“Banyak kebaikan yang diberikan Danau Toju kepada kami warga disekitar sini. Bukan hanya jadi sumber ikan. Ini adalah tempat kami melewatkan masa kecil. Sampai kemudian perusahaan sawit datang, membuat pelan-pelan Toju hilang”
Danau Toju sebenarnya adalah sebuah telaga dikelilingi hamparan sawah dan kebun yang menghubungkan desa Tiu, Petiro, Taripa disebelah utara. Desa Labuadago dan Poleganyara di sebelah barat. Disebelah barat memanjang bukit Petaula. Dipunggung bukit ini dibangun jalan yang menghubungkan Poso dengan kabupaten Morowali Utara hingga ke Sulawesi Tenggara
Telaga Toju diairi 3 sungai besar, yakni sungai Toka yang mengalir dari desa Taripa, sungai Walati dari arah tenggara dan Salu ta’a dari arah barat. Lalu ada 3 sungai kecil yakni Sigurompo, Koro Impo dan Salua. Dari Toju, aliran air 6 sungai ini keluar menuju ke selatan bermuara di danau Toju.
Untuk mencapai Toju, bisa ditempuh melalui 2 jalur. Pertama dari Tiu menyusuri sawah kearah selatan. Kedua, masuk dari arah punggung bukit Petaula. Dari jalur trans Sulawesi ini kita bisa melihat kemilau air Toju yang tersisa kurang lebih 30 meter luasnya.
Tapi saya akan ceritakan kalau kita masuk dari desa Tiu. Kita mulai dengan menyusuri sawah dan kebun dengan naik motor sejauh kurang lebih 3 kilometer hingga ke batas pematang. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 1 kilometer melintasi rawa gambut. Dari situ kita melanjutkan perjalanan dengan perahu kecil.
Perjalanan 1 jam ini sudah membawa kesenangan. Terpaan angin semilir, burung-burung berkicau, sesekali lenguhan sapi menemani sepanjang jalan.
Ada rasa bahagia karena indahnya pemandangan dengan hamparan sawah yang luas, padi yang subur. Bila musim panen tiba, pemandangan semakin indah. Kita bisa melihat dan menyentuh bulir-bulir padi menguning yang menambah rasa sukacita, menambah kebanggaan kepada Danau Toju.
Cerita Masa Kecil Hingga Dewasa
Usia terus berjalan, tapi saya tidak bisa melupakan Toju. Banyak kebaikan yang diberikan telaga seluas kurang lebih 5 hektar itu kepada kami semua. Bukan hanya memberi ikan sebagai sumber protein. Kesanalah kami sering diajak orang tua berlibur sambil cari ikan.
Saya ingat waktu masih sekolah dasar. Dulu namanya SR, setiap kali selesai ujian, kami melaksanakan penerimaan raport disini. Kami senang sekali setiap waktu itu tiba. Karena pergi ke Toju ini sudah seperti ketempat wisata paling indah.
Setiap akhir pekan, tempat ini ramai, berdiri banyak tenda. Ada tenda tempat bermalam warga yang mencari ikan, juga yang berwisata. Disini keakraban, kekeluargaan tercipta. Kita dengan pengunjung dari desa-desa tetangga jadi saling kenal akrab.
Orang tua saya, bisa dibilang juga membiayai hidup kami dari ikan-ikan yang dipancing di Toju. Saban hari sebelum pulang dari sawah atau kebun, ayah dan ibu saya pergi ke Toju memasang bubu atau pancing. Biasanya ditinggal semalam. Besok pagi ayah saya akan pergi mengeceknya. Ikan mas, Gabus, Mujair dan Bungu kadang Masapi jadi hasil yang dibawa pulang. Sebagian dijual, sisanya untuk makanan kami sehari-hari.
Waktu itu, dipenghujung tahun 70an hingga awal tahun 80an harga ikan belum semahal sekarang. Tapi cukup untuk beli kebutuhan sehari-hari dan bayar uang sekolah. Ikan dijual di kampung, harganya Rp 150 per cucu (beberapa ekor ikan disatukan dalam satu tusukan rotan).
Hasil tangkapan ikan jadi sumber biaya sekolah kami. Dari hasil jual ikan, tidak sedikit anak-anak disini bisa jadi sarjana. Selain menutup biaya sekolah, ikan dari Toju juga untuk membiayai kebutuhan lain seperti perayaan pesta dan ibadah.
Pendek kata, Danau Toju adalah isi dompet masyarakat disekitarnya. Masyarakat dari desa-desa lain juga mendapat sumber makanan yang melimpah dari hasil Telaga Toju. Itu sebab kami menjaganya. Bukan hanya karena ini sumber makanan. Tapi disini juga sumber kehidupan dimana kita bukan hanya dapat makanan, tapi belajar menjaga alam yang sudah memberikan kita segala yang dibutuhkan.
Legenda Toju dan Temuan Lesung Didasarnya
Pak P. Suro salah seorang tetua desa Tiu bercerita. Ini legenda turun temurun yang kami ketahui tentang Toju. Konon dahulu disini ada sebuah kampung. Di kampung itu tinggal seorang perempuan. Dia ditemani kucingnya.
Suatu hari, ketika sedang menjahit pakaiannya yang sobek, tiba-tiba jarumnya jatuh dibawah kolong rumah.
Karena waktu itu dia sedang datang bulan, dia tidak bisa turun mengambil jarum itu. Tentu karena waktu itu belum ada pembalut.Jadi dia menyuruh kucingnya mengambil jarum itu. Ketika kucing itu mengambil jarum, tiba-tiba hujan badai datang. Banjir bandang pun rerjadi.
Sambil membawa jarum jahit, kucing itu cepat-cepat naik ke rumah panggung itu. Namun air bah terus naik mengikuti kucing sampai di lantai rumah.
Air bah terus naik dan menenggelamkan rumah dan pemiliknya serta seluruh pemukiman. Air kemudian tertahan dan membentuk telaga yang kemudian dikenal sebagai Telaga Toju. Meski ini cerita legenda, tapi sampai sekarang orang-orang tua mengkeramatkan tempat ini.
Cerita ini memang mirip dengan legenda-legenda lain tentang terbentuknya suatu tempat di tanah air.
Saat kemarau, air Toju surut setinggi dada orang dewasa. Disitulah tradisi Mosango dimulai. Mosango, menangkap ikan beramai-ramai, biasanya orang-orang membentuk formasi melingkar, mengepung ikan. Pak Suro bercerita, saat umurnnya sekitar 20 tahun, dia turut Mosango.
Ketika asik menurunkan Sangonya ke dasar air, dia seperti menyentuh benda keras. Ketika diperhatikannya, benda yang diinjaknya mirip lesung dengan 8 lubang berjajar rapi. Temuan itu bagi dia bukan hanya memperkuat keyakinan bahwa memang, dulunya di sekitar Toju adalah kampung. Selain itu, temuan lesung itu adalah tanda hari baik. Saat itu orang-orang yang turun Mosango mendapat banyak sekali ikan.
“Saking banyaknya, saya tidak mampu bawa sendiri ikan-ikan itu. Saya bagikan kepada yang lain”kenang P Suro. Wajahnya yang sudah mulai keriput terlihat cerah ketika bercerita.
Sekarang Semua Sudah berubah
Telaga Toju sudah berubah. Airnya kini tersisa hanya sebuah kolam seluas kurang lebih 20 meter. Itu bermula ketika tahun 2008 lalu, PT Sawit Jaya Abadi 2, sebuah anak usaha milik PT Astra Agro Lestari (AAL) masuk kesini. Lahan itu masuk dalam administrasi kecamatan Pamona Timur dan Pamona Tenggara.
Lahan seluas 8,500 hektar dikuasai perusahaan ini berdasarkan izin arahan lokasi yang dikeluarkan Bupati Poso tahun 2008. Dari luasan itu yang sudah ditanami berkisar 3,500 hektar. Didalam kawasan ini kini berdiri sebuah pabrik pengolahan CPO yang mulai beroperasi tahun 2015. Diluar persoalan administrasi lahan dan pabriknya, perusahaan ini juga masih bermasalah dengan warga transmigrasi Madoro di desa Kancu’u kecamatan Pamona Timur.
Buruknya perkebunan sawit sebenarnya sudah umum diketahui. Dikutip dari tuk.or.id, dampak negatif akibat ekspansi perkebunan dan pabrik kelapa sawit skala besar muncul pada sisi ekologi, ekonomi dan sosial.
Dampak ekologi, muncul dari pengembangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit merupakan proses alih fungsi dan bentuk lahan yang merubah bentang alam lahan yang luas sehingga menyebabkan kerusakan fungsi dan jasa lingkungan.
Dampak ekonomi berupa, perubahan bentang alam terutama hutan, lahan, badan air, danau dan sungai menutup, membatasi dan mengurangi kemampuan dan akses masyarakat adat, perdesaan dan petani dalam meneruskan dan memelihara anugrah alam yang selama ini menjadi alat dan faktor yang menjadi sumber mata pencharian, pangan dan papan mereka.
Dampak sosial dari perubahan bentang alam juga sangat berpengaruh besar terhadap kondisi dan kehidupan sosial masyarakat akibat penguasaan lahan dan persaingan yang semakin mengurangi dan merubah secara paksa jati diri, kebiasaan dan kearifan masyarakat seperti berkurang. Juga tertutupnya hak dan akses, mata pencaharian, nilai budaya dan agama, juga mobilisasi tenaga kerja dari luar dengan hadirnya perkebunan dan pabrik kelapa sawit.
Tiga perubahan besar ini terjadi di desa-desa sekitar perkebunan sawit ini. Kesejahteraan yang dijanjikan tidak kunjung muncul, itu kita bisa lihat dari kehidupan masyarakat transmigran Trans Madoro desa Kancu’u. Hilangnya Telaga Toju juga adalah bukti nyata kerusakan lingkungan yang terjadi.
Saya percaya, kita lebih baik bertani tanaman yang bisa kita makan seperti sayuran dan buah-buahan. Untuk jangka panjang kita tanami tanah kita dengan tanaman yang menghasilkan tapi tidak merusak lingkungan. Tapi yang paling penting. Jangan menjual tanah. Sebab tanah tidak pernah bertambah, hanya kita manusia yang terus bertambah.
Penulis : Helpin Samoli
Editor : Pian Siruyu