Kisah Peternak Pinggiran Danau Poso : Kesejahteraan Dirampas oleh Bendungan PLTA

0
1469
Polapa Baula, ladang penggembalaan di Desa Tokilo berkurang ratusan hektar akibat bendungan PLTA Poso Energy menaikkan dan menahan level air pada ketinggian tertentu. Peternak yang biasanya memiliki puluhan kerbau, sekarang dipaksa hanya memiliki terbatas agar bisa berbagi lahan penggembalaan dengan yang lain. Foto : Dok.PenjagaDanauPoso/Ray

“Masih dalam perut saja, Kerbau sudah dibayar 4 Juta. Itu sebab kenapa masyarakat disini tidak susah kalau ada kebutuhan yang harus dibayar, karena ada kerbau” (Morris Tosadu/penggembala kerbau desa Tokilo)

Setengah dari 140 keluarga di desa Tokilo, kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso memiliki kerbau dan sapi peliharaan. Mereka pelihara dengan cara melepas bebas di padang gembalaan seluas kurang lebih 300 hektar di sebelah Barat desa atau ujung Selatan Danau Poso. Lokasi itu kemudian disebut Polapa Baula, artinya tempat melepas kerbau. Hamparan padang rumput subur di pinggir Danau Poso ini jadi rumah ratusan ekor kerbau warga pertama kali mulai memelihara kerbau dan sapi.

Jumlah kerbau di padang gembalaan ini berkisar 750 ekor. Polapa Baula ibarat surga bagi ternak yang dilepas bebas. Makanan melimpah, air untuk minum dan kerkubang tidak kurang setitik pun. Masyarakat desa Tokilo, dan desa lain di kecamatan Pamona Tenggara boleh memelihara kerbau atau sapi disana tanpa dibatasi jumlahnya.

Itu dulu. Semua berubah ketika air danau Poso dinaikkan tiba-tiba pada bulan April 2020. Saat itu ada uji coba pintu air PLTA milik PT. Poso Energy. Setengah luas padang gembalaan terendam. Rumput membusuk. Menjadi racun bagi kerbau dan sapi yang memakannya. Dalam hitungan warga 194 ekor kerbau mati beberapa bulan berikutnya. Upaya untuk menuntut kerugian atas matinya kerbau bukan hal yang mudah. Awalnya PT. Poso Energy tidak mengakui penyebabnya adalah uji coba bendungan PLTA, menuding virus menyerang kerbau. Kerbau yang mati akhirnya diganti rugi oleh PT Poso Energi setelah warga Tokilo mengkonsolidasi diri bersama warga desa lainnya di sekeliling Danau Poso dalam gerakan Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) . MADP menggelar 2 kali Megilu atau penyampaian pendapat secara terbuka ke kantor lapangan PT Poso Energi.

Harga rata-rata pasar kerbau dewasa di Toilo adalah 14-20 juta per ekor. Nilai ganti rugi yang mereka terima dari perusahaan hanya 5 juta per ekor. Anak kerbau yang mati, diganti 2,5 juta rupiah. Ganti rugi sudah diberikan, meskipun tidak sesuai dengan hitungan para peternak. Namun bukan nilai ganti rugi yang paling menyesakkan warga. Hilangnya setengah luas padang gembalaan berarti hilangnya kesejahteraan yang didapatkan dari kerbau atau sapi. Sebagian besar wilayah Polapa Baula tetap terendam, beberapa kerbau masih mati mendadak.

Kami menemui Moris Tosadu, seorang penggembala di desa Tokilo. Dia paham soal kerbau di Tokilo dari A sampai Z. Moris menggembalakan kerbau sejak kelas 2 SD. Itu sebabnya, dia memilih disebut penggembala daripada petani. Moris punya lokasi persawahan yang cukup luas di 4 lokasi berbeda. Pilihannya menjadi penggembala, dia mempercayakan sawahnya kepada petani lain untuk diolah dengan sistem bagi hasil.

Moris memelihara 96 ekor kerbau. Tidak semua miliknya, sebagian besar dititipkan padanya untuk dipelihara. Dia menguasai soal kerbau A sampai Z. Moris bisa menyebutkan semua kerbau yang dipeliharanya, berikut siapa pemiliknya. Dari bentuk tanduk, sampai bentuk mata dia hapal detil. Tentu Moris paham betul berapa nilai rupiah seekor kerbau mulai dari janin sampai yang paling tua.

Baca Juga :  Hutan Menyusut, Poso dan Sulteng Dikepung Banjir

“Masih dalam perut saja, Kerbau sudah dibayar 4 Juta. Itu sebab kenapa masyarakat disini tidak susah kalau ada kebutuhan yang harus dibayar, karena ada kerbau”katanya. Sebagai catatan, warga di desa-desa di pinggir Danau Poso tidak memelihara kerbau untuk dimakan dagingnya atau diperah susunya. Mereka pelihara sebagai investasi yang sangat likuid, bisa dirupiahkan kapanpun dibutuhkan.

Moris menjelaskan,

“Begini, jika kita memiliki 1 ekor kerbau betina yang hamil. Biasanya sudah ada pembeli yang datang menawar si calon anak. Rata-rata janin kerbau didalam perut induknya sudah dihargai 4 juta rupiah. Bayangkan kalau ada 5 ekor kerbau yang hamil. Kita sudah punya 20 juta rupiah diluar kerbau yang sudah lahir dan dewasa”

Di desa Tokilo, rata-rata 1 keluarga punya 3 sampai 40 ekor kerbau. Saat mau menjual, mereka biasanya hubungi Moris dan pergi ke Polapa Baula bersama pembeli untuk tawar menawar. Kerbau umur 3 bulan biasanya sudah dipatok 6 juta rupiah. Tapi Moris pernah jual 1 ekor seharga 50 juta rupiah.

Bulan Juni dan Desember adalah masa-masa Moris mulai sibuk bernegosiasi dengan pembeli yang rata-rata datang dari Toraja. Juni adalah masa dimana orang tua harus keluarkan biaya cukup besar untuk daftarkan anak masuk sekolah SMA hingga kuliah. Anggaran jutaan rupiah harus disiapkan. Bukan hanya untuk administrasi pendaftaran, tapi juga bayar segala macam kebutuhan yang muncul seperti sewa kos atau rumah untuk anak. Adapun di bulan Desember, kerbau dijual bukan hanya untuk bayar perkuliahan semester saja, tapi untuk mempersiapkan perayaan Natal.

Semua ongkos, mulai dari pendidikan sampai pernikahan yang cukup besar tidak terlalu sulit bagi warga saat Polapa Baula belum terendam. Saat belum ada uang, ada kerbau yang bisa ditawarkan sebagai jaminan pinjaman. Kepercayaan si pemberi pinjaman tinggi, peminjam juga tahu, dia bisa bayar hutangnya.

Moris, seorang peternak Desa Tokilo yang memahami dan mengenal seluk beluk kerbau di desanya. Moris mendapatkan biaya sekolah, kuliah, kesehatan dan kebutuhan lainnya dari beternak kerbau. Sekarang dia dan peternak lainnya harus membatasi jumlah ternaknya, artinya membatasi akses kesejahteraan mereka. Foto : Dok.PenjagaDanauPoso/Ray

Empat Jenis Kerbau di Polapa Baula

Diantara 30 ekor kerbaunya, Moris kini punya satu ekor kerbau yang berharga 150 juta. Itu jenis Kerbau Bonga. Sudah ada dua orang yang datang menawarnya, tapi Moris tidak menjualnya. Rupanya dia punya pikiran untuk berdamai dengan keadaan Polapa Baula saat ini.

“Saya mau jadikan indukan. Kalau berhasil, artinya banyak jenis Bonga disini, harganya mahal. Jadi kita tidak perlu banyak-banyak kerbau. Sehingga makanan di Polapa Baula cukup untuk kerbau semua orang”kata dia.

Dalam catatan Moris, ada 5 macam kerbau diwilayahnya. Penyebutan macam kerbau itu mengikuti apa yang dikenal orang Toraja.

Pertama, Bonga. Jenis ini tidak terlalu banyak ditemukan disini. Menurut Moris hanya ada kurang lebih 10 ekor. Perbedaannya dengan kerbau lain hanya pada warna dasarnya. Hitam dengan sedikit belang putih dibagian wajah dan kaki. Harganya untuk yang umur 2 tahun sekitar 50 juta. Paling tinggi 150 juta.

Baca Juga :  Konferensi Perempuan Poso: Kami Diabaikan dan Dimiskinkan oleh Pembangunan

kedua, Sori. Orang Toraja menyebutnya Lotong Boko, berbulu hitam dengan sedikit garis putih di sekitar mulut. Harganya antara 30 sampai 50 juta.

Ketiga, Todi. Berbulu hitam, dilihat dari mukanya ada sedikit tanda putih dan mata seperti kaca. Harganya antara 20 sampai 30 juta.

Keempat, Buya. Ini kerbau yang seluruh tubuhnya berbulu putih, ini jenis kerbau berbadan besar dan gemuk. Namun harganya lebih murah, antara 7 juta sampai 14 juta. Warga di Tokilo biasa menjualnya ke Palopo. Menurut Moris, harga murah itu karena kerbau dibeli hanya untuk memenuhi kebutuhan daging. Bukan untuk upacara sakral seperti di Toraja.

Harga kerbau tidak hanya ditentukan oleh bulu apalagi berat badannya saja. Ada faktor sangat subyektif yang menentukannya. Ini umumnya hanya dipahami oleh mereka yang paham soal kerbau. Moris menyebut harga akan ditentukan oleh ‘Sisi’. Seekor kerbau yang hendak dibeli akan dinilai oleh pembeli dari sudut pandang yang sedikit unik. Kita yang awam mungkin hanya menilai dari sisi ekonomis atau mungkin kegagahan si kerbau

“KIta melihat dari pantatnya, zakarnya harus lengkap. Ini salah satu faktor membantu untuk menilai sisi kerbau”kata Moris. Pembeli dan pemilik kerbau biasanya sudah sama-sama tahu harga kalau sudah menilai Sisi.

Denda Karena Merusak Kebun

Ada sekitar 4 kelompok kerbau yang tersebar di seluruh wilayah berpantai indah itu. Masing-masing kelompok berjumlah lebih dari 100 ekor. Kelompok-kelompok ini berlomba memamah rumput yang tersisa. Bayangkan kalau 1 ekor kerbau dewasa butuh 20-25 kg rumput. Itu sebabnya karena sebagian padang rumput terendam, kerbau-kerbau ini merangsek masuk ke kampung, ke kebun-kebun warga yang letaknya sekitar 1 km dari Polapa Baula.

Masuknya rombongan kerbau ini merusak kebun palawija atau kakao. Hal ini menimbulkan kemarahan petani yang tanamannya dirusak. Sejumlah petani kemudian memasang jerat.

“Kerbau yang kena jerat, pemiliknya harus bayar 500 ribu kepada pemilik kebun. Karena terbukti kerbaunya masuk ke kebun orang”kata Moris. Padahal sebenarnya, bukan hanya kerbau yang kena jerat itu yang masuk ke kebun orang.

Bukan hanya merusak kebun, masalah ini membuat banyak sawah disekitar kawasan pengembalaan itu tidak diolah pemiliknya karena khawatir dirusak kerbau.

Kekurangan makanan kerbau ini menjadi persoalan yang sampai saat ini memusingkan para penggembala. Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Rusdi mengatakan, persoalan pakan harus menjadi perhatian serius. Pihaknya berencana mengembangkan penelitian untuk membuat pakan ternak di sekitar Danau Poso lewat Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Namun upaya ini mungkin belum bisa menjawab persoalan yang dihadapi warga, yaitu kehilangan sumber kesejahteraan.

Peternak Desa Tokilo dipaksa harus mengurangi jumlah ternaknya karena level air danau Poso yang dibendung PLTA Poso Energy membuat ladang penggembalaan berkurang sehingga akses makanan bagi kerbau berkurang. Foto : PenjagaDanauPoso/Ray Rarea

Pengurangan Paksa Jumlah Kerbau untuk PLTA

Baca Juga :  Hadrah : Pengumpul Sampah yang Melindungi Lingkungan

Ladang penggembalaan berkurang, terendam air untuk PLTA Poso. Agar kerbau yang tersisa sekarang bisa dapat makan yang cukup, warga pemilik dipaksa bersepakat membatasi jumlahnya. Saat ini ada sekitar 400 ekor yang masih bertahan, ditambah sekitar 39 ekor sapi. Dalam hitungan Moris, setengahnya sudah melahirkan sejak akhir tahun lalu. Artinya ada ketambahan sekitar 200 ekor. Kini dia khawatir akan ketersediaan rumput untuk makanan. Satu-satunya solusi yang ada saat ini adalah menjual sebagian kerbau itu, meskipun dengan harga rendah.

“Yang paling penting, kerbau harus tetap ada disini, tidak boleh hilang,” kata Moris. Bukan perkara mudah mengatur berapa jumlah yang harus dimiliki setiap orang. Ini menyangkut hak azasi juga meskipun padang itu kini seperti kumpulan pulau-pulau kecil karena banyaknya areal yang terendam.

“Orang tentu tidak mau serta merta mengurangi kerbaunya. Harus ada kesepakatan yang diputuskan bersama”katanya lagi.

Upaya atau formula sementara yang ditawarkan kepada semua warga adalah warga yang punya kerbau diatas 30 ekor harus mengurangi sebanyak 7 ekor. Ini untuk memberikan kesempatan kepada yang punya hanya 3 ekor supaya kerbaunya bisa tumbuh dengan sehat.

Pengurangan paksa ini bukan keinginan warga di Pamona Tenggara. Investasi PLTA yang dilakukan keluarga Jusuf Kalla di Poso merubah semuanya. Tadinya banyak keluarga berharap hidup mereka tetap tenteram sejahtera dengan punya tanah dan kerbau. Kini sawah terendam, kerbau harus dikurangi. Kesejahteraan mereka diambil paksa dengan menaikkan air Danau Poso, agar semua turbin PLTA milik PT Poso Energi berputar menghasilkan listrik, menghasilkan rupiah bagi keluarga JK.

Investasi yang dibanggakan pemerintah dan dikampanyekan bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat ini, sejatinya hanya memindahkan kesejahteraan yang tadinya milik warga yang punya kerbau dan tanah sawah dan kebun kepada konglomerat pemilik PLTA yang akan menghasilkan 515 MW listrik itu.

Tentang situasi yang dialami warga di pinggir Danau Poso ini, Peneliti Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Arianto Sangadji mengatakan, respon pemerintah tidak bisa diandalkan untuk mengatasi dampak buruk investasi seperti PLTA dimanapun di Indonesia.

“Tidak ada satupun proyek yang berdampak terhadap masyarakat disekitar bisa diselesaikan dengan baik. Kita bisa belajar dari kasus Kedungombo. Kasus pembangunan PLTA di Soroako. itu selalu punya masalah dan bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun”kata penulis buku Orang Lindu Menolak Pindah itu.

Belajar dari pengalaman buruk yang dialami warga disekitar proyek-proyek PLTA ataupun tambang, dia menyimpulkan bahwa tidak ada mekanisme atau kebijakan pemerintah yang secara praktis bisa dijadikan alat agar proyek pembangunan bendungan-bendungan berikutnya bisa dikoreksi berdasarkan masalah-masalah yang pernah terjadi atau seringkali terjadi dalam proyek-proyek pembangunan bendungan seperti di sungai Danau Poso.

Arianto Sangadji khawatir, penderitaan yang dialami pemilik ternak ataupun petani di Danau Poso akan berlangsung hingga bertahun-tahun ke depan.

“seumur bendungan PLTA itu”katanya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda