Ranta, Sisa Peradaban Lembah Bada yang Hampir Hilang

0
1518
Harogo Kawewo, 59 tahun sedang menyelesaikan proses pembuatan kain kulit kayu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Bunyi Peboba menerpa Hela’i, kulit pohon Malo (ficus sp) yang dihampar diatas balok sepanjang 2 meter terdengar berirama. Kedua tangan Nia Tondu memegang pemukul sepanjang 30 cm yang terbuat dari pohon Enau itu. .

Pagi itu, perempuan berusia 71 tahun bernama Nia Tondu yang akrab disapa nene Dora tidak sendiri, dia ditemani Harogo Kawewo (59) yang bertugas menghaluskan kain hampir jadi dengan Ike, pemukul batu yang diikatkan pada rotan. Keduanya sedang membuat Ranta, kain dari kulit kayu yang jadi ikon Lembah Bada.

Di teras sebuah rumah di desa Lengkeka, ibukota kecamatan Lore Barat, yang jadi tempat pembuatan Ranta, aktifitas sudah dimulai pukul 08:00 pagi. Kedua Tangan Nene Dora dan Harogo terus memukul, menghasilkan irama yang enak didengar. seperti Kakula. Tempat itu adalah pusat kegiatan Ranta Manoba, sebuah kelompok yang menghimpun sekitar 20 orang. Tidak semua anggotanya mahir ‘menenun’ Malo seperti nene Dora dan Harogo Kawewo. Sebagian besar membuat produk kerajinan berbahan dasar Ranta.

“Habis ini dibelah lagi supaya panjang. Lalu itu disatukan lagi ditengah, terus dipukul lagi”  nene Dora menerangkan dengan logat Bada yang kental.

Bada adalah suku terbesar yang mendiami kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan. Wilayah kaya Megalit ini berjarak sekitar 80 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam dari Tentena, kecamatan Pamona Puselemba. 

Nene Dora satu dari 20 orang anggota kelompok Ranta Manoba yang masih mahir membuat Ranta. Dia belajar dari ibunya sejak remaja.

Ciri pekerja keras tampak dari singkatnya waktu istirahat ketika membuat Ranta. Sesekali dia berhenti mengambil napas. Didekat kakinya setumpuk Malo yang siap dipukul sudah menunggu giliran.

“Hanya istirahat makan siang. Habis itu mulai lagi” katanya masih dengan senyum. Bayangkan, di usia tua dia mampu berdiri 8 jam. Mulai jam 8 sampai 12 siang. Lalu jam 13 sampai jam 17. Anak muda sekarang pasti sudah mengeluh.

Mama Dean, Harogo, dan Nene Dora bekerja sama dalam menyelesaikan pembuatan kain kulit kayu yang sudah sangat langka di tempatnya. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray Rarea

Tentu ada dampak, karena usia sudah tidak muda. Paling sering Nene Dora merasakan sakit di lengan hingga pundak. Kadang juga sampai ke pinggang. “Mungkin karena terlalu lama berdiri”katanya. Tidak heran kain sepanjang tiga meter bisa dihasilkannya dalam 3 hari.

Baca Juga :  Pameran Foto Bercerita : Perempuan Memimpin Perubahan

Ranta yang dihasilkan bukan sekedar hasil kerja keras. Disana ada perpaduan keterampilan tinggi, kesabaran dan ketekunan. Sudah jarang yang mewarisi ketekunan dan kemampuan membuatnya. Kalau ada bisa dihitung jari dalam satu desa. Akan hilangnya Ranta dari budaya masyarakat lembah Bada semakin nyata, saat ini tersisa tidak lebih dari 5 tempat pembuatannya.

“Tidak ada. Barangkali tidak suka lagi. Kalau ada yang mau, saya pasti ajar”kata nene Dora, masih tersenyum meski ada kegetiran karena membayangkan tidak ada yang melanjutkan tradisi ini.

Sampai hari ini, Ranta masih mudah ditemukan di desa-desa di lembah Lore. Namun bisa dikatakan, Nene Dora dan ibu Harogo Kawewo mewakili generasi terakhir yang bukan hanya masih bersemangat membuatnya, tapi memaknainya sebagai tradisi leluhur yang tidak harus hilang.

Barangkali 10 tahun kedepan, jika nene Dora dan ibu Harogo tidak lagi bisa membuatnya, Ranta hanya jadi kenangan. Kalaupun ada itu adalah kain lama yang menunggu tua. Arkeolog Iksam Djorimi mengatakan, Ranta sudah dikenal sejak 4 ribuan tahun, hampir setua perdaban megalith di lembah Lore.

Rata-rata pengrajin Ranta yang ada di lembah Bada sudah menua. Generasi baru mungkin ada, tapi barangkali tidak lagi seperti bagaimana nene Dora menjiwainya. Keterampilan mudah diturunkan, tapi meyakini Ranta sebagai bagian kebudayaan sehari-hari sudah pudar.

Elisabeth Kalahe (88) mengungkapkan kegelisahan tidak ada yang melanjutkan studio Ranta di belakang rumahnya. Dia bilang “Anak sekarang malas belajar”. Maksud dia, semua sudah berpikir praktis. Pikiran praktis itu menurut perempuan yang akrab disapa mama Beri itu terlihat dari tidak ada lagi yang punya minat melestarikan Malo, Bea.

Di usia senja, mama Beri sudah tidak mampu berjalan jauh dari rumah. Matanya masih terang, pendengarannya yang mulai surut. Itu sebab dia menggantungkan produksi Ranta dari Malo yang diambilkan oleh anak-anaknya dari hutan di sekitar desa Gintu kecamatan Lore Selatan.

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Pagi menjelang siang awal bulan April 2022, kami bertemu mama Beri di belakang rumahnya yang jadi studio. Di ruangan beratap daun sagu yang tak berdinding seluas 3×4 meter itu dia menunjukkan potongan Ranta yang sudah dibuatnya. Hari itu dia tidak membuat Ranta, salah seorang anaknya belum membawakan Malo yang dimintanya.

Dari 14 orang anaknya, tidak seorang pun yang ikut jejak membuat Ranta. Seorang anak perempuannya punya sedikit keterampilan itu, namun tidak tertarik menjadikan Ranta sebagai sumber utama penghasilan keluarga.

Pengrajin Belum Dapat Pasar Langsung

Satu meter Ranta buatan mama Beri maupun kelompok Ranta Manoba dijual 100 ribu rupiah. Jika mama Beri hanya sampai di proses menghasilkan Ranta, maka nene Dora dan kelompoknya mulai membuat beragam kerajinan. Ada dompet, tas, taplak meja hingga bungkusan tissue. Harga rata-rata kerajinan itu dipatok 35 sampai 50 ribu rupiah.

“Untuk sekarang berhenti dulu. Tunggu mesin diperbaiki”kata mama Dean, koordinator Ranta Manoba. Mesin jahit bantuan pemerintah yang diterimanya tahun lalu rusak, padahal baru menghasilkan beberapa tas dan taplak meja.

Mama Dean juga cerita tentang susahnya mendapatkan pasar yang menguntungkan pengrajin. Sekitar 40 meter Ranta produksi kelompoknya kini masih menunggu pembeli. Biasanya dia menjual pada pengrajin lain yang ada di desa Gintu. Dia ingin ada pasar yang lebih besar untuk menyerap secara rutin produksi kelompok.

Mama Dean menunjukkan upaya mereka mengembangkan kain kulit kayu menjadi produk yang bisa digunakan sehari-hari. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray Rarea

Beberapa kali dia dihubungi oleh calon pembeli yang ternyata menawarkan harga murah tapi menjualnya lagi dengan harga tinggi. Persoalan ini sudah beberapa kali disampaikannya dalam pertemuan bersama pemerintah atau pada workshop yang diikutinya.Tapi seperti halnya Megalit yang hanya dipinjam kemegahannya untuk promosi daerah, demikian juga nasib Ranta.

Kayu Malo masih mudah ditemukan di hutan sekitar desa Lengkeka yang berada ditengah kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).  Para para pengrajin masih mengandalkan ketersediaannya secara alami. Belum ada budidaya yang dilakukan untuk melestarikan pohon ini.

Baca Juga :  Sound Keliling Desa, Mengubah Wajah Lemusa

Mama Dean, pimpinan kelompok pengrajin Ranta Manoba desa Lengkeka bercerita, kayu Malo kini mulai jauh dari desa. Tanaman ini menurut dia hanya tumbuh di lahan yang baru dibuka untuk kebun. Kini mereka membayar warga untuk mengambilnya dari hutan dengan upah 100 ribu rupiah untuk 30 ikat kayu Malo.

Malo dipilih meskipun ada kayu lain. orang Bada menyebutnya kayu Bea (bhroussonetia papyrifera). Pohon yang lebih kecil dibanding Malo. Namun menurut nene Dora, Malo lebih mudah dikupas dan kain yang dihasilkan bisa lebih panjang dan lebar.

Tidak seperti Kerbau yang sudah jarang ditemukan. Di lembah Bada, Ranta bisa ditemukan dimana-mana dalam ragam rupa. Dari pakaian tradisional yang hanya dipakai untuk acara seremonial. Diluar, kita temukan dalam pernak-pernik pelengkap penampilan untuk beri kesan etnik yang elegan. Harganya mahal. Satu set pakaian berbahan Ranta bisa 1,5 juta rupiah. Kini bahan pakaian adat mulai bergeser, sebagian sudah menggunakan kain. Alasan umum adalah praktis dan perawatan yang mudah serta murah.

Ranta memang tidak bisa dicuci dan disetrika. Itu sebab banyak merasa tidak cocok dengan masa kini yang serba praktis dan cepat. Ranta, sebagaimana proses dibuatnya, memang tidak untuk hidup yang terburu-buru apalagi merusak alam. Banyak nilai yang melekat padanya. Saling menghidupi tergambar dari awal proses pembuatannya. Menyatu dengan alam juga kita temukan dari seluruh bahan dan alat pembuatnya. Bahkan ketika diwarnai, hanya menggunakan bahan alami dari dedaunan hingga tanah liat.

Ike, batu granit segi empat dengan 3 jenis garisnya memberi pesan dari masa lalu bagaimana leluhur menjaga alam. Ike sudah tidak lagi dibuat. Alat vital dalam pembuatan Ranta ini adalah warisan bergenerasi dari orang-orang tua para pengrajin.  

Lalu siapa yang akan mewarisi Ike dari Elisabeth Kalahe, Nia Tondu, Harogo Kawewo?

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda