Panas terik menjadi tidak terasa. Penelusuran keragaman budaya di Desa Pinedapa diikuti dengan antusias. 16 kelompok dari 168 orang anak muda yang berasal dari 24 desa di kabupaten Poso mengelilingi sudut-sudut desa Pinedapa kecamatan Poso Pesisir. Mereka berkeliling ke rumah 16 keluarga berbeda suku yang ada disana. Turut bersama mereka beberapa orang agamawan yang menjadi peserta Mosikola Teologi. Mereka berjalan dari rumah ke rumah untuk mengenal dan belajar tentang kehidupan beragam warga desa yang terletak di poros jalan trans Sulawesi ini.
Pinedapa sebuah desa kecil dengan luas 60,9 km per segi ini punya penduduk beragam suku. Kepala Desa Pinedapa, Mardianus Ndele mengatakan ada 24 suku dari 517 kepala keluarga. Karena alasan teknis, akhirnya 8 suku lainnya tidak ikut dikunjujngi. Meski banyak suku, sehari-hari, kita lebih sering mendengar percakapan dalam bahasa Pamona, Pekurehua dan Bugis serta Gorontalo selain bahasa Indonesia
Pinedapa adalah nama yang diambil dari bahasa Pekurehua yang artinya tempat bertemu. Dalam sejarahnya, desa ini dibangun pada awal tahun 1900 an oleh orang-orang dari lembah Napu yang datang ke Poso Pesisir untuk membuat garam.
Saat konflik mendera kabupaten Poso tahun 2000 hingga 2003, desa Pinedapa tidak luput ikut terbakar. Namun desa ini pula yang paling cepat pulih. Warganya yang terpencar di pengungsian berangsur pulang dan membangun hidup bersama.
Rumah-rumah warga yang terbagi dalam 3 dusun desa ini tidak terkotak berdasarkan suku atau agama. Semua bercampur. Misalnya rumah keluarga Purba yang bersuku Batak, berdekatan dengan keluarga Parandenga yang beretnis Kaili. Begitupula keluarga Arianti bersuku Bugis Wajo yang bertetangga dengan keluarga beretnis Gorontalo.
“Apa panggilan untuk adik dari orang tua kita” tanya Julian M Tuda, tokoh agama bersuku Minahasa dari desa Bulili kecamatan Lore Selatan kepada ibu Meryam Yuni Suparwati, tuan rumah bersuku Jawa. Dijawab, kalau adik dari orang tua kita disebutnya Pakle atau Bule. Kalau yang lebih tua dipanggil Pakde atau Bude jawabnya. Ini memang pertanyaan sederhana, namun harus diakui tidak semua orang mengetahui perbedaan itu.
Ibu Meryam lalu menyuguhkan Urat dan pecel dipadu tahu dan tempe sebagai menu khas Jawa sesuai daerah asalnya. Ibu kades sendiri adalah contoh percampuran budaya di desa Pinedapa. Dia bersuku Jawa yang menikah dengan Mardianus Ndele, orang Napu yang jadi kepala desa Pinedapa.
Sedangkan Rinda Tulung yang akrab disapa Mama Seri warga yang tinggal di dusun 3 menjelaskan beberapa adat istiadat Toraja yang masih jarang diketahui anak-anak muda ini. Dia jelaskan tentang perbedaan perayaan Ma Badong(duka cita), Magellu (pernikahan) dan Rambu Solo (pemakaman).
“Ini Lawa silahkan dicoba”kata Arianti sambil menyodorkan ikan mentah yang dicincang dengan perasan jeruk nipis dan sedikit garam kepada Rifai Landika, pemuda dari desa Lape yang datang kerumahnya. Awalnya Rifai sedikit ragu. Ini pertama kali dia makan ikan mentah. Biasanya dia hanya melihat sushi di yotube. Setelah mengambil sedikit, dia mengambil lagi lebih banyak. “Enak”serunya.
Bukan hanya tentang pakaian, bahasa dan makanan. Perjalanan mengenal 16 suku yang ada di Pinedapa membuat Ayulin Tangulu, peserta dari desa Pada, kecamatan Lore Selatan tahu bagaimana interaksi sehari-hari disana. Ketika adzan Dzuhur berkumandang dari Masjid Baaburahmah. Yang beragama Islam beranjak menunaikan shalat, yang lain menunggu sambil melanjutkan percakapan. Suasana begitu akrab tercipta, padahal, pemuda dan pemudi ini baru semalam berkenalan.
Membangun Jembatan Dialog
Seharian, sejak pagi sampai sore hari Kamis tanggal 14 September 2022 rombongan Jelajah Budaya Rumah Kita bertamu di rumah-rumah warga. Mereka ditemani anak-anak muda setempat yang jadi panitia plus pemberi gambaran kehidupan sehari-hari tentang desanya kepada peserta.
Jelajah Budaya ini tentu bukan acara jalan-jalan meskipun berjalan penuh keceriaan layaknya pesiar saat Lebaran atau Natal. Perjalanan ini memantik orang-orang tua untuk meningkatkan lagi kehangatan bertetangga yang selama ini terkesan agak dingin.
“Ada semacam hambatan bagi kami untuk berhubungan dalam kegiatan sehari-hari dengan saudara kami yang muslim”kata pdt Ivone Beamin Gayumbo, dia melayani jemaat Eklesia, Gereja GKST di Pinedapa. Pernyataan ini dibenarkan Sugih, tokoh muda Islam disitu.
Sugih bilang, kalau ada yang melaksanakan pesta, yang bekerja hanya komunitas agama yang merayakannya. Komunitas lain tidak terlibat. “Bukannya kami tidak mau. Tapi seperti ada jarak begitu”katanya ketika berdiskusi dengan Pdt Ivon dan beberapa pemuka desa.
“Dahulu, kebersamaan kita disini kuat sekali. Perlahan itu berkurang. Karena itu acara ini sungguh besar nilainya bagi kami masyarakat disini. Ini membawa harapan bagi kami semua disini”kata Yani Dande, tokoh adat desa Pinedapa
Apa yang diungkapkannya menjadi tugas selanjutnya anak-anak muda khususnya untuk menghilangkan rasa sungkan yang mulai muncul pasca konflik.
Mencairkan kebekuan interaksi memang lebih mudah dilakukan anak muda. Media sosial sudah menghubungkan mereka dalam bentuk saling follow di instagram atau saling berteman di facebook, dua media yang akrab dalam keseharian.
Pdt Ivone berharap, hubungan anak-anak muda beragam suku dan agama di desanya membuka selebar-lebaranya alasan untuk “memulai percakapan ke rumah-rumah tetangga yang berbeda agama”.
Dalam pertemuan persiapan Jelajah Budaya titik nilai keberagaman, Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu yang menginiasi kegiatan ini menyebutkan bahwa jelajah budaya keberagaman tidak hanya bermaksud untuk membangun jejaring antar anak muda lintas agama dan suku dari berbagai desa yang mengunjungi Pinedapa, tapi juga untuk warga Pinedapa.
“Tidak semua warga Pinedapa menyadari keberagaman yang mereka miliki, namun mereka telah hidup bersama dengan harmoni selama berpuluh tahun. Karena itu, jelajah budaya di Pinedapa ini juga diharapkan dapat membangun solidaritas sekaligus kepercayaan diri warga desa Pinedapa yang unik dan kaya justru karena beragam”
Jelajah Budaya Rumah KITA Poso adalah program jelajah kebudayaan di Tana Poso yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu. Jelajah Budaya Rumah KITA difokuskan kepada anak-anak muda di Kabupaten Poso untuk membangun 4 hal : Pertama, membangun jaringan dan kerjasama antar anak muda lintas agama dan suku dari berbagai desa di Kabupaten Poso. Kedua, membangun kepemimpinan anak muda di desa-desa untuk terlibat aktif dalam pembangunan desa; sekaligus menjaring calon pemimpin muda di desa. Ketiga, mendorong dan memotivasi anak muda desa untuk mengenal serta menjaga nilai-nilai kebudayaan yang ada di Kabupaten Poso. Ke empat, Memotivasi anak muda desa untuk mempraktekkan nilai-nilai kebudayaan.
Terdapat 12 titik nilai jelajah budaya yang akan ditempuh, yaitu titik keberagaman di Desa Pinedapa, nilai spiritualitas di Kelurahan Mapane, nilai solidaritas di Malitu, nilai saling percaya di Tokorondo, nilai kekeluargaan di Pamona, nilai kesederhanaan, nilai kesatriaan, nilai keadilan, nilai kesetaraan, nilai kemandirian, nilai kearifan lokal di Dulumai dan Kageroa, nilai perdamaian.