Hutan Rusak, Perempuan Paling Beresiko, Kehidupan Terancam

0
1191
Peserta Konferensi Perempuan Poso dari berbagai desa membawa tanah, air, dan hasil hutan dan menceritakan sejarah dan ingatan masing-masing unsur . Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Hutan Indonesia salah satu yang terbaik di dunia, dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Demikian pula hutan di Poso. Data BPS tahun 2017 mencatat, luas kawasan hutan di kabupaten Poso 516.635,1 Ha. Didalamnya tersimpan kekayaan yang luar biasa. Dari isi hutan ini juga masyarakat Poso sejak zaman dahulu memanfaatkannya untuk kebutuhan hidup berkelanjutan.
 
Hutan punya peran yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Secara langsung hadi sumber oksigen bagi semua makhluk hidup, makanan, obat-obatan, penahan angin, dan menjegah terjadinya banjir. Secara tidak langsung, yang sering kita tidak sadari, hutan adalah stabilisator suhu dunia,sebagai tempat hidup segala jenis makhluk hidup, dan sebagai pengatur iklim.

Dari 529.086,20 Ha hutan di 13 kecamatan yang ada di kabupaten Poso ada berbagai jenis hasil hutan bukan kayu dan pohon yang punya nilai ekonomi tinggi. Antara lain Getah Pinus, Rotan, Damar, Madu Hutan, Aren dan sebagainya. Sampai sekarang, kondisi hutan ini masih relatif baik.

Namun ada tantangan yang dihadapi saat ini. Itu adalah ilegal logging yang masih marak. Banyak yang bilang, salah satu sebabnya karena kurangnya petugas di lapangan. Ada juga yang berpendapat, karena masih kurang sosialisasi ditengah masyarakat dan ketiga, adanya orang-orang tertentu yang menyalahgunakan regulasi.

Tentang kayu. Hutan Poso dikenal sebagai penghasil kayu berkelas seperti Kayu Hitam (Diospyros celebica), Molore (Pterospermum celebicum), Kume (Pouteria sp.), Polo (Turpinia sphaerocarpa) dan Kondongiyo (Cinnamomum parthenoxylon). Diantara jenis yang sudah sangat terkenal diluar Poso itu ada satu jenis yang oleh orang Poso disebut Kulahi. Kulahi, satu jenis kayu yang banyak dimanfaatkan warga Poso dan masih banyak ditemukansaat ini. Kayu ini sering dipakai untuk jadi tiang rumah atau tiang yang dipancang di air. Kemampuannya bertahan di air bahkan disebut bisa sampai 300 tahun.

Baca Juga :  Pejuang-pejuang Tana Poso

Ketahanan dan kekuatan Kulahi ini terbukti saat digunakan sebagai tiang jembatan ikonik Poso yang sudah dibongkar, Yondo mPamona. Jembatan yang menghubungkan kelurahan Pamona dengan Sangele, kecamatan Pamona Puselemba ini dibongkar untuk kepentingan proyek pengerukan sungai Poso.

Meski masih banyak, namun sekarang tidak lagi ditemukan ukuran besar seperti terakhir ditemukan di tahun 90an. Salah satu sebabnya karena terus mengalami pengurangan individu akibat diburu untuk jadi bahan bangunan.
 
Pemanfaatan kayu di suku Pamona sudah sangat beragam. Penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2017, menemukan warga desa Buyumpondoli, kecamatan Pamona Puselemba tercatat memanfaatkan 94 jenis dari 44 famili tumbuhan dalam kehidupannya setiap hari.

Sebanyak 30 jenis sebagai makanan, 32 jenis sebagai obat-obatan, 11 jenis sebagai bahan bangunan, 11 jenis untuk ritual adat, dan 36 jenis untuk pemanfaatan lainnya. Hal ini mengungkap bahwa kehidupan orang di Poso dan hutan itu saling berkaitan erat.

Ketersediaan makanan yang tumbuh alami di hutan juga dimanfaatkan orang Poso untuk mendapatkan sumber makanan tanpa harus membeli. Tentu kita sudah akrab dengan Pakis atau sayur Paku (Diplazium esculentum), Rebung (tunas Bambusa spp.), Jamur Kayu (Pleurotus ostreatus).

Hutan Bagi Perempuan

Pada Konferensi Perempuan Poso yang dilaksanakan pada  26-27 Mei 2022 yang bertema “Tanah, Air dan Hutan”. Sekitar 75 orang perempuan dari 23 desa di kabupaten Poso terlihat begitu mengenal hutan mereka.

Raru Topuha dari Desa Tomehipi, Lore Barat mengatakan hasil hutan mereka adalah bambu dan rotan dan pandan hutan. Hasil hutan berupa rotan dibuat kerajinan dan menjadi penghasilan bagi masyarakat desa itu sendiri.
 
Emi Tanggola dari Desa Didiri, kecamatan Pamona Timur mengemukakan madu Trigona dan Madu Hutan, Kemiri sebagai hasil utama selain kayu-kayu yang mereka gunakan untuk bangun rumah. Ada 3 yang perlu dijelaskan disini. Pertama tentang Madu. Hingga 5 tahun lalu masih melimpah. Jika kita melintas di desa Didiri, hampir setiap rumah menjual madu. Di depan rumah dibangun lapak kecil yang dijejeri dengan botol-botol berisi madu manis dan Trigona.

Baca Juga :  Nafas Festival Mosintuwu untuk Desa

Belakangan lapak-lapak itu berganti isi, bukan lagi madu tapi BBM. Sebab madu sudah semakin kurang seiring penebangan pohon-pohon yang ketika musim berbunga jadi sumber makanan lebah. Duriati Monggede, perempuan desa Didiri mengatakan, penebangan pohon Tentemeri.

Emi Tanggola, yang juga menjual madu mengatakan, sejak 3 tahun terakhir jumlah panen madu yang didapatkan warga berkurang drastis karena pohon Jalapari (Alyxia Stellata), pohon Pakanangi atau kayu Kisereh serta pohon Tentemeri kini ramai ditebang. Ketiga jenis kayu ini memiliki bunga yang jadi makanan lebah penghasil madu.

Bukan hanya mengurangi produksi madu, penebangan ketiga jenis pohon ini akan merusak ekosistem hutan yang dikhawatirkan akan memicu bencana dimasa mendatang. Emi berharap, penebangan pohon-pohon itu tidak terus dilakukan untuk menjaga keberlanjutan masa depan generasi desa Didiri.

Informasi yang diperoleh dari beberapa orang warga menyebutkan, ketiga jenis pohon itu yakni Jalapari, Pakanangi serta pohon Tentemeri ditebang untuk diambil kulit dan batangnya dan dijual ke beberapa pedagang pengumpul yang datang dari luar desa.

Selain diambil kayunya, Jalapari adalah jenis tanaman herbal yang berkhasiat untuk kesehatan. Beberapa manfaatnya untuk mengatasi sariawan, merangsang nafsu makan, obat batuk, mengurangi rasa mulas, menurunkan demam pada anak-anak. Khusus untuk perempuan, tanaman herbal ini bisa mengurangi masalah keputihan dan juga datang bulan yang tidak teratur.

Baca Juga :  Mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Toleransi, Semangat dari Haul Guru Tua

Itu sebab, rusaknya hutan berarti merusak semua sisi kehidupan warga desa terutama perempuan. Merusak dari soal ekonomi sampai kesehatan. Bayangkan jika sebelumnya semua kebutuhan hidup seperti makanan sampai obat-obatan yang mudah didapatkan, kini semuanya hilang.
 
Di desa Lengkeka, kecamatan Lore Barat, Yeslin Lakia menceritakan kayu Malo (ficus sp) diolah jadi kulit kayu (Ranta) yang bernilai budaya dan ekonomi sekaligus. Ada tiga jenis kulit kayu yang mereka manfaatkan, Tea, Malo dan Nunu (beringin). Kini Malo juga sudah mulai jarang ditemukan di dekat kampung. Untuk mendapatkannya Yeslin harus meminta bantuan orang lain untuk mencarinya jauh kedalam hutan.

Selain tanah dan hutan subur. Sulawesi juga memiliki hutan ultrabasic terluas di dunia,  menurut Whitten et al. 2002, tanahnya memiliki persentase Silika yang cukup rendah, unsur hara yang sedikit, serta tingginya kandungan mineral logam yang beracun bagi tanaman. Mineral Nikel, Kromium, dan Mangan sangat tinggi.

Miskinnya unsur hara serta kandungan logam yang tinggi menyebabkan tanaman yang dapat tumbuh di atasnya terbatas dan khas. Hanya pohon Kacang Hutan (Macadamia hildebrandii), Ngilu – ngilu (Sarcotheca celebica) yang banyak tumbuh sehingga cukup mudah mengenalinya. Hutan jenis ini sebenarnya tidak dapat diubah menjadi perkebunan namun kaya bahan tambang yang sedang di incar investor. Inilah satu sebab mengapa resiko deforestasi hutan jadi tinggi. Deforestasi hutan karena tambang menyebabkan hilangnya wilayah resapan air dan hilangnya keanekaragaman hayati, beresiko pada banjir dan tanah longsor.

Penulis : Kurniawan Bandjolu
Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda