“Kita mensahkan bersama, desa Pinedapa sebagai desa keberagaman di Kabupaten Poso dan di Indonesia” seruan Lucy, pemandu acara di malam Festival Keberagaman, disambut tepuk tangan meriah ratusan anak muda yang memenuhi lapangan desa Pinedapa.
Piagam Keberagaman, demikian tulisan di layar putih di depan tribun lapangan. Pengesahan desa Pinedapa sebagai desa keberagaman disimbolkan dengan penandatanganan bentangan kain putih dengan tulisan Piagam Keberagam, Kamis 15 September 2022. Ratusan tandatangan terbubuh di bentangan kain putih yang dipasang di depan tribun lapangan desa Pinedapa, kecamatan Poso Pesisir. Penandatanganan dimulai oleh tokoh agama Islam dan tokoh agama Kristen diikuti oleh kepala desa Pinedapa dilanjutkan oleh anak-anak muda dari berbagai desa. 168 dibuat oleh pemuda dari 24 desa yang jadi peserta Jelajah Budaya Rumah Kita. Seratusan lainnya dari tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa dan anak-anak muda desa Pinedapa.
Kentongan dipukul, gendang ditabuh oleh setiap mereka yang menandatangani piagam keberagaman. Ini simbol suara proklamasi tentang keberagaman sebagai sebuah kekayaan bersama. Selain tandatangan, ada keterangan nama, desa asal, suku dan agama pembuatnya. Semuanya mendaulat Pinedapa sebagai Desa Simbol Keberagaman di kabupaten Poso.
Tapi mengapa desa berpenduduk 1,709 jiwa ini dianggap pantas menjadi simbol persaudaraan dalam kebhinekaan?
Di kabupaten Poso, banyak juga desa atau kelurahan yang penduduknya beragam. Namun Pinedapa menarik karena selain wilayahnya kecil, juga bukan kota. Desa ini juga pernah diamuk konflik yang berupaya memecah keragaman antara tahun 2000 hingga 2002. Setahun kemudian, warganya sudah kembali dari pengungsian dan membangun kebersamaan.
Salah satu kebiasaan yang menunjukkan saling menghargai di desa ini adalah soal waktu melaksanakan hajatan. Warga yang beragama Kristen pasti tidak melaksanakan pesta di hari Jumat untuk menghormati yang muslim. Sementara yang Muslim tidak melaksanakannya di hari Minggu.
“Keberagaman ini menjadi sejarah dan kebanggaan tersendiri sebab meskipun disini ada lebih dari 20 suku, namun disini tidak pernah ada konflik baik suku maupun agama,” kata Mardianus Ndele, kepala desa Pinedapa. Filosofi Bhineka Tunggal Ika. Menghargai perbedaan membuat warganya bisa hidup tenang.
Pendeta Gereja GKST Eklesia Pinedapa, Pdt. Noni Riwi mengatakan, Jelajah Budaya Rumah Kita menekankan nilai kebersamaan, persatuan dan kesatuan warga didalam perbedaan seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Adapun Imam Masjid Babburrahmah Pinedapa, Muhammad Salman berharap kegiatan yang mempertemukan warga dari beragam latarbelakang seperti ini terus dilaksanakan untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, khususnya dikalangan generasi muda.
Lalu mengapa di Pinedapa? jawabannya sederhana, desa ini merepresentasikan keberagaman di Kabupaten Poso bahkan di Indonesia. Terdapat 401 KK di Desa Pinedapa yang terdiri dari 24 suku dan 2 agama, Islam dan Kristen .
Yensinus Tolaki, anak muda asal Lembah Bada, mengungkapkan ekspresinya setelah melakukan perjalanan keliling,
“Ketika temui beberapa suku ada banyak keunikan , ini menunjukkan bahwa Indonesia itu banyak keberagaman yang punya nilai sosial yang perlu diteruskan oleh anak muda seperti saya”
Menurutnya, keunikan itu antara lain pada rempah yang digunakan dalam makanan, sajian makanan, juga bahasa. Yensinus sangat bangga menjadi bagian dari jelajah Budaya, dia bahkan menyakini bahwa perjalanannya ini telah mengajarkannya prinsip dalam menjalani kehidupan dalam keberagaman.
“Kita tidak boleh tertutup dengan orang lain yang berbeda dengan kita, sebaliknya kita bisa belajar banyak hal dari banyak perbedana yang ada” pungkasnya.
Siska Widiandi , anak muda dari Desa Tiwa’a senada dengannya.
“Meskipun berbeda, kehidupan di sini mengembangkan hidup saling menghormati dan menghargai. Saya bangga sekali karena saya bukan hanya menambah ilmu tapi juga menambah teman baru yang berbeda dengan saya “
Dalam Jelajah Budaya Rumah KITA Poso di Desa Pinedapa, setiap peserta diajak menjelajahi beragam budaya yang tidak mereka temukan di desanya. Disini mereka bertemu 16 keluarga, mencicipi 16 kuliner, mendengarkan dan menyanyikan 16 lagu daerah, mengamati 16 baju adat, mencoba mengucapkan 16 bahasa daerah, melihat keunikan 16 suku.
Meskipun hanya 16 keberagaman yang kita ikuti dalam Jelajah Budaya Rumah KITA kali ini, namun 8 suku lainnya tetap ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Pada malam hari setelah penandatanganan piagam keberagaman digelar Festival Keberagaman . Festival keberagaman dimulai dengan penyalaan api unggun oleh keluarga-keluarga dari berbagai suku di Pinedapa. Penyalaan api unggun dengan menggunakan lilin ini menjadi simbol akan dinyalakannya semangat hidup bersama dalam keberagaman pada lebih banyak orang, dengan belajar pada apa yang terjadi di Desa Pinedapa.
Suasana malam Festival Keberagaman semakin hangat ketika anak-anak muda lintas agama dan suku dibagi dalam kelompok secara acak dan menampilan beragam bentuk pertunjukan seni, teater, drama, puisi , lagu, vokal grup dan lainnya. Anak-anak muda dari berbagai desa diajak untuk mengekspresikan pemahaman mereka tentang suku-suku dan agama di Pinedapa dalam bentuk tarian, vokal grup, drama musikal dan teater. Hanya dengan persiapan kurang dari 2 jam, 16 kelompok anak muda menampilkan secara kreatif lagu-lagu yang baru mereka pelajari dari berbagai suku, membawakan cerita rakyat dalam teater, menarikan tarian khas serta menampilkan drama musikal. Guritan Kabudul dan personil Sentimental Kampung ikut tampil meramaikan Festival Keberagaman dalam lagu-lagu sosial mereka. Penampilan para anak muda ini disaksikan langsung oleh warga Desa Pinedapa dari anak-anak hingga orang-orang tua. Modero, menjadi tarian bersama yang menutup Festival Keberagaman.
Keberagaman yang telah lama hidup di Desa Pinedapa, bukan hanya dikunjungi, diamati atau dipelajari oleh anak muda peserta Jelajah Budaya . Anak muda yang berasal dari 27 desa terdiri dari 24 suku dan beragama Islam, Hindu dan Kristen ini juga mengalami kebersamaan keberagaman secara langsung selama Jelajah Budaya Rumah KITA diselenggarakan. Sejak awal kedatangan di lokasi Jelajah Budaya, seluruh anak muda dibagi secara acak dalam kelompok , terbagi secara acak di tenda kemah , dan diajak untuk memberikan ekspresi seni pada beragam kebudayaan.
Jelajah Budaya Rumah KITA Poso adalah program jelajah kebudayaan di Tana Poso yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan pemerintah desa Pinedapa.
Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu yang juga inisiator Jelajah Budaya Rumah KITA menyebutkan kegiatan ini secara sengaja difokuskan kepada anak-anak muda di Kabupaten Poso untuk membangun 4 hal :
Pertama, membangun jaringan dan kerjasama antar anak muda lintas agama dan suku dari berbagai desa di Kabupaten Poso. Kedua, membangun kepemimpinan anak muda di desa-desa untuk terlibat aktif dalam pembangunan desa; sekaligus menjaring calon pemimpin muda di desa. Ketiga, Mendorong dan memotivasi anak muda desa untuk mengenal serta menjaga nilai-nilai kebudayaan yang ada di Kabupaten Poso.
Ke empat, Memotivasi anak muda desa untuk mempraktekkan nilai-nilai kebudayaan.
“Anak muda adalah rumah masa depan kita. Menjelajahi titik nilai di Jelajah Budaya Rumah KITA, akan memberikan sebuah pengalaman dan pemaknaan baru atas dinamika di sekitar mereka, sehingga bisa mengambil keputusan-keputusan yang bijaksana meresponnya” ujar Lian.
Jelajah budaya Rumah KITA adalah sebuah rangkaian perjalanan keliling ke 12 titik nilai budaya di kabupaten Poso. Ke – 12 titik nilai budaya ini disusun berdasarkan penelitian Institut Mosintuwu di 40 desa di Kabupaten Poso, sejak tahun 2018 hingga 2019. Proses penentuan nilai ini juga melalui diskusi dengan sejumlah pegiat adat dan budayawan Poso.