Film Titik Dua, Potret Politisi Asal Ngomong

0
678
Sumber: rmol.id

Film pendek durasi 3 menit berjudul Titik Dua tayang di vidio.com sejak September hingga Oktober 2022 dalam rangka Jakarta Film Week 2022. Bergenre sitkom, film ini menyindir banyak politisi yang asal ngomong, jauh kata dari perbuatan. Mengambil setting di sebuah angkutan umum, adegan banyak menunjukkan karakter politisi yang menjengkelkan. Sok tau, jauh kata dari perbuatan bisa jadi gelar tambahan yang boleh disematkan pada politisi seperti di film ini.

Saifullah Mechta, sang sutradara menceritakan, karakter sok tau dan menjengkelkan si politisi yang jadi tokoh utama filmnya adalah potret yang sudah diketahui masyarakat umum. Karakter itu terlihat dalam dialog saat si politisi bertanya pada mahasiswi yang duduk disampingnya.

“Ade ambil jurusan apa?” So pasti itu?” lanjutnya ketika dijawab jurusan Kehutanan.

Dia lalu melanjutkan dengan gaya sok tahu ”Kita (saya) ini apa yang kita tidak tahu” ketika  mahasiswi yang kelihatan tidak nyaman duduk disebelahnya, membenarkan pertanyaan si politisi kalau di kampusnya baru saja ada aksi unjukrasa. 

Baca Juga :  Menakar Kesiapan Penanganan Covid-19 di Poso

Simbol ketidaksukaan rakyat juga muncul saat politisi yang diperankan dengan apik oleh Yulius Tadale ini sedang berkoar kepada di mahasiswi yang semakin terlihat tidak nyaman di sampingnya. Dia membual betapa hebatnya program yang akan dia lakukan jika terpilih. Asik berkoar, tiba-tiba dari belakang, suara penumpang yang menerima telepon meninggi hingga menghentikan kampanye tak bermutunya.

Titik Dua adalah bagian kedua dari trilogi garapan rumah produksi Kayu Hitam bekerjasama dengan Institut Mosintuwu. Film yang diproduksi tahun 2020 ini adalah gambaran hajatan politik rutin 5 tahunan yang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak melahirkan pemimpin berkualitas, kontestasi yang kasar dan  mahal.

Itu sebab, di film diceritakan seorang petani yang kebelet saat hendak ke kebun. Singgah di toilet darurat. Dia duduk nyaman di toilet berdinding baliho. Sambil menghisap rokok dia menatap wajah yang ada di baliho di depannya. Wajah si politisi yang sedang tersenyum membuat perutnya tambah sakit. Rokok dihisap dalam-dalam sampai menggeretak memerah. Pelan ujung rokok itu diarahkan ke senyuman si politisi.

Baca Juga :  Festival Sekolah Perempuan : Pameran Kekuatan Desa dan Karya Perempuan

Lahirnya film ini muncul dari refleksi sistem politik Indonesia pasca reformasi yang gagal mewujudkan harapan jutaan mahasiswa yang memperjuangkannya dengan darah dan nyawa di tahun 1998. Kita akhirnya disuguhkan pemimpin yang tidak punya niat sungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Cek saja, mayoritas politisi yang terpilih di pemilu, kekayaannya tiba-tiba melejit, sementara angka kemiskinan rakyat yang dipimpinnya semakin tinggi.

Dari atas sampai ke bawah, publik sudah seperti punya pandangan sama terhadap politisi. Hapal betul tingkah lakunya. Mereka bahkan tau kapan orang-orang itu mengumbar senyum, kapan cuek seakan kita tidak ada masalah orang yang diwakilinya.

Ide film ini muncul ketika Saifullah Mechta dan karibnya, seniman pencinta Scooter, Aba Madicus singgah di hutan Pinus lembah Napu,  bersama beberapa kawannya mereka dalam perjalanan ke lembah Behoa. Keduanya memandang sampah plastik dan sisa-sisa baliho berserakan dimana-mana. 

Sebagian baliho itu wajah penuh senyum beberapa orang politisi. Mereka heran, bagaimana bisa ada baliho dipasang di hutan yang seharusnya bebas sampah baliho.

Baca Juga :  Menolak Kesulitan DPR: Mengapa Poso Mendesak RUU PKS di Prolegnas 2020

Tapi negara demokrasi butuh politisi sebagai wakil rakyat. Film Titik Dua adalah niat untuk mendorong publik semakin kritis saat memilih pemimpin atau wakilnya. Setidaknya membaca rekam jejak dan menguji isi kepalanya.

Tentu akan ada Titik Habis sebagai penutup rangkaian cerita. Kapan akan hadir? Saifullah Mechta bilang, menunggu momen tepat.

Proses pengambilan gambar film Titik 2. Foto : dok. film titik 2

Trilogi ini bukan karya kejar tayang. Biaya film ini dari patungan Saifullah Mechta dan kawan-kawannya yang memimpikan Indonesia bukan hanya jadi negara yang bisa menjalankan proses demokrasi prosedural tapi substansial, Sehingga jadi negeri yang damai, penghuninya bahagia, bebas dari penguasa politisi tengik.  Karena itu butuh waktu mengumpulkan sumberdaya untuk memproduksi Titik Habis, titik terakhir kritik terhadap politisi buruk. Tentu akan ada titik-titik berikut dengan tema-tema lain yang mencerahkan.

Titik Habis akan hadir dengan dukungan orang-orang biasa yang punya visi besar. Mewariskan Indonesia yang berkeadilan bagi semua. Yang rakyatnya bahagia.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda