukan perusahaan tanpa sepengetahuan pemerintah desa.
Dalam wawancara di kompas.id edisi 25 Oktober 2021, Manajer Lingkungan, Kehutanan, dan Corporate Social Responsibility PT Poso Energy Irma Suriani mengatakan, tidak ada komplain atas nilai 10 kg/are itu. Bahkan dalam wawancara di media milik Gramedia itu, dia mengatakan kalau ada isu bahwa kompensasi itu ditolak “kami akan cuek saja. Biasalah ada yang kembangkan itu”. Klaim bahwa nilai yang mereka bayarkan tanpa penolakan berbanding terbalik dengan apa yang disuarakan para petani di sekeliling Danau Poso ( Baca: kompas.id : gelap dan terang di danau Poso )
Soal kata ganti rugi ataupun kompensasi, sebenarnya sudah tidak bisa lagi dijadikan standar. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pasca reformasi 98, kata ganti rugi sudah diubah menjadi ganti untung. Itu artinya, proses perhitungan kompensasi harus mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya lama pemanfaatan, faktor sosial dan ikatan emosional warga dengan lahannya.
Dalam artikelnya di jurnal Forum Ilmu Sosial, Erika, mahasiswa program Doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM) menguraikan perbedaan ganti rugi/kompensasi dengan ganti untung. Dalam ganti rugi, pemilik atau pemegang hak atas tanah berada pada posisi yang lemah dari pihak yang akan mengganti rugi atau dalam hal ini adalah investor, sehingga tidak ada keputusan yang sama-sama menguntungkan kedua pihak. Apalagi, dalam skema ganti rugi, efek terganggunya psikologis masyarakat tidak dihitung. Ganti Untung lebih baik sebab menempatkan dua belah pihak pada posisi yang sederajat sehingga punya hak menentukan isi kesepakatan sehingga tidak ada warga yang dirugikan. Dan yang paling penting, nilai yang diberikan adalah keuntungan dari nilai ekonomis tanah yang selama ini diolah atau ditempati ( artikel selengkapnya di : kritik dan solusi atas sistem ganti rugi )
Petani Berjuang Sendiri
Seperti minimnya peran pemerintah daerah dalam membantu warganya sendiri untuk mendapatkan hak yang adil, entah mengapa, persoalan pelik ini juga tidak muncul dalam diskusi di lembaga perwakilan mereka, DPRD Poso. Gede Sukaartana, Kepala desa Meko, kecamatan Pamona Barat mengatakan, akhir tahun 2020, 27 orang dari 30 anggota DPRD datang langsung meninjau sawah-sawah warga yang terendam. Kini, hampir 1 tahun setelah kunjungan itu, tidak ada suara resmi yang keluar dari lembaga itu. Hal sama juga terjadi di pemerintah daerah. Para petani harus memperjuangkan haknya sendiri.
Kehilangan sawah dan kebun berarti kehilangan hak anak-anak mendapatkan pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang layak. Dalam sebuah kesempatan, beberapa petani menceritakan bagaimana susahnya membayar kebutuhan kuliah anak.
Kristian mengatakan, untuk membiayai pendidikan anaknya kini dia mengandalkan Ram. Sebuah perangkap ikan seperti Bubu yang dipasangnya di muara sungai Meko. Jika beruntung dia bisa mendapatkan ikan Mas yang dijual seharga 50 ribu per kilogram. Pernah sekali, dalam sehari dia 3 ekor ikan Mas masuk perangkapnya. Dijualnya seharga 350 ribu rupiah. Namun, tidak setiap saat dia mujur.
Yandris Tokiu, meski seorang pegawai negeri sipil namun mampu membiayai anak-anaknya bersekolah justru dari hasil sawahnya. Sekarang sawah yang akan diwariskan kepada anak-anaknya itu seperti tidak punya nilai ekonomis lagi. Hal ini yang membuatnya marah.
“Seakan-akan kita ini dianggap tidak punya keturunan yang akan hidup kedepan”matanya menatap tajam saat mengatakan itu dalam pertemuan di desa Bancea, Jumat 12 November 2021.
Pertemuan masyarakat adat Danau Poso, pada 1 November yang diikuti dengan pertemuan pada 16 November 2021 di Pamona dengan serius membahas nasib para petani di sekeliling danau Poso. Dalam berita acara yang disepakati bersama warga dari Desa Peura, Dulumai, Tokilo, Bancea, Taipa, Meko, Tonusu, Buyumpondoli, dan Pamona disepakati ganti untung yang harus dibayarkan oleh Poso Energy adalah Rp. 360.000 / are untuk setiap masa tanam sejak 2020 hingga 2021. Para petani menghitung kerugian yang mereka alami dimulai dari masa tanam hingga panen. Bentuk ganti untungpun direkomendasikan dalam bentuk uang bukan beras.
“Hasil sawah kita ini bukan hanya untuk makan sehari-hari tapi juga untuk kebutuhan pendidikan , kesehatan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Coba kalau kita mau bayar uang sekolah anak, tidak mungkin kita mau bayar dengan beras antar ke sekolah. Atau kita mau beli obat, apa kita mau bawa beras untuk beli obat” jelas Yandris.
Tuntutan ini disampaikan para petani pada setiap kesempatannya.