Konferensi Perempuan Poso Tentang Tanah, Air dan Hutan

0
1167
Perempuan dari berbagai desa mengikuti konferensi perempuan Poso : tanah, air, hutan pada tanggal 26 - 27 Mei 2022 di Dodoha Mosintuwu, Tentena. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

“Sekarang banyak anak muda keluar desa, pigi cari pekerjaan.  Ibu meninggalkan anak, pigi jadi TKW. Laki-laki tinggalkan keluarga cari pekerjaan di daerah tambang nikel. Ini semua karena tanah pertanian kami sudah mulai rusak” keluh ibu Anita dari desa Poleganyara, kecamatan Pamona Timur.

Selama 2 hari, Kamis hingga Rabu 26 – 27 Mei 2022, 103 perempuan dari 25 desa di Kabupaten Poso khususnya wilayah Poso Pesisir, Poso Pesisir Utara, Lore Selatan, Lore Barat, Pamona Puselemba, Pamona Barat, Pamona Timur, Pamona Tenggara bertemu di Dodoha Mosintuwu, Pamona. 

Persoalan Tanah, Air dan Hutan menjadi pokok diskusi dalam konferensi perempuan yang pertama kali diadakan di Kabupaten Poso. Topik ini dilatarbelakangi temuan Institut Mosintuwu dalam perjalanan di desa-desa bahwa dalam 25 tahun terakhir telah terjadi pengambilalihan tanah, air dan perusakan hutan di Kabupaten Poso. Akibatnya bukan hanya pada kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan kemiskinan tapi juga kesehatan masyarakat khususnya pada perempuan. Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu menyebutkan dampak yang dialami perempuan akan membawa perubahan pada komunitas

“Kami meyakini bahwa pada tubuh perempuan ada tanah, air dan hutan. Pertama-tama terkait soal apa yang diproduksi dan dikonsumi, namun juga soal identitas komunitas yang melekat pada tanah, air dan hutan” ujar Lian.

Peserta Konferensi Perempuan Poso dari berbagai desa membawa tanah, air, dan hasil hutan dan menceritakan sejarah dan ingatan masing-masing unsur . Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Dalam konferensi ini, para perempuan membawa unsur tanah, air dan hasil hutan dari desa mereka masing-masing. Saat meletakkan unsur-unsur tanah, air dan hasil hutan di ruangan tengah konferensi, para perempuan secara bergantian menyebutkan makna tanah, air dan hutan. Sumber kehidupan, merupakan satu kalimat yang berulang-ulang disebutkan. Lalu, disebutkan juga sebagai jantung manusia, paru-paru , tempat hidup, sumber kesembuhan, sumber penghasilan. Pemaknaan atas semua unsur tanah, air dan hutan yang dibawa ini dikuatkan dengan seruan bersama para peserta konferensi menandai dimulainya konferensi :

“Tanah, air, hutan untuk kehidupan”

Perempuan Mengingat Tanah, Air dan Hutan 

Hari pertama konferensi dimulai dengan cerita para perempuan tentang ingatan dan sejarah atas tanah, air dan hutan. 

Desa-desa di wilayah Poso Pesisir secara bergantian menyebutkan kesuburan dan kekayaan hasil hutan di wilayah mereka . Kayu Eboni, kebun coklat dan tanaman palawija menjadi mata pencaharian warga. Sementara di wilayah Pamona Timur, para perempuan membanggakan Danau Toju sebagai pusat wisata warga dan sumber ikan yang melimpah. Di Lembah Bada, cerita tentang beras endemik yang menjadi sumber pangan utama organik. Sementara desa-desa di wilayah sekeliling Danau Poso menceritakan kekayaan ikan-ikan. Dalam penceritaan ini para perempuan menekankan tentang kegembiraan yang dirasakan berada dalam desa. 

Baca Juga :  Menjiwai Kedaulatan di Maskot Festival Mosintuwu

Ingatan perempuan juga menggambarkan bagaimana pengelolaan dilakukan secara bersama-sama, manual dan organik. Semua kehidupan berlangsung dengan mengandalkan apa yang dimiliki oleh alam. 

“Tidak ada pupuk yang digunakan,  Mudah dan tetap hasilnya banyak”  ujar 

Saat menceritakan ingatan, unsur tanah, air dan hasil hutan yang dibawa dari desa diedarkan kepada seluruh peserta konferensi untuk membaui, menyentuhnya, mencicipi bahkan menggunakannya. Damar dari Desa Gintu, Lore Selatan dicoba dinyalakan di ruangan konferensi setelah mendengarkan cerita bahwa damar menjadi alat penerang saat listrik belum ada.  Madu dari Desa Didiri dicicipi. Buah Jongi yang sudah langka dibaui, demikian juga jenis kayu-kayuan seperti kayu manis, dan pakanangi. 

Unsur tanah, air dan hasil hutan diedarkan kepada seluruh peserta dalam cerita ingatan perempuan atas tanah, air dan hutan di Konferensi Perempuan Poso, 26 – 27 Mei 2022. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Ada kebanggaan yang tersampaikan saat para perempuan ini menceritakan ingatan mereka. 

“Di Didiri, kemiri kami disebut kemiri super. Kenapa? karena saat dipecahkan kulitnya, kemirinya tidak pecah tapi masih bulat utuh, bandingkan dengan yang lain” cerita Plistin, ibu dari Desa Didiri.

Plistin melanjutkan, pohon kemiri yang diceritakannya tumbuh sangat besar di atas batu . 

Lain lagi cerita dari Poso Pesisir yang dengan bangga menyebutkan bahan bangunan rumah sangat mudah didapatkan dari hutan. Segala jenis kayu dan pengikatnya juga atap tersedia. Setiap orang hanya membutuhkan kerja untuk mencarinya di hutan untuk bisa punya rumah. 

“Dulu kalau mau makan ikan termasuk lobster dan taripang, tidak perlu berjam-jam, tidak perlu jauh jaraknya. Cukup ke laut sekitar 100 meter, tunggu sekitar 10 menit sudah bisa dapat hasilnya banyak” cetus Salma dari Desa Tiwa’a , Poso Pesisir. 

Ingatan tentang dulu, diteruskan dengan cerita kondisi sekarang pada hari kedua konferensi. Cara bertani tidak ramah lingkungan, tebang hutan untuk jual kayu marak karena satu hal. Untuk dapat hasil instan. itulah salah satu sebab hasil madu di desa Didiri, kecamatan Pamona Timur berkurang drastis 3 tahun terakhir. Desa ini terkenal sebagai penghasil madu.

Duriati Monggede (51) perempuan petani di Didiri mengatakan, madu semakin sedikit karena hutan desanya semakin kecil. Penebangan pohon terus menerus membuat lebah kehilangan sumber makanan.

“Sekarang cari madu sudah susah. Pohon yang ditebang itu umumnya yang berbunga. Itu sumber makanan lebah”keluh Duriati. Jika madu semakin sulit didapat, artinya mereka kehilangan satu sumber pendapatan yang cukup besar. Namun hilangnya madu baru satu masalah. Tanah sawah Duriati tidak bisa disertifikat.

Baca Juga :  Menakar Kesiapan Penanganan Covid-19 di Poso

Di Desa Didiri kini terpancang ratusan, bahkan mungkin ribuan patok di sisi barat dan timur desa. Tanah yang kena patok berarti tidak bisa disertifikat. Duriati tidak tahu sebabnya. Dia coba tanyakan itu ke kepala desa. Tapi tidak dapat jawaban yang jelas.

Di Lembah Bada, hari Selasa 3 maret 2020 sekitar pukul 16:00 wita, tiba-tiba banjir menerjang Desa Lengkeka, kecamatan Lore Barat. 1 orang meninggal, 10 rumah hanyut, 11 rusak berat, 51 rusak ringan dan bikin 913 orang mengungsi. Sisa-sisa tebangan kayu yang terbawa bersama bah jadi bukti adanya penebangan pohon di hutan.

“Setelah banjir tahun 2020 itu sekarang setiap kali hujan, sumber mata air kami jadi keruh seperti kopi susu”kata Yespin Pakia, pengrajin Ranta, kain kulit kayu dari desa Lengkeka. Dia merasakan betul perubahan alam sekitarnya pasca peristiwa itu. Salah satunya, kayu Malo, bahan utama membuat Ranta sudah sulit didapatkan.

Di desa Tiwa’a, Poso Pesisir, Salma bercerita bagaimana mudahnya menemukan Lobster ketika pohon Bakau masih memenuhi pantai dibelakang rumahnya. “Tapi kalau sekarang, susah sekali dapat. Cari ikan saja sudah susah, harus jauh ke tengah laut”katanya. Perubahan itu bermula ketika Bakau ditebang dan sisa cairan pestisida mengalir dari sungai ke laut.

Hilangnya kesuburan tanah bikin banyak anak muda di desanya semakin enggan jadi petani. Pilihan pertama, bekerja di perusahaan tambang di Morowali yang beberapa tahun terakhir gencar membuka lowongan sebagai buruh pabrik nikel. Yang bikin Salma sedih, saat kesuburan tanah berkurang justru ditinggalkan, bukan diperbaiki. Bahkan tidak berpikir untuk jadi petani.

“Sekarang banyak anak muda keluar desa, pigi cari pekerjaan.  Istri meninggalkan anak pigi jadi TKW, yang laki-laki cari pekerjaan di daerah tambang nikel. Ini semua karena tanah pertanian kami sudah mulai rusak.” ujar ibu Ester dari desa Poleganyara, kecamatan Pamona Timur. Sebenarnya perpindahan penduduk, khususnya kaum muda Poso ke wilayah tetangga untuk bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik Nikel atau Kelapa Sawit sudah berlangsung 5 tahun terakhir. Gaji besar menjadi daya tarik utama. Akibatnya, desa ditinggalkan. Tanah pertanian ditinggalkan. 

Peserta konferensi perempuan Poso : Tanah, Air dan Hutan berasal dari 25 desa di Kabupaten Poso . Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Menjaga dan Melindungi Tanah, Air dan Hutan

“Tanah, air, hutan untuk kehidupan”. Kalimat ini diteriakkan dengan lantang oleh peserta konferensi sebagai sebuah seruan untuk merespon kondisi yang sedang merusak tanah, air dan kehidupan. Sebelumnya, Lian Gogali menfasilitasi proses konferensi dengan mengajak para perempuan menyampaikan ide-ide yang mendesak perlu dilakukan perempuan merespon situasi sekarang. 

Baca Juga :  Training Perempuan dan Isu Kritis UU Desa

Pendidikan kritis dirasakan mendesak untuk bisa mengajak kembali masyarakat menjaga untuk mengelola tanah, air dan hutan dengan alamiah. Hal ini dikarenakan jargon pembangunan dengan konsep industri massal telah mempengaruhi cara hidup masyarakat sehingga melupakan hubungannya dengan alam. Pendidikan kritis ini diharapkan sekaligus membangun kesadaran kritis masyarakat untuk mempertahankan, menjaga dan memperjuangkan tanah, air dan hutannya. 

“Kita berdoa, tapi juga perlu memikirkan bagaimana agar perusahaan-perusahaan besar tidak masuk di desa, terutama desa kami” ujar Duriati, perempuan berusia 65 tahun dari Desa Didiri. Menurutnya, jika perusahaan masuk di desanya maka yang akan terjadi adalah kelaparan, kemiskinan hingga kematian. 

Melindungi yang masih tersisa menjadi agenda yang disepakati peserta. Yang tersisa itu adalah tanah untuk dipertahankan dari perusahaan-perusahaan yang mulai mengincar tanah.  Selain upaya memperbaiki kembali tanah yang rusak. Mempertahankannya dari godaan untuk dijual menjadi agenda penting yang harus dikerjakan. Salah satunya mengajak kembali anak-anak muda desa kembali ke desa. 

“Di desa kami, ada petani yang sukses. Dia mampu biayai anak-anaknya sekolah sampai kuliah dari hasil kebunnya”. kata Salma. Menurut dia, itu bukti bahwa jadi petani tidak kalah menjanjikan dibanding kerja di pabrik. Hanya diperlukan kerja keras dan pengetahuan yang cukup untuk menjadi petani yang berhasil.

Konferensi menghasilkan rekomendasi bersama membangun gerakan bersama menjaga tanah, air dan hutan. Dalam konteks menjaga tanah, air dan hutan, seluruh peserta kongres bersepakat untuk mengembangkan upaya menjaga tanah, air dan hutan melalui serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pangan di rumah dan komunitas. Upaya, inisiatif yang dikembangkan oleh para perempuan ini akan dibawa dalam kegiatan festival Mosintuwu yang diselenggarakan di bulan Oktober 2022.  

Ovarium Alam, ekspresi peserta Konferensi Perempuan Poso tentang tubuh perempuan atas tanah, air, dan hutan. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Menutup konferensi, sebuah karya bersama “ovarium alam” dihasilkan bersama oleh seluruh peserta konferensi. Tanah-tanah dicampur air yang dibawah dari desa. Hasil hutan dibagi dalam bagian-bagian kecil. Seluruh unsur tanah, air dan hutan ini kemudian diletakkan dalam gambar ovarium . Ovarium yang dibentuk dari seluruh unsur tanah, air dan hutan ini menggambarkan bagaimana tubuh perempuan ada tanah, air dan hutan.

“Karena itu, menjaga tanah, air dan hutan adalah sebuah gerakan menjaga kehidupan” pungkas Lian. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda