”Saya menghabiskan usia di sini tak semata karena mencari hidup. Di sini ada identitas orang tua dan kakek saya. Di sini, ada warisan yang harus saya jaga. Sudah tiga generasi kami di sini. Nanti anak saya generasi keempat akan meneruskan tradisi ini. Kami akan melawan, semampu dan sekuat tenaga yang kami punya,”ucap Frederick Kalengke (45), sambil membetulkan ikatan tali di antara bilah bambu yang mulai longgar.
Nada bicara Fredi terdengar meninggi. Gerakannya gesit. Sesekali kepalanya dibenamkan ke sungai. Memastikan sesuatu di sana. Sisa-sisa otot tampak mencuat di sekujur tubuhnya – menyimpan kekuatan perlawanan terhadap siapa pun yang mencoba mengusik ketenangannya.
Di sela-sela wawancara, matanya kerap menyapu pemandangan di sekitar muara. Seketika tatapannya membentur pada beberapa alat berat yang terus mengeruk material dari dasar danau. Rahangnya tampak mengeras. ”Saya akan lawan,” ujarnya seketika sambil menarik seutas tali.
Fredi (43) adalah satu di antara tiga pegiat wayamasapi di muara Danau Poso, yang masih bertahan. Sebanyak 30 lebih pegiat wayamasapi sudah menyerah. Ada yang dengan kerelaannya menerima uang pengganti. Ada pula yang setengah terpaksa meninggalkan usahanya dengan uang tebusan. Kehadiran PT Poso Energy perusahaan PLTA milik PT Bukaka di wilayah itu, terus memicu konflik dengan warga setempat. Industri padat modal itu – perlahan dan pasti mulai mengubah tatanan hingga landskap budaya sekitar di Danau Poso.
***
Jumat 25 Maret 2022, lantunan suara tahrim dari masjid Jami Baitullah menyeruak di antara menara gereja di Kota Tentena. Panas terik matahari terasa menyiksa. Speedboad yang meluncur dari dermaga Dodoha – menempel ke sebuah gubuk beratap rumbia. Dari dalam gubuk terdengar suara berat. Melongok ke depan, terlihat pria paruh baya sibuk dengan aktivitasnya.
Siang itu, Fredi sedang memperbaiki alat tangkap sidat, sebuah wahana yang terbuat dari ratusan bilah bambu dan puluhan kayu bulat. Diamater depannya berkisar 25 hingga 35 meter. Semakin kebelakang bentuknya makin mengecil. Setiap sidat yang masuk akan tergiring menuju anyaman bambu berukuran kecil berfungsi sebagai perangkap. Caranya sangat tradisional. Tapi hasilnya mengalahkan gaji pokok pejabat eselon I (setingkat sekda provinsi).
Di situlah, Fredi menghabiskan hari-harinya. Sejak dulu. Sejak anak-anak, remaja, dewasa hingga kini menjadi ayah dua dengan dua putra. Itulah wayamasapi. Sarana penangkapan sidat yang tak hanya berfungsi sebagai tumpuan ekonomi keluarga. Wayamasapi adalah identitas budaya. Warisan turun temurun yang mengandung nilai-nilai filosofi agung.
Fredi menjelaskan, dalam hal kepemilikan, waya masapi tidak dimiliki perorangan. Tapi oleh komunitas masyarakat dengan bilangan ganjil. Pun, dalam pembuatannya setiap ikatan harus terdiri dari bilangan bambu yang ganjil. Misalnya, setiap ikatan terdiri dari 5, 7, 9 dan seterusnya. Kenapa ganjil? Artinya sekuat apa pun ikhtiar yang dilakukan manusia, pasti akan selalu mempunyai kekurangan. Maka, biarlah Tuhan yang menggenapi. ‘‘Wayamasapi bukan sekadar alat untuk cari uang. Semua ada hitunganya. Semua ada artinya. Ini yang kita jaga,” ulasnya.
Fredi tidak terlalu antusias menjelaskan soal pendapatannya dari menangkap sidat. Soal pendapatan menurut dia, bisa didapat di tempat lain. Bumi Tentena masih yang penuh berkat menyediakan celah rejeki untuk sekadar mencari penghidupan. Tapi ini soal cara dia mempertahankan warisan leluhur yang harus dijaga – sekuat dan semampu dia.
Saat perolehan sedang baik, bisa meraup hingga 40 kilogram permalam. Jika sedang apes, sekitar 15 kilogram setiap malam. Seperti yang terjadi sekarang ini. Saat pengerukan berlangsung malam hari, hasil yang didapat sekitar 15 kilogram. Ia mengaku sidat tangkapannya, tidak hanya dijual di pasar lokal Tentena. Pembelinya berasal dari Jakarta – bahkan diekspor ke Jepang.
Pasar daging sidat/sogili di Tentena cenderung stabil antara Rp90 hingga Rp100 ribu ribu per kg. Dengan perolehan minimal 15 kg x 90 ribu semalam bisa menghasilkan Rp1,3 juta. Namun Fredi tampak biasa saja – menyebut nominal penghasilannya. Ia tidak menonjolkan penghasilannya yang tinggi itu. Baginya, meneruskan usaha orang tua yang berusia ratusan tahun adalah tanggungjawab sejarah yang harus dipenuhinya. KIni hari-harinya selalu dilanda kerisauan. Kehadiran alat berat yang mengacak-acak dasar danau, cepat atau lambat memberikan dampak terhadap populasi sidat di Danau Poso. ”Tadi malam hanya dapat sogili 15 kilo” katanya.
Namun bukan soal penghasilan seret yang membuat hatinya galau. Ancaman terhadap warisan budaya adalah yang paling ditakutkannya. Seperti yang sudah sering dialaminya. PT Poso Energy sudah sering mendekatinya untuk menawarkan ganti rugi. Angka yang ditawarkan pun ungkap Fredy seperti menganggap remeh. Orang dari luar Poso melihat tradisi wayamasapi dari sisi ekonomi. Mereka tidak melihat dari sudut pandang budaya. ”Ini yang bahaya makanya harus ditolak,” tegasnya.
Fredi dan kawan-kawannya mempunyai hitungan-hitungan jika kelak situasi tidak lagi memungkinkan mereka bertahan. Mereka menawarkan ganti rugi, menggunakan skema minimal, . Yakni 15 kilogram x Rp90 ribu kali satu generasi. Dari hitungan-hitungan itu diperoleh angka Rp8,6 miliar. Saat angka ini dikomunikasikan, pihak Poso Energy keberatan. Mereka mencoba menurunkan angkanya menjadi cukup setengah generasi Rp4,4 miliar. Tapi perusahaan masih juga keberatan. Itu berarti pintu negosiasi telah tertutup. Menurutnya, kehilangan budaya ini tidak bisa dihargai dengan uang. Namun jika angka tetap tidak bisa diterima, artinya pintu negosiasi sudah tertutup.
Jika perusahaan nekat membongkar – ia akan membangunnya kembali sebagai bentuk tanggunjawabnya menjaga tradisi leluhur. ”Kami di sini sudah ratusan tahun. Kesediaan membicarakan ganti rugi sesuai versi kami, itupun sebenarnya kami sudah kalah. Tapi yang itu saja tidak bisa dihargai, terus kami ini dianggap apa,” katanya.
Pegiat di Mosintuwu Institut – salah satu lembaga nonpemerintah yang gigih menentang perusakan alam Danau Poso, Kurniawan P Bondjolu, yang mengutip Dr Krismono peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, kekhawatiran nelayan Danau Poso sangat beralasan. Fasilitas fish way yang dibuat untuk memberi akses sidat dari hilir ke hulu, masih perlu dipertanyakan keefektifannya. Inilah yang dikhawatirkan Fredi dan kawan-kawan. Jika sidat menurun, wayamasapi akan kehilangan hasil tangkapan. Itu artinya mereka gagal menjaga warisan leluhur.
Di tengah masa depan tradisi wayamasapi yang tidak pasti, Frederick Kalengke tetap menjalankan aktivitasnya sebagai bagian dari tanggungjawab sejarah yang dibebankan ke pundaknya. Bersamaan dengan itu, suara tahrim dari menara masjid Jami Baitullah berganti dengan adzan panggilan salat jumat. Beberapa meter dari tempat Fredi berdiri, tug boat yang menarik material meluncur perlahan menuju muara. Hempasan arus yang berasal dari dorongan tug boat membuat konstruksi wayamasapi tampak bergoyang. Hempasan arus yang seolah mengirim intimidasi kepada Fredi dan kawan-kawan. Bagi sejumlah pemilik wayamasapi di Jembatan Bukaka (bekas jembatan Yondo mPamona), ekspansi industri yang sporadis tidak boleh dibiarkan. Apa lagi pasrah.
Kehadiran perusahaan begitu ekspansif tak hanya membuat masa depan wayamasapi terancam. Menurut beberapa warga di sepanjang muara Danau Poso, Tradisi monyilo – menangkap ikan saat air danau surut, praktis menjadi sulit dilakukan. Naiknya permukaan air danau yang menenggelamkan ratusan hektar sawah milik warga – membuat tradisi ini nyaris mustahil dilakukan.
Warga Tentena di pesisir muara Danau Poso pun mengkhawatirkan kehadiran perusahaan PT Poso Energy. Mereka menilai, industri yang ekspansif telah merendahkan harga diri masyarakat adat. Industri yang ekspansif menghilangkan entitas kebudayaan. Industri yang ekspansif bukan mensejahterakan. Tapi mematikan kehidupan. **
Catatan redaksi : artikel ini sudah pernah dimuat di Roemah Kata , dipublikasikan kembali seijin penulis dengan perubahan pada judul.