“Seharusnya sejak pagi kerbau sudah berkumpul dipinggir danau untuk mandi, tapi sudah tiga tahun ini kami sudah tidak lihat lagi. Kerbau sudah berkurang sejak lahan gembalaan terendam” demikian Benhur Pondoke, warga desa Tokilo kecamatan Pamona Tenggara menceritakan apa yang hilang dari desanya sejak bendungan PLTA Poso 1 beroperasi tahun 2020 lalu.
Bendungan yang dibangun PT Poso Energi, salah satu perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu menghasilkan listrik 4×30 MW. Hari Jumat 25 Februari 2022, Presiden Joko Widodo didampingi Jusuf Kalla meresmikannya di tengah beban yang harus ditanggung warga disekitar Danau Poso yang jadi sumber airnya
Total ada 4 pembangkit yang diresmikan hari itu, 3 ada di Poso dengan kapasitas total 515 MW, 1 lagi ada di Malea, Toraja berkapasitas 90 MW. Merespon peresmian PLTA Poso, melalui konferensi pers dengan fasilitas zoom, Benhur dan para petani, nelayan serta penambang pasir tradisional yang tergabung dalam Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) menyampaikan sikap menolak kehadiran PLTA Poso dan meyayangkan peresmian itu. Alasan penolakan berdasarkan dampak yang mereka alami sejak 2 tahun lalu.
Hilangnya Kesempatan Kuliah
Pada bulan Desember 2021, perusahaan mengganti rugi 94 ekor kerbau dan 16 ekor sapi yang mati akibat kekurangan makanan sejak lahan gembalaan tradisional warga di kecamatan Pamona Tenggara seluas kurang lebih 300 hektar terendam lebih dari setengahnya. Secara administrasi, persoalan ini dianggap sudah selesai, tapi warga telah kehilangan satu sumber penghidupan yang sudah berlangsung turun temurun dari beternak kerbau dan sapi.
“Dari kerbau itu desa kami melahirkan dua orang doktor yang biaya mereka untuk meraih gelar itu dari hasil beternak kerbau”kata Benhur. Kini hanya tersisa sedikit kerbau dan sapi yang dipelihara. Pembatasan jumlah ternak terpaksa dilakukan mengingat sumber makanannya yang semakin sedikit.
Terendamnya Polapa Baula, demikian warga menamakan padang gembalaan itu juga menimbulkan konflik dengan warga desa lain. Sebabnya, kerbau dan sapi yang terdesak akibat wilayah mereka terendam mendesak masuk ke kebun dan sawah desa tetangga. Beberapa kali para pemilik kerbau harus berbagi beban untuk membiayai ganti rugi sawah dan kebun yang dirusak ternak mereka.
Ada aturan yang menyebutkan, jika ada kerbau atau sapi yang merusak kebun, maka semua pemilik ternak harus bertanggungjawab.
Bagi warga di 3 desa yakni Tokilo, Tindoli, Tolambo, biasa disingkat 3T, ternak mereka adalah tabungan yang setiap saat bisa digunakan untuk biaya pendidikan anak, menyelenggarakan pesta bahkan untuk perawatan kesehatan. Hilangnya kesempatan mengembangkan ternak membuat banyak yang harus mencari sumber pendapatan lain.
Kehilangan kesempatan untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi kepada anaknya juga dialami Dewa Nyoman Oka Wirawan, petani desa Meko yang sawahnya terendam sejak tahun 2020. Ketika salah seorang anaknya lulus SMA tahun 2020, dia berencana menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Namun saat padi disawahnya siap di panen, air danau naik. Padi hancur tidak menghasilkan apapun.
“Sementara ini saya minta anak saya kerja serabutan saja dulu”kata Nyoman. Jika sawahnya bisa kembali ditanami dia bertekad membiayai kuliah anaknya, “supaya jadi petani berdasi”harapnya. Hal yang sama diceritakan oleh Made Sadia, petani dari Meko. Anaknya seharusnya sudah kuliah, namun tidak bisa dilakukan karena biaya yang biasanya diambil dari hasil sawah tidak ada.
Pdt Nova Montolu mengutarakan hal yang sama. sawah keluarganya yang ada di desa Buyumpondoli kecamatan Pamona Puselemba sudah tidak bisa lagi diolah. Padahal dari sawah itu dia bisa menyelesaikan pendidikan kependetaannya. Dari sawah warisan turun temurun itu juga dia berharap bisa menyekolahkan anak-anaknya.
“Bagi saya sawah itu aset pendidikan”katanya. Tapi bukan hanya untuk kepentingan biaya sekolah. Hasil sawah itu juga berkaitan dengan ibadah dan tradisi mosintuwu masyarakat.
“Persembahan yang diberikan kepada gereja, saat pesta suka atau duka juga berasal dari hasil-hasil pertanian. Kalau itu semua tidak bisa lagi diolah, apa yang mau kami persembahkan?”katanya. Dia berharap, sawah dan kebun miliknya dan para petani lain bisa kembali diolah. Tentu hal itu hanya bisa terjadi jika air Danau Poso bisa kembali normal.
Sambil berurai air mata, Edi Salawati, petani lainnya menceritakan beban kebutuhan rumah tangga mereka yang sudah sulit lagi mereka penuhi. Hasil sawah adalah andalan mereka untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Sekarang mereka meminjam beras, berhutang untuk membeli beras.
“Air mata saya sudah dua tahun tidak terhapuskan, sekarang masuk tahun ketiga. Siapa yang akan menghapus air mata saya, sebagai ibu rumah tangga yang kelola kebutuhan rumah tangga”
Menurut Edi, lahan sawah yang digarap digunakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tapi juga kebutuhan sehari-hari. Sudah dua tahun ini jangankan kebutuhan pendidikan, untuk sesuap nasi saja sangat sulit terpenuhi.
Penambang Pasir Tradisional Menagih Janji
Bukan hanya petani yang merasakan pahitnya operasi PLTA Poso I. Ben Yans Mongan, penambang pasir tradisional desa Saojo kecamatan Pamona Utara, dekat dengan lokasi bendungan merasakannya juga.
“Sejak masyarakat mulai mengganti model rumah dari panggung ke rumah beton. Sekitar tahun 1972 orang tua kami sudah menambang pasir di sungai Saojo”katanya menjelaskan sejak kapan tradisi menambang pasir dilakukan warga desanya.
Semakin banyaknya orang bekerja menambang pasir membuat Yans dan beberapa orang penambang lain membentuk kelompok pada tahun 2005. Waktu itu jumlah penambang yang bergabung dalam kelompok itu berjumlah 32 orang. Aktifitas penambangan pasir tradisional inilah yang menyediakan material pembangunan rumah warga di desa Saojo dan sekitarnya.
Dari hasil menambang pasir, dalam sehari Ben bisa mendapatkan penghasilan sebesar 150 ribu per hari. Uang itulah yang dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selain dari bertani.
Suatu hari, kepala desa menyampaikan kepada mereka bahwa ada rencana pembangunan PLTA di sungai Poso, bendungan akan didirikan tidak jauh dari lokasi penambangan pasir.
“Sejak saat itu perusahaan sering mendatangi kepala desa dan berjanji bahwa kampung kami adalah kampung Energi”. Selain menganggap desanya sebagai ‘saudara perusahaan’ Ben mengatakan desa mereka juga dijanjikan listrik gratis selama 30 tahun dan perusahaan akan membantu pembangunan desa.
Lalu, perusahaan menggunakan kepala desa Saojo saat itu untuk membujuk penambang pasir menerima perusahaan dengan janji akan dijadikan karyawan. Dia mengatakan, hingga kini janji itu belum diwujudkan.
Naiknya permukaan air sungai seiring beroperasinya bendungan membuat para penambang pasir kesulitan bekerja. Kedalaman dasar sungai hingga 2 meter membuat mereka harus menyelam mengeruk pasir dengan ember. Akibat perubahan bentang sungai itu otomatis para penambang berhenti bekerja. Upaya menyampaikan keberatan kepada perusahaan menurut Ben sudah disampaikan berkali-kali. Sebagai jawaban, mereka ditawarkan akan diberi bantuan modal usaha bengkel dan usaha kecil lainnya. Tawaran itu ditolak, karena tidak sesuai dengan hasil yang biasanya diperoleh dari hasil menambang.
Keadaan yang sama dialami nelayan karamba . Rahmat Tengga, nelayan karamba dan nelayan wuwu mengeluhkan karamba mereka dibongkar tanpa sosialisasi. Saat mereka mengeluhkan hal ini ke perusahaan, mereka dibuat kesana kemari tidak ada kompensasi . Bagi para nelayan, meskipun punya lahan pertanian, hasil dari wayamasapi dan karamba sangat menguntungkan membantu kebutuhan pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Hilangnya Nilai-Nilai Budaya
Bagi warga di pinggilan Danau Poso, kehilangan lapangan pekerjaan bukan hanya berdampak ekonomi dan pendidikan tapi juga kehilangan nilai kebudayaan. Berlin Modjanggo, tokoh adat desa Meko kecamatan Pamona Barat belum bisa mengerti mengapa pemerintah dan orang-orang yang duduk di lembaga seperti DPRD tidak melihat mulai runtuhnya nilai-nilai budaya yang selama ini menjaga kebersamaan orang Poso.
Pria yang biasa disapa Ngkai Modjanggo ini menceritakan bagaimana perampasan kehidupan masyarakat yang berjalan dengan massif tanpa ada halangan dari pemerintah. Selain ratusan hektar sawah dan kebun yang hilang karena terendam, dia menyebut hilangnya budaya Wayamasapi.
“Hilangnya sawah, bukan hanya sawah. Tapi budaya gotongroyong dan kegembiraan juga ikut hilang”katanya sedih. Dia berharap Presiden mendengarkan apa yang disampaikan warga yang terdampak pembangunan mega proyek energi itu.
“Masyarakat adat merindukan duduk bersama, menggumuli bersama apa yang hendak dibangun. Baru setelah sepakat, kita kerjakan, bukan seperti sekarang, masyarakat tidak dilibatkan”sesal Ngkai Modjanggo.
Senada dengan Ngkai Modjanggo, Hajai Ancura, tokoh adat Desa Sawidago, menyebutkan di kompodongi, tradisi mosango tidak dapat lagi dilakukan, tradisi ini sangat ramah lingkungan dan sarat nilai filosofi kami, yakni penangkapan ikan tidak bisa sendiri-sendiri tapi bersama-sama.
“Kompodongi itu sebenarnya dalam RTRW tahun 2012 adalah kawasan oengungsian burung pada daerah rawa banjiran, ini adalah wilayah kelols rakyat. Seolah-olah adat ksmi tidak dihargai, tidak punya nilai apa-apa, kami merasa terinjak. Kami merasa ini harus dibicarakan kembali. Hari ini separuh dari 40 ha lahan itu sudah direklamasi. “
Hajai menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan telah membuat tersinggung warga yang memiliki budaya. Mengutip para leluhur, Hajai menyebutkan ‘laut tidak dibendung, tanah tidak dipagari, siapapun boleh datang membangun Tana Poso, Namun siapapun yang datangnya merusak maka laut tidak dibendung, tidak dipagari, silahkan pergi’
Sembari meminta agar reklamasi Kompodongi dihentikan, Hajai menyebutkan dia menentang tindakan apapun yang merusak budaya.
Konferensi Pers yang diselenggarakan Masyarakat Adat Danau Poso melalui fasilitas zoom, disambung oleh para aktivis lingkungan dan agraria. Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, misalnya menekankan bahwa seharusnya Pemerintah meminta maaf pada warga di sekeliling Danau Poso karena tidak sanggup melindungi warganya.
“Tanah adalah hak asasi manusia. Hak ini sudah dilanggar dengan adanya peresmian bendungan PLTA Poso oleh Presiden”
Harusnya, menurut Dewi, seluruh proses pembangunan PLTA di Poso dihentikan sampai seluruh hak masyarakat dipenuhi dan prosedur yang benar dengan peilbatan masyarakat dijalankan. Sementara itu Evani Hamzah dari Solidaritas Perempuan menyebutkan yang paling terdampak dan sangat sering diabaikan dalam proyek PLTA Poso adalah perempuan.
Pada akhir konferensi, Masyarakat Adat Danau Poso membacakan pernyataan sikap bersama : Menyayangkan peresmian PLTA POSO di tengah masalah dan tanggungjawab perusahaan yang belum diselesaikan. Memberikan penderitaan tapi tidak mau bertanggungjawab; Menolak PLTA Poso energi sebagai energi baru terbarukan karena nyatanya merusak lingkungan dan budaya; menolak PLTA Poso 1 ; menuntut PE menyelesaikan dampak lingkungan dan masalah yang dibuat perusahaan .
Konferensi pers diikuti dengan aksi megilu yang diikuti 20 perwakilan masyarakat adat danau Poso di jembatan Pamona. Aksi ini membentangkan spanduk sepanjang 20 meter berisi tulisan “ PLTA Poso I Diresmikan? Padahal Belum Bayar Hutang Ke Masyarakat Poso : Sawah / Kebun Terendam sejak 2020 ; Wayamasapi & Karamba dibongkar ; Pengerukan tanpa ijin; reklamasi rusak ekosistem, hilangkan budaya.