Moende, Tarian Tradisional Poso Mengingat Leluhur

0
3800
Moende di Desa Dulumai. Foto : dokumentasi TVRI Sulteng , Oktober 2021 . Diposting kembali oleh tim muda Jelajah Budaya Poso.

Di dalam sebuah artikel berjudul Perkembangan Seni Tari : Pendidikan Masyarakat, yang ditulis Dwi Anggraini dan Hasnawati, disebutkan  beberapa ciri tarian yang sudah muncul sejak zaman pra sejarah sekitar 20,000 SM sampai 400 SM yang disebut zaman primitif, serta masa 400 SM sampai 1945 yang disebut masa feodal. Kedua mahasiswa asal Universitas Bengkulu ini menyebutkan, tarian pra sejarah biasanya tumbuh di wilayah yang menganut animisme dan dinamisme. Dimasa itu, tarian dilakukan untuk pemujaan roh-roh leluhur dan seni. Formasi tarian di masa prasejarah biasanya berbentuk lingkaran untuk menggambarkan kekuatan. Dasar gerakannya menunjukkan maksud dan kehendak hati dan pernyataan kolektif. 

Arkeolog Museum Sulawesi Tengah, Iksam Djorimi mengatakan, selain melingkar, salah satu ciri tarian di Sulawesi Tengah adalah kehadiran Guma. Guma adalah senjata tradisional orang Kaili.  Di Poso, jenis senjata tradisional ini disebut  Penai. Salah satu tarian tradisional yang menggunakan Guma adalah Raego. Raego, salah satu tarian rakyat lembah Kaili (Palu, Sigi, Donggala) dilakukan berpasangan, laki dan perempuan. Saat Mo Raego, laki-laki membawa Guma. Guma yang ditemukan berusia sangat tua, lebih dari 1000 tahun.

“Raego itu ditarikan dengan ciri, laki-laki menyandang Guma, artinya tarian ini sudah sangat tua”kata Iksam. 

Meski tidak menggunakan Guma atau Penai, jika merujuk pada salah satu ciri tarian tradisional yang melingkar, Moende adalah jenis tarian yang sudah sangat tua.  

Dalam penceritaan maestro budayawan Poso, Yustinus Hokey, Moende awalnya adalah tarian pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Tarian ini menjadi cara pemujaan pada leluhur yang sering digunakan sebelum datangnya agama samawi ( terutama Kristen ) di Poso. Dalam bahasa Pamona salah satu suku di Poso, Moende berarti menari.  Moende dari kata “ende” yang diambil dari kata Dendelu yang berarti menari sambil mengikuti tabuhan gendang atau karatu. Ende, pada awalnya dilakukan sebagai bagian dari ritual mowurake, pada malam persiapan yang disebut molanggo. Ende pada malam Langgo tersebut dinamakan Ende Ntoroli. Ende NToroli dilakukan dalam gerakan lambat sambil melantunkan syair-syair pujian dan permohonan untuk dijawab oleh Yang Kuasa. 

Baca Juga :  Musik, Cara Anak Muda Poso Rawat Budaya

Ada tata gerak dan syair yang mengatur bagaimana Moende dilakukan. Dalam bahasa Pamona, aturan ini disebut Wirasa, Wiraga dan Wirama.

Wirasa, tampak dari gerakan para penari yang menggerakan kaki, tangan dan badannya saat mengikuti irama gendang (Ganda) dan Nggongi (Gong).  Dua alat musik ini adalah alat musik yang umum digunakan di tana Poso sebagai musik pengiring lagu dan tarian.

Wiraga ditentukan oleh tiga hal. Pertama, Tengku mPale. Ini mengatur agar lengan dilipat pada sudut 90 derajat,  lengan atas sejajar dada ke bawah dan lengan bawah tertekuk ke depan sejajar pinggang. Lengan digerakkan naik turun bertumpu pada siku. Pergelangan tangan diayun ke atas dan ke bawah sedemikian, sehingga menghasilkan gerakan yang halus gemulai. Sementara itu  jari-jari menutup di telapak tangan, seperti mengepal. Kedua, Soe. Ini mengatur gerakan kaki. Saat menutup satu seri gerakan Moende, kaki kanan diangkat kurang lebih 5 cm dari lantai dan diayunkan ke arah depan agak menyerong ke kiri. Dengan gerakan ini, pinggul akan bergerak dengan sendirinya membentuk lenggang yang alami. Ketiga, You. ini mengatur gerakan badan yang harmoni bergerak diikuti Tengku mPale dan Soe.  Gerak badan ini akan berayun naik dan turun berirama sambil bergerak ke kiri satu langkah,dan ke kanan satu langkah. Polanya kiri – kanan – kanan.

Wirama, aturan dalam Moende yaitu tarian dengan  iringan gong dan gendang serta lantunan Kayori. Kayori adalah salah satu bentuk sastra dalam suku Pamona . Dalam Moende, kayori ini dilantunkan engan irama lambat yang disebut Mo ledoni. Karena gerakannya yang lembut itu, tari ini juga sering disebut para orang tua jaman dulu dengan nama Dendelu. Sehingga Moende juga biasanya disebut Modendelu.

Dari wirasa, wiraga dan wirama itulah terbentuk tarian Moende yang lemah gemulai.

Moende menjadi Modero , Ungkapan Cinta dan Penghormatan pada Perempuan

Dalam perkembangannya, Moende tidak hanya menjadi tarian pemujaan pada roh leluhur tapi juga tarian untuk menyampaikan maksud hati. Hal ini terutama terjadi setelah masuknya agama samawi di Poso.  Lazimnya Moende  untuk menyampaikan maksud hati ini dilakukan di malam hari, khususnya saat Molanggo. Molanggo adalah tradisi yang dilakukan masyarakat pada malam hari untuk menyiapkan kebutuhan sebuah perayaan di keesokan harinya. 

Baca Juga :  Mompaho, Tradisi Tanam Berirama di Ladang

Yustinus Hokey, maestro budaya Poso, menceritakan percakapannya dengan Ngkai E. Kolombuto(alm) pada bulan Juli 2009 tentang perubahan gerak Moende setelah masuknya Jepang.  Tahun 1944, Ngkai Kolombuto adalah Kepala Kampung Lane(sekarang Kelurahan Tendeadongi). Dia diperintahkan oleh serdadu Jepang untuk memimpin masyarakat mengerjakan pembuatan jalan dari Sulawesi Tengah ke Sulawesi Selatan. Pembuatan jalan ini dikenal dengan nama proyek jalan Takolekaju. Proyek pembuatan jalan ini bersamaan dengan rombongan pengangkut sapi, yute dan kapas yang akan dibawa ke Makassar. Dalam perjalanan bersama, mereka singgah di Desa Dulumai. Serdadu Jepang yang mengawal perjalanan itu meminta masyarakat Dulumai untuk menyelenggarakan atraksi kesenian untuk menghibur mereka. Warga Desa Dulumai melakukan tarian Moende. Serdadu Jepang gusar karena gerakan yang statis dan lambat. Oleh serdadu Jepang, para  penari diminta bergandengan tangan. Bukan hanya bergandengan tangan,  tabuhan karatu atau gendang yang juga dimainkan lambat dan dinamis, diminta untuk dipercepat. 

Saat serdadu Jepang menanyakan nama tarian, Ngkai Kolombuto menjawab Modendelu. Oleh serdadu Jepang disebut menjadi Mo dero. Sejak itulah, moende dengan gerakan lambat bertransformasi menjadi dero, dengan gerakan yang lebih bersemangat. 

Jika awalnya Moende dilakukan dalam lingkaran dengan tidak berpegangan tangan, dalam perkembangannya Moende ditarikan dalam lingkaran dengan berpegangan tangan. Orang Poso kemudian menyebutnya Modero. Tarian Modero kemudian mulai dilakukan pada saat perayaan sedang dilaksanakan. Karena dilakukan saat perayaan maka syair-syair yang dilakukan dalam Modero mulai mengandung ungkapan hati terhadap seseorang. Meskipun tidak ditujukan untuk pemujaan leluhur, bentuk lantunan syair tetap sama, yaitu kayori. 

Kayori yang dilantunkan tidak hanya berbentuk ungkapan cinta tapi juga bisa mengandung kritik. Kayori ini dilantunkan oleh satu orang , yang  kemudian pada bagian tertentu , semacam refrain, diikuti bersama-sama dengan orang lain. 

Baca Juga :  Gawe Ada Ngkatuwu: Menggali, Menjaga, Merayakan Tradisi Suku Bangsa Pamona

Salah satu contoh kayori ungkapan hati pemuda kepada pujaan hatinya di dalam lingkaran Modero misalnya : 

Bagian ini dinyanyikan satu orang:

Kupeoasi ri siko / Kutanya pada dirimu . Sono nenuliko-liko /Jawablah jujur. Mungge rayaku nenu liko /Hatiku janganlah kau bohongi. Mpopea danupa’io /Menunggu jawabanmu

Lalu diikuti oleh seluruh orang dalam lingkaran dengan menyanyikan beramai-ramai syair berikut : 

Mungge nenu liko rayaku Jamo siko ntano ondo ndayaku-ondo nyayaku / Hanya dikau harapanku. Ane ntano podo danupatambo / Jika kau tolak. Lawi daku mate mawo / Aku bisa mati karena cinta

Dengan lantunan syair-syair ini pula, Modero bergerak. 

Meskipun tarian Moende yang dibawakan dalam perkembangannya sudah melakukan gerakan saling berpegang tangan, namun tarian ini tetap memegang nilai penghormatan. Dalam agama Molamoa yang dipercaya oleh orang Poso sebelum agama Samawi masuk, perempuan adalah pemimpin spiritual. Disebut sebagai Topowurake. Penghargaan terhadap perempuan ini nampak dalam perkembangan awal tarian Moende saat berubah menjadi Modero.

Dalam gerakan melingkar dengan posisi saling berpegangan tangan, posisi tangan perempuan harus berada di atas dan tangan laki-laki di bawah. Ini  adalah simbol bahwa perempuan tidak dijajah. Secara fisik, posisi tangan perempuan yang ada diatas melindungi perempuan dari kemungkinan badannya disentuh dengan sengaja oleh laki-laki.

Sekarang, tarian ini Moende  menjadi jarang ditarikan. Moende hanya akan dilaksanakan pada waktu-waktu dan acara tertentu, misalnya dalam acara penyambutan tamu, pesta perkawinan, dan juga pada saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Sayangnya, jika demikian tarian Moende kehilangan makna dan arahnya. Beberapa llangkah yang bisa dilakukan untuk kembali mengangkat tarian Moende bisa dilakukan dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan, muatan lokal, pada jenjang pendidikan Dasar dan Menengah. Membicarakan dengan sengaja dan mempraktekkan Moende, bisa menjadi cara menjaga maknanya. 

Penulis : Iin Hokey

Editor  : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda