“Mama tidak usah kasi kuliah ( kuliahkan ) saya. Bayar saja utang mama. Kalo mama nanti tidak ada uang, mama pinjam uang terus nanti. Kalo saya kuliah pas mama tidak ada uang bagaimana?,”
Ini adalah penggalan obrolan Roslin Langgara (49) dan anak perempuan bungsunya – yang memendam hasrat meneruskan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Pada suatu siang di kampungnya di Desa Meko, dia menyaksikan ibunya dicegat di tengah jalan. Dipaksa turun dari kendaraan roda dua. Ibunya dipaksa penagih dari sebuah lembaga keuangan, segera melunasi pinjaman yang sudah menunggak beberapa bulan.
Di atas motor menuju pulang, Roslin mengaku air matanya merembes. Kata-kata sang anak menghunjam nuraninya. Sebagai ibu yang bertekad memberikan yang terbaik bagi anak, mestinya ia bisa memenuhi keinginan anaknya itu. Harapan itu tergantung pada PT Poso Energy mau membayar sawahnya dengan harga wajar. Dengan itu, anaknya melanjutkan kuliah di Poso – setelah tekadnya mengejar impian di Jogja dan Palu kandas karena kendala biaya.
Roslin Langgara adalah salah satu petani perempuan asal Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat di Kabupaten Poso, yang tak berhenti berjuang mengejar haknya. Tanah sawah seluas 1 hektar lebih, dua tahun terakhir ini tidak bisa ditanami karena terendam air. Akibat naiknya permukaan air Danau Poso. Pada hal di atas sawah itulah keluarga kecil ini – membangun kehidupan.
Saat tidak ada sumber penghidupan yang bisa diandalkan, problem baru datang mengintai. Warga mulai dililit utang tanpa tahu kapan utang plus bunga itu bisa dilunasi. Rekan Roslin menimpali, di desanya ada kebiasaan mengambil barang seperti pestisida, pupuk dan lain-lain. Barang-barang itu akan ditebus setelah panen. Pun, warga kerap mengambil pinjaman di bank untuk keperluan membangun atau rehab rumah. Termasuk kebutuhan membayar kuliah anak-anak yang hendak masuk Perguruan Tinggi. Masalah timbul ketika pinjaman telanjur diambil dan sawah tidak bisa lagi digarap. Tak heran, ada warga mulai cemas aset agunan bakal melayang disita bank.
Untuk menutup pinjaman, ada yang beralih meminjam di koperasi. Lalu saat pinjaman di koperasi tidak bisa ditebus, warga beralih ke pinjaman mingguan. Tak bisa ditebus, beralih lagi ke pinjaman harian. Begitu seterusnya. Sebelumnya, tidak pernah terjadi fenomena macam itu. ”Saat sawah kami masih bisa digarap, selalu bisa bayar pinjaman dan bunga secara teratur,” ungkapnya ditemui di Palu, Kamis 30 Mei 2022 lalu.
PERJUANGAN TAK BERUJUNG
Pada 30 Mei 2022 lalu, Roslin dan puluhan petani dari desa terdampak kembali menemui Gubernur Sulteng Rusdi Mastura. Tujuannya untuk meminta perhatian Gubernur terhadap nasib tidak adil yang mereka rasakan. Sayang, walau sudah bertahan seminggu lebih di Palu, niat untuk bertemu selalu gagal. Mereka, hanya ditemui Tim Ahli Gubernur Ridha Saleh. Tuntutan kepada Gubernur, menurut Roslin mereka minta dipertemukan dengan Direksi PT Poso Energy.
Roslin dan rekannya mewakili ratusan kepala keluarga (KK), memperjuangkan skema ganti rugi yang menurut mereka lebih manusiawi. Daripada tawaran perusahaan sebesar 10 kg per are. Bagi 80 KK di Desa Meko yang mempunyai luas lahan 70 hektar, harga Rp362 ribu per are adalah angka yang moderat. Angka sebesar Rp362 ribu adalah hitungan penghasilan rata-rata 40 kg per are. (Biasanya, 52 kg hingga 53 kg/are sekali panen). Kemudian angka itu dikali dengan dua kali panen setahun. Lalu dikali dua lagi sebagai tebusan sawah mereka yang tidak bisa digarap selama dua tahun terakhir ini. ”Dari hitung-hitungan itu ketemulah angka Rp362 ribu per are,” ungkap rekannya.
Petani lainnya Adonia Walinco’o (67) Desa Buyumpondoli Kecamatan Pamona Pusulembah juga mengaku akan tetap bertahan dengan skema itu. Menurutnya di desanya ada 10 KK yang terdampak seperti dirinya. Dari jumlah itu tinggal 7 KK yang masih bertahan. Sisanya 3 KK sudah dibayar dengan nilai 10 kg/are. Kakek dengan sejumlah cucu ini mempunyai lahan seluas 50 are. Saat ini akunya, dirinya sudah pada posisi kalah. Lebih tepatnya dipaksa kalah. Maka angka Rp362 ribu/are menurutnya cukup masuk akal untuk menjamin dirinya menghadapi masa tua. ”Kan nanti tanah itu tidak bisa dipake seterusnya, mestinya dihargai wajar. Kami terus berjuang sampai kapanpun,” ujarnya dengan napas tersengal.
Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) dalam agenda pertemuannya dengan Gubernur Rusdi Mastura pada 30 Mei 2022 yang akhirnya gagal itu, mengajukan beberapa tuntutan. MADP yang hanya diterima Tim Ahli Gubernur, Ridha Saleh menyebut sejak April 2020 hingga sekarang, sawah dan kebun petani di sekeliling Danau Poso sudah terendam akibat uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I. Akibatnya terjadi gagal panen.
Terdapat enam desa di sekeliling Danau Poso yang belum menerima penggantian kerugian secara adil. Desa Meko 79 KK, Desa Pendolo 19 KK, Desa Tonusu 30 KK, Desa Buyumpondoli 7 KK, Desa Peura 3 KK dan Desa Toinasa serta 4 KK di Desa Saojo. Tuntutan yang perlu dibicarakan dengan Direktur Utama PT Poso Energy adalah penggantian atas kerugian sawah dan kebun yang terendam pada 2020 – 2021 atau 4 kali musim tanam lengkap dengan rincian perhitungannya.
Jika pada 2020, ganti rugi sawah senilai Rp362 ribu/are, maka pada 2021, ganti rugi sawah sebesar Rp305 ribu lebih. Problemnya sama, sawah tidak diolah karena terendam. Lalu ada kebun dengan ganti rugi sebesar Rp250 ribu/are. Tuntutan tersebut berdasarkan telaah petani di sekeliling Danau Poso dan pengalaman para petani mengelola lahan sawah dan kebun selama bertahun-tahun.
Tuntutan lainnya, pada tahun 2022 ini, petani sudah harus mengelola kembaali lahan sawah dan kebun yang terendam pada dua tahun terakhir ini. Jika tidak, maka PT Poso Energy dharus bertanggungjawab kembali atas kerugian itu. Lalu tuntutan penggantian perusakan wayamasapi di Desa Saojo serta penggantian atas hilangnya wilayah kerja penambang pasir tradisional akibat pengerukan PT Poso Energy di desa yang sama.
POMATUA ADAT DANAU POSO MEMBANTAH
Saat utusan MADP berjuang bertemu Gubernur Sulteng pada 30 Mei 2022, di Poso beredar surat PT Poso Energy bernomor 009/PE-IS/SKD//V/2022 tertanggal : 27 Mei 2022. Surat itu, ditujukan kepada camat, kepala desa ketua adat, kapolsek, kapolmas, Babinsa di sekeliling Danau Poso, yang akan menggelar pertemuan di Tentena keesokan harinya. Berlin Modjanggo, Pomatua Adat Masyarakat Adat Danau Poso mengaku keberatan dengan pernyataan dalam surat tersebut.
Klaim surat itu ungkap Modjanggo, seolah penanganan area terdampak sekeliling danau sudah rampung. Faktanya, di desa-desa masih ada ratusan kepala keluarga yang belum mendapat ganti rugi secara layak. Masyarakat nelayan di Desa Saojo belum mendapatkan kompensasi yang adil atas perusakan wayamasapi, karamba dan hilangnya kawasan penambangan pasir.
Ditemui saat diskusi dan nonton bareng film dokumenter, TerenDAM Listrik, 22 Desember 2021, Modjanggo mengaku air di Danau Poso tak sekadar danau yang dinikmati keindahannya. Di sana ada tradisi, kebudayaan dan kehidupan turun temurun yang harus dijaga. Tanggungjawab menjaga tidak hanya orang-orang seperti dirinya. Tapi juga warga Poso bahkan Sulawesi Tengah, yang selama ini telah menikmati keuntungan terhadap citra dan image Danau Poso yang eksotik. Hal ini terlihat dari gelaran Festival Danau Poso (FDP) sebagai hajatan wajib tiap tahun.
Baginya, Danau Poso tak hanya terdiri dari kumpulan air yang dari perspektif industri dimaknai sekadar untuk memutar turbin. Bagi warga, Danau Poso adalah kumpulan air yang mengalirkan semangat, memantik optimisme, menghadirkan kehidupan, tradisi dan budaya yang adi luhung.***
Redaksi : Artikel dipublikasikan pertama kali di Roemah Kata dengan judul : Lara Roslin Langgara, Perempuan di Desa Meko Mengejar Haknya . Diterbitkan kembali atas persetujuan redaksi dan penulis Roemah Kata