Saat itu bulan Juli 2020. Saya dan Marno, teman media di Mosintuwu ditugaskan melakukan liputan di sebuah lokasi sawah di desa Meko, Kecamatan Pamona Barat. Suasana di wilayah persawahan sangat sepi. Hanya nampak sisa sisa bibit padi yang tumbuh digenangi air. Beberapa orang petani beraktivitas menggunakan perahu di daerah persawahan. Itu menunjukkan air benar-benar naik tinggi. Kami merekamnya diantara semak berduri.
Sore itu tidak satupun petani terlihat membajak, hanya beberapa orang coba membersihkan rerumputan di pematang.Tentu suasana ini menjadi hal yang tidak biasa, apalagi Desa Meko salah satu lumbung padi Kabupaten Poso. Jadi harusnya pada saat itu suasana disawah sudah ramai.
Di perjalanan pulang, kami bertemu Sarto, seorang petani yang kebetulan sedang berjalan menuju sawahnya. Kami bertanya tentang kondisi sawahnya yang terendam. Nampaknya dia kebingungan melihat siklus air yang tidak seperti biasanya. Tidak seperti pengalaman dia selama mengolah sawah di Meko.
Cerita pak Sarto membuat kami mulai memahami apa yang sedang dihadapi petani. Pak Sarto lalu mengajak pergi ke sawahnya yang terendam. Dia menjelaskan hal yang tidak biasa terjadi ketika mengolah sawah.
“Tidak pernah air naik kalau bulan-bulan begini, harusnya sekarang sudah 2 kali panen”katanya. Saat itu bulan Mei 2020. Sawah Sarto, berdasarkan sertifikatnya seluas 1,25 Hektar. Saat itu yang bisa ditanami tidak sampai seperempatnya, selebihnya berubah bak kolam.
Sambil menunjuk bibit padinya yang kemudian berbuah, dia bilang “Sekarang tinggal ini saja lantaran banjir terus sudah tidak bisa sampai berbuah ini bibit”.
Kami putuskan membuat sebuah video pendek berdurasi sekitat 2 menit dari video yang kami ambil di desa Meko dan desa tetangganya, desa Toinasa. Kunjungan ke Meko itu kemudian kami lakukan berkali-kali. Beberapa kali diskusi dengan petani, tokoh adat hingga pemerintah desa kami lakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi. Apa penyebab terendamnya sawah dan kebun.
Beberapa minggu kemudian, hampir setiap hari saya mendengar keluhan yang dialami para petani, nelayan bahkan pengusaha kecil yang hidupnya terancam akibat naiknya air danau untuk bendungan PLTA Poso Energy. Sebagai anak yang tinggal di pinggir Danau Poso, pertanyaannya adalah mau bikin apa untuk membantu mereka? Ini yang memotivasi untuk terlibat berjuang bersama- sama dengan petani mempertahankan tanah dan haknya. Kebetulan, saya videographer dan editor video. Lalu saya pikir, saya bisa meggunakan sedikit keahlian saya ini sebagai alat “perlawanan”, lewat audio visual.
Selain menjadi sarana memberikan informasi, film ini menjadi alat advokasi, membangun rasa solidaritas, hingga menggerakan kesadaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dan yang akan dihadapi generasi berikutnya dimasa depan.
Produksi film Terendam Listrik sejujurnya tidak mudah saya kerjakan. Sebenarnya saya sudah belajar videografi dan belajar mengedit secara otodidak, beberapa kali terlibat dalam produksi konten audio visual. Namun kali ini kesulitan saya adalah merangkai alur cerita sehingga menjadi film yang panjang.
Begini. Kalau soal cemistry dengan petani terdampak, tidak terlalu sulit. Sedikit banyak, saya sudah mengetahui kondisi dan situasi lapangan, ditambah keramahan yang tidak hilang meskipun mereka sedang mengalami kesulitan berat.
Satu hal yang benar-benar sulit saya hadapi adalah kendala teknis, misalnya pengalaman saya menerbangkan drone pertama kali. Jadinya latihan sekaligus praktek liputan lapangan. Tapi saya memberanikan diri karena dapat kepercayaan dari teman teman untuk melakukannya.
Diskusi internal sekaligus riset mendalam soal persoalan ini juga kami lakukan. Setelah itu kami kembali turun melakukan liputan. Kali ini lebih detail. Kami melanjutkan liputan. Kadang bersama Marno, kadang bersama Eko dan Pian. Berkunjung ke sawah-sawah di desa Toinasa. Terutama menemui petani yang sawahnya terendam. Salah satunya Gede. Waktu itu dia bersama anaknya sedang membajak sawah. Saat itu, hampir semua bagian mesin traktor yang digunakannya tergenang lumpur. Lahannya terlalu lama terendam sehingga tanahnya menjadi lebih lembek. Gede memaksa tetap menanam karena pikirnya, air sudah sedikit surut.
Di Desa Meko, kami menemui pak Berlin Modjanggo, petani yang juga ketua adat, dan kepala desanya, I Gede Sukaartana keduanya mengajak kami kelokasi persawahan yang terendam, letaknya di belakang Puskesmas Meko.
I Gede Sukaartana menjelaskan dampak terendamnya sawah pada kehidupan masyarakatnya. Terendamnya ratusan hektar sawah menimbulkan persoalan berantai. Berimbas ke persoalan sosial, kesehatan , pendidikan hingga hutang yang tidak bisa dilunasi petani karena sawah sudah tidak bisa ditanami.
Saat wawancara itu. Seorang petani melintas. ngkai Modjanggo demikian kami memanggil pak Berlin Modjanggo, mengenalkannya kepada kami. Namanya Made Sadia. Dia ketua Kelompok Tani Balongko. Salah satu kelompok tani di desa Meko. Satu lahan sawahnya seluas kurang lebih 2,6 hektar juga terendam.
Saya lalu minta izin untuk mengikutinya yang saat itu kebetulan mau lihat sawahnya yang terkena dampak. Tidak banyak yang terlihat disawahnya, hanya genangan air seperti kolam yang luas. Bukan hanya miliknya, sawah-sawah disekelilingnya juga terendam. Pulang dari sawah, kami diajak berkunjung ke rumahnya. Kami bercerita banyak sambil meneguk kopi yang dibuat Ayu anaknya. Ayu tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya sejak sawah mereka terendam.
Data terkumpul semakin banyak dan berkembang. Sebagian besar petani terdampak menggantungkan hidupnya dari hasil sawah. Jadi umumnya mereka membaginya seperti ini. 30 persen hasil panen untuk dimakan. Ini cukup hingga panen berikutnya. Sebanyak 70 persen dijual. Ini untuk biaya hidup sehari hari, biaya sekolah anak dan biaya kesehatan termasuk biaya untuk ibadah.
Dari temuan-temuan lapangan ini, kami berkesimpulan, ada persoalan yang sangat serius. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas persoalan yang dihadapi para petani ini? Kemudian kami melakukan riset dan wawancara kepala dinas pertanian dan mencoba mewawancarai pihak perusahaan.
Selain fenomena La Nina, awalnya, pemerintah daerah hingga perusahaan menyebut sebab terendamnya sawah dan kebun di tepian Danau Poso adalah, luapan sungai Meko. Tapi, bagaimana menjelaskan terendamnya sawah di desa Peura dan Dulumai yang ada disebelah timur serta desa Bancea, Peura, Dulumai dan desa di sebelah selatan Danau
Poso? Sebab, sungai Meko ada di sebelah barat Danau Poso.
Kami melakukan diskusi kembali. Beberapa kali diskusi hingga berhari hari dari pagi kadang sampai tengah malam untuk membuat alur awal film. Saya sudah mulai mengedit filmnya hingga mencoba mengirimkan ke teman-teman Watchdoc, salah satu rumah produksi yang sangat professional dan punya pengalaman panjang membuat film dokumenter. Mereka memberikan beberapa masukan, berdiskusi hingga tengah malam bersama Dandhy Laksono dan Fandy,salah satu masukan mereka,menyarakan untuk memperkuat tokoh dalam film.
Dari hasil diskusi, kami pilih Made Sadia dan Maria sebagai tokoh utama. Pemilihan Made Sadia untuk menunjukkan bagaimana perubahan hidup petani yang tadinya menggantungkan hidup dari sawah, harus bekerja serabutan. Secara ekonomi, perubahan juga tergambar. Sebelumnya Made bisa kuliahkan anaknya. Sekarang tidak bisa.
Sementara, Maria dipilih dengan pertimbangan bahwa dia sudah lama bersawah di pinggiran Danau Poso. Juga sawah yang jadi tumpuan hidup keluarganya terendam. Maria adalah salah satu orang pertama yang mendiami desa Toinasa.
Kedua tokoh ini diperkuat tokoh lain seperti Roslin Langgara dan Margaretha, petani perempuan yang juga sawahnya terendam. Ada pula Kristian Basompe dan I Gede Sukaartana, Berlin Modjanggo, bersama mereka kami mulai menggarap film.
Sepanjang proses ini, kurang lebih satu tahun, saya banyak belajar, dari disksusi bersama teman-teman, bahkan dengan pembuat film documenter professional. Mereka banyak memberikan masukan yang menjadi hal baru untuk saya. Dari situ saya diajarkan bagaimana mengangkat sisi humanis petani sehingga ada kedekatan emosional penonton dengan apa yang disaksikannya.
Tujuan utama film ini awalnya hanya untuk ditonton masyarakat Poso, khusunya petani yang terdampak. Kami menginginkan film ini jadi pengikat yang menyatukan petani dan nelayan Danau Poso. Bahwa ada persoalan yang sama, ada saling keterkaitan permasalahan. Bahwa kita harus berjuang bersama menuntut hak kita atas tanah yang sudah dikelola berpuluh tahun.
Kami tinggal beberapa hari di rumah Made Sadia. Setiap malam selepas makan, bercerita, tepatnya lebih banyak mendengarkan cerita Made sampai istrinya serta anaknya. Mulai dari awal mereka tinggal di desa Meko, membuka sawah di awal tahun 90an. Saat itu Meko masih sebuah dusun, belum menjadi desa sendiri.
Di rumah Made, saya menemukan ketulusan dan ketabahan petani yang justru sedang susah. kami diberikan tempat tidur didalam kamar terbaiknya. Sedangkan anaknya tidur diruang tengah. Ini sesuatu hal yang membuat saya merasa tidak enak sekaligus terharu. Saya belajar dari keluarga Made bagaimana menghadapi persoalan yang berat.
Menurut saya, pak Made dan petani lain terkadang terlalu baik ketika menghadapi perlakuan tidak adil terhadap mereka. Sikap ini lalu dimanfaatkan pihak lain untuk memperlakukan para petani semaunya.
Ini mengingatkan saya pada orang-orang tua di Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP) yang bercerita soal bagaimana orang Poso sangat ‘Madago Raya'(baik hati) tapi terkadang banyak orang yang menyalahartikan kebaikani ini.
Hal yang menarik juga ketika tinggal dirumah pak Made, saya merasakan benar, bahkan kadang terbawa emosi mengetahui bagaimana kesejahteraan keluarga ini hilang secara tiba-tiba. Secara cepat pula mereka dihadapkan pada hutang yang tidak bisa dibayar. Semua karena sawahnya tidak lagi bisa ditanami.
Ketika masalah sangat besar menimpa, keluarga ini masih tetap kuat ditambah keuletan Made dan istri yang tetap bekerja, beralih pekerjaan yang merupakan hal baru buat mereka. Saya tahu walaupun mereka mencoba untuk tetap tegar tetapi raut wajahnya terlihat ada pergumulan didalamnya.
Tapi kisah itu juga yang paling membuat saya termotivasi untuk bekerja menyelesaikan film.
Ada masalah ketika tinggal dirumah Made. Saya tidak terbiasa bangun dinihari. Jadi pagi hari, dengan percaya diri dan bangga saya ingin tunjukkan kepada pak Made dan keluarganya kalau saya biasa bangun pagi. Hari itu saya merasa bangun lebih pagi. Saya keliru, ternyata saat itu Made Sadia sudah berada sawah.
Karena terlambat, saya mengikutinya kesawah. Ketika sampai, waktu itu sekitar pukul 07:00 wita, saya mendapati Made sedang membersihkan duri yang tumbuh di petak sawahnya. Selain merekam aktivitas pak Made, sesekali saya ngobrol bersama istri dan anaknya di dapur.
Keluarga petani sangat memperhatikan sampai soal makan kami. Mereka khawatir kalau kami kelaparan. Kalau sudah waktunya makan, pak Made dan istrinya sibuk mencari kami hingga ke Sawah mewawancarai petani lain seperti yang ada dalam film seperti Kristian Basompe, Margaretha, Roslin dll dan beberapa koperasi.
Sangat banyak pengalaman yang membekas selama tinggal di desa ini. Saya tidak hanya datang untuk film, melakukan wawancara. Saya mencoba masuk kedalam suasananya, berempati, sehingga feel atau suasana kebatinannya lebih dapat. Saya merasakan itu saat proses editing.
Selain Made, kami mengikuti Maria dan suaminya kesawah. Saat itu mereka sedang mengambil sisa-sisa padi di sawah mereka yang sebelumnya terendam. Keluarga ini juga sudah tidak mengolah sawah karena terkendala biaya. Ada juga rasa khawatir air akan naik kembali. Sawah seluas kurang lebih 60 are itu sangat penting bagi Maria dan suaminya. Dari hasil sawah ini, mereka menyekolahkan anak-anaknya sampai selesai di bangku kuliah. Satu orang anaknya sudah menjadi pegawai negeri.
Maria menangis menceritakan sawahnya yang saat itu tergenang. Ada satu kalimat yang diucapkan kepada saya. Dia harap persoalan ini bisa dilihat oleh orang banyak.
“Ana (anak), sebarluaskan supaya banyak orang tau supaya perusahaan dan pemerintah liat bagaiman kitorang pe susah ini semoga cepat diselesaikan ini “
Bagi saya jelas ini motivasi. Kata-kata ibu Maria sampai terngiang sampai malam hari. Apa yang dihadapi para petani itu menghantui pikiran. Saya berusaha tidak terbawa emosi. Bagaimanapun saya harus berpijak pada fakta, bukan emosi.
Tapi Film ini juga bagi saya adalah sikap dan keberpihakan. Tantangannya, bagamimana meramu jadi karya yang menarik untuk ditonton dan didukung data yang kuat.
Film Terendam Listrik bukan hanya menggambarkan persoalan yang dihadapi petani, juga bagaimana mereka memperjuangkan haknya mulai dari menggunakan jalur formal, hearing ke DPRD, lapor ke pemerintah desa, kecamatan, kabupaten sampai provinsi. Sampai ke aksi teatrikal dan Megilu(demonstrasi) menuntut perusahaan mengganti kerugian petani dan mengembalikan siklus normal air Danau Poso.
Berjalan Keliling Desa
Terendam Listrik meskipun belum final, kami bawa untuk putar keliling desa-desa di pinggir Danau Poso. Menyatukan petani, kesadaran akan apa sebenarnya yang terjadf muncul. Sebagai responnya, perlawanan kemudian makin kuat. Dua kali aksi massa besar berlangsung kurun Oktober-Desember 2021.
Tawaran atau tepatnya bujukan kepada petani muncul dari para politisi hingga perusahaan. Hingga saat ini para petani yang terdampak mulai didekati dengan tawaran ganti rugi beras 10 kg/are sebagai kompensasi. Nilai yang sulit diterima. Sebab pengalaman petani mengolah sawah, per are menghasilkan 40-50 kilogram beras.
Beberapa tawaran pembuatan sawah apung dan karamba dilokasi terdampak juga disampaikan, tentu ini sebuah solusi yang asing bagi petani yang selama hidupnya mengolah sawah. Banyak tawaran lain termasuk yang aneh. Misalnya, bentuk ganti rugi adalah pembuatan infrastruktur jalan desa seperti jalan. Tentu ini adalah sebuah upaya yang menguji logika, pengetahuan dan pengalaman para petani, sekaligus menutupi kesalahan yang dibuat dalam pembangunan infrastruktur.
Lebih daripada itu, tawaran-tawaran ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan merasa lebih berhak menentukan apa yang harus dilakukan. Mengesampingkan problem yang sedang dialami oleh petani.
Film Terendam Listrik akhirnya berdurasi 36,33 menit akhirnya diluncurkan di bulan . Ini menjadi kolaborasi Institut Mosintuwu dengan Watchdoc documentary. Bukan hanya untuk warga Poso, film ini bisa menjangkau pemirsa yang lebih luas. Saya merasa setidaknya film ini bisa memberikan informasi ke masyarakat, khususnya yang ada di desa. Dan berharap, film ini turut membangun solidaritas petani bukan hanya di Poso tapi diseluruh dunia.
Hingga saat ini, film Terendam listrik sudah ditonton 66.098 kali di kanal Youtube watchdoc. Ini menjadi arsip yang tak akan lekang oleh waktu dan sampai kapanpun. Hingga suatu saat menjadi catatan sejarah, bahwa pada suatu masa, masyarakat pinggiran Danau Poso pernah mengalami kondisi seperti ini, pernah berjuang, mencari keadilan hingga saat ratusan tahun kedepan bisa disaksikan terus oleh generasi masa depan. Dan tentu ini bukan film satu-satunya yang kami buat. Kami akan membuat film berikutnya dengan lebih baik lagi. Film ini jadi bahan untuk maju, menjadi alat edukasi, penyampai informasi dan tentu beberapa langkah kedepan menjadikan film sebagai alat advokasi. Semoga.
Film terendam listrik bercerita tentang kisah petani di pinggiran Danau Poso yang terdampak akibat uji coba bendungan PLTA Poso I. Ini adalah bagian dari mega proyek PT Poso Energi yang berambisi menghasilkan listrik sebesar 515 MW di sungai Poso.
Perusahaan ini, sebuah lini bisnis milik keluarga Jusuf Kalla, mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan (Menko Kesra) era Presiden Megawati dan 2 kali menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia.
Proyek bermodal Tiongkok ini menimbulkan persoalan serius di Danau Poso yang jadi hulu Sungai Poso. Akibat beroperasinya bendungan PLTA Poso I, debit air Danau Poso dinaikkan dari ketinggian normalnya antara 509-510 MDPL ke 511-512 MDPL. Dampaknya, ratusan hektar sawah, kebun dan padang gembalaan warga terendam sejak tahun 2020.
‘Kompensasi setengah hati’ kemudian diterima warga dari perusahaan. Sawah yang tadinya menghasilkan 40 kg beras per are diganti dengan 10 kg beras. Karena banyak protes yang muncul, dinaikkan jadi 15 kg. Yang dikompensasi hanya untuk 4 kali masa panen. Padahal air sudah tidak lagi surut.
Terendam Listrik, banyak merekam sisi kehidupan petani dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan hingga dinamika petani yang terdampak dalam mencari keadilan. Bagaimana mereka menuntut hak, bagaimana mereka memandang dan menilai konsep-konsep penyelesaian masalah yang ditawarkan perusahaan. Ada juga tanggapan enggan pemerintah daerah terhadap persoalan ini.
Tentu film Terendam Listrik tidak hanya merekam pendapat petani. Ada informasi dan data-data yang membuktikan bahwa penyebab utama naiknya air Danau Poso adalah bendungan PLTA Poso I. Ini penting, sebab diawal terendamnya lahan pertanian itu, pemerintah daerah dan perusahaan beberapa kali menyebut penyebabnya adalah fenomena La Nina.
Ini juga adalah pengalaman pertama saya terlibat dalam pembuatan film durasi panjang yang memotret persoalan pelik. Petani kecil berhadapan dengan modal raksasa yang didukung negara. Tentu tidak mudah menyelesaikan kerja ini. Tetapi banyaknya dukungan teman sangat membantu saya. Hingga film ini selesai dikerjakan, terdapat 13.017 file, 393 Folders, berukuran 1 terabyte data. Di Film ini juga ada 20 wawancara. Total waktu menyelesaikan film ini satu tahun lima bulan. Film terendam listrik dapat diakses melalui Youtube Institut Mosintuwu ( versi 49 menit ) dan Youtube WatchDoc ( versi 36 menit )
Terendam listrik menjadi bagian dari sejarah bersama para petani dan kami, anak muda yang ingin bersama petani menyuarakan keadilan.