“Kirologi atau ilmu kira-kira” seringkali menjadi dasar perencanaan pembangunan di desa. Jefri Nurahman, ahli pemetaan geospasial mengatakan hal ini dalam kelas Sekolah Pembaharu Desa. PIlihan menggunakan ‘kirologi’ ini menurutnya dikarenakan tidak adanya data yang cukup tentang desa.
“Padahal, data yang baik, valid dan tepat adalah jaminan 50 % sebuah pembangunan bisa berhasil, karena pembangunan yang berbasis data akan meminimalisir rencana pembangunan yang tidak perlu.” kata Jefri “Karena itulah kita butuh pemetaan geospasial”
Jefri, ahli pemetaan geospasial yang mengisi materi Geo Sosial Spasial, menjadi narasumber ahli dalam kurikulum di kelas Sekolah Pembaharu Desa (SPD) di 22 desa yang didampingi Institut Mosintuwu. Senin 26 September 2022, dia berada di desa Maranda kecamatan Poso Pesisir Utara . Pagi hingga sore itu sebanyak 30 orang peserta dari 3 desa berdekatan yakni Desa Tiwa’a, Desa Trimulya dan Desa Maranda sebagai tuan rumah berkumpul di balai pertemuan desa membahas rencana pemetaan desa mereka.
Kelas Geo Sosial Spasial dimulai dengan mengajak peserta kelas untuk membuat peta jalan dari rumah ke lokasi pertemuan. Peta yang dihasilkan peserta adalah peta mental atau peta yang ada dalam pikiran. Peta yang demikian seringkali tidak bisa dijadikan dasar bagi perencanaan pembangunan karena tidak bisa dianalisis dengan akurat. Geospasial . Geospasial atau ruang kebumian merupakan aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu .
Jefri menjelaskan bahwa peta yang baik diperlukan ebagai informasi keruangan Desa atau wilayah. Sebagai pedoman dasar perencanaan pembangunan Desa atau wilayah, menghindari konflik kepentingan penguasaan ruang Desa atau wilayah ,
“Tanpa Peta yang memadai,kebijakan pembangunan tidak akan pernah bisa menyentuh titik sasaran dilevel yang paling mikro yakni desa.Peta yang disusun secara partisipatif di tingkat desa bisa menjawab kebutuhan desa untuk memberdayakan diri guna meningkatkan kesejahteraan warga” ujarnya.
Jika Geospasial untuk mendapatkan gambaran rupa bumi desa secara akurat, misalnya mana batas desa, fasilitas umum, sumber mata air, lahan pertanian dan wilayah rawan bencana. Maka Sosial Spasial merupakan pendataan kondisi sosial desa. Mulai dari jumlah penduduk, jumlah balita, lansia, warga yang cacat, anak yang sekolah di semua tingkatan, pendapatan rata-rata penduduk hingga sumber pendapatan. Kedua data ini, Geospasial dan Sosial Spasial lalu digabungkan menjadi satu buku tentang desa masing-masing.
Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali mengatakan, pemetaan ini menjadi bersejarah karena dilakukan sendiri oleh masyarakat dan pemerintah desa. Nantinya, hasil pemetaan Geospasial dan Sosial Spasial bisa menjadi dasar pemerintah desa menyusun rencana program pembangunannya.
“Dengan modal hasil pemetaan ini, penyusunan rencana program pembangunan desa punya basis yang kuat, karena didukung data-data yang lengkap”kata Lian.
Dia mencontohkan penyusunan program pertanian akan lebih tepat dilakukan karena ada data lahan lengkap dengan informasi soal kondisi tanahnya. Kondisi tanah ini meliputi antara lain jenis lahan pertanian, jenis tanaman, jenis pengairan, kalender musim tanam, perkakas atau peralatan yang digunakan, sarana produksi yang digunakan, jarak, juga kendala-kendala dalam pengembangan pertanian. Program pemberdayaan masyarakat juga akan lebih berhasil jika didukung oleh data gambaran sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan , data perempuan dan anak, termasuk sejarah penduduk desa.
Peta geospasial dan sosial spasial menjadi sangat penting dimiliki desa. Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Aris Marfa’i menyebutkan enam urgensi pembuatan peta desa, yaitu untuk mengetahui posisi desa terhadap kawasan di sekitarnya, melihat potensi desa, menyelesaikan sengketa batas wilayah, inventarisasi aset desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, serta membantu perencanaan pembangunan infrastruktur desa, serta menjadi dasar informasi untuk integrasi spasial pembangunan wilayah. ( baca: Peta desa percepat pembangunan desa )
Pembuatan Peta Batas Wilayah Desa juga menjadi amanat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun, Peta Batas Wilayah Desa seharusnya tidak hanya menyajikan batas wilayah desa, tetapi juga menyajikan data dan informasi seperti lahan pertanian dan kondisinya serta kondisi sosial ekonomi masyarakat desa tersebut
Belakangan desa menjadi perhatian serius. Itu muncul setelah terbitnya UU no 6 tahun 2014 tentang desa. Dengan undang-undang ini, desa punya uang dalam bentuk Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBN untuk dikelola sendiri, tentu perencanaan dibuat dengan persetujuan warganya.
Hampir 7 tahun sejak berlakunya undang-undang ini memberikan banyak perubahan di desa. Namun belum seperti yang diharapkan. Data BPS tahun 2021 dan 2022 menunjukkan, sebagian yang berkategori miskin ada di pedesaan.
Data per Maret tahun 2021 menunjukkan 14,73 persen atau 316,14 ribu orang warga miskin tinggal di desa. Sedangkan 9,15 persen atau 88,31 ribu tinggal di kota. Data ini menunjukkan, Dana Desa dan ADD belum maksimal mendorong peningkatan kesejahteraan pada para petani di desa.
Ini tidak mengherankan bila melihat umumnya penggunaan dana desa yang sebagian besar digunakan untuk proyek-proyek fisik seperti pembangunan kantor hingga pagar balai desa, aula pertemuan dan jalan setapak.
Ketua BPD desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir, Andi Baso Tahir mengatakan, para petani di desanya kini mengalami persoalan ekonomi yang serius sejak tanaman kakao mereka diserang hama, terutama kanker buah.
Ratusan hektar kebun kakao itu kini ditinggal.
“Upaya petani untuk menanam pisang sebagai ganti tanaman kakao terkendala tidak adanya jalan kantong produksi yang memadai”kata Baso Tahir. Dia mencontohkan, beberapa orang petani di desanya yang menanam ratusan pohon pisang namun kesulitan membawanya ke pedagang. Sebab alat transportasi yang bisa menjangkau kebun pisang itu hanya sepeda motor yang maksimal bisa angkut 3 tandan pisang.
Apa yang disampaikan Andi Baso Tahir bisa jadi karena tidak adanya informasi hasil pemetaan Geospasial desa. Sehingga pemerintah desa tidak memiliki gambaran lengkap apa kebutuhan penting dan mendesak dalam rencana pembangunan dan penganggaran desa.
Mencegah Konflik, Meminimalisir Dampak Bencana
Selain untuk perencanaan pembangunan , pemetaan geososial spasial berguna untuk meningkatkan potensi warga juga mencegah konflik dan bencana. Di Maranda, warga gelisah dengan adanya rencana pemukiman baru yang berada di lokasi tanah bergoyang. Kepala Desa Maranda menyebutkan hingga sekarang belum mengijinkan lokasi tanah bergoyang tersebut dibangun pemukiman, namun tidak mengetahui alasan yang tepat pada warga. Pemetaan geo spasial memungkinkan kebijakan menghindarkan warga dari bencana.
Pemetaan geospasial menemukan wilayah desa Maranda berada di jalur sesar Tokararu yang menyebabkan gempa. Warga menyebutnya tanah bergoyang. Pengetahuan yang didukung oleh data dari pemetaan bumi maupun pemetaan sosial dari pengalaman dan pengetahuan masyarakat, dapat mencegah dampak buruk bagi perencanaan pemukiman baru.
Sementara itu, Wihelmina, 73 tahun warga Desa Tindoli kecamatan Pamona Tenggara, bercerita dalam kelas
“Dulu ada jualele. Saat itu terjadi, luar biasa. Di satu rumah ada orang meninggal, belum selesai satu dikuburkan, di rumah lain sudah ada lagi yang meninggal”
Jualele merupakan sebutan bagi penyakit sampar yang mewabah di desa Tindoli. Penulisan mengenai sejarah bencana di desa ini menjadi bagian dari pemetaan sosial spasial desa untuk bisa merencanakan mitigasi bencana di desa.
Bukan hanya berguna untuk mitigasi bencana, geososial spasial berfungsi untuk memastikan pembangunan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung desa.
“Belajar dari Jambi, kami dulu senang sekali perusahaan masuk karena pikirnya akan membuka lapangan pekerjaan dan kami akan lebih maju. Itu benar, tapi hanya sampai 2 tahun. Tahun ke tiga, kami bukan hanya kehilangan pekerjaan tapi juga sudah bertengkar karena tanah, harus bangun pagi jam 3 subuh untuk bisa mencari air” cerita Jefri .
Jefri mencontohkan akibat dari perencanaan yang tidak sesuai daya dukung dan daya tampung desa sehingga menyebabkan desa menyetujui kebijakan pembangunan yang justru merusak lingkungan dan kehidupan sosial warga. Geososial spasial berguna untuk membayangkan masa depan dari sebuah kebijakan pembangunan.
Pemetaan partisipatif seperti yang sedang berupaya dikerjakan warga ini adalah metode pemetaan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang melakukan pemetaan diwilayahnya sendiri. Sekaligus juga nantinya, mereka menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Sebagian besar informasi yang terdapat dalam peta berasal dari pengetahuan masyarakat setempat dan masyarakat menentukan sendiri penggunaan peta yang dihasilkan.
Peserta kelas Geososial Spasial tampak sangat antusias mengikuti proses dalam kelas. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok geospasial dan kelompok sosial spasial. Setelah pagi hingga siang diberikan materi dasar pemetaan, siang hingga sore peserta berdasarkan desa masing-masing melakukan praktek pengambilan titik lokasi menggunakan Global Positioning System (GPS) . Hasilnya dimasukkan datanya dalam sebuah aplilkasi bernama Avenza, sebuah aplikasi yang bisa diunduh gratis di gawai.
Sementara itu peserta kelas lainnya melakukan penulisan awal pemetaan sosial . Disepakati bersama di semua desa hasil geospasial dan sosial spasial ini akan menjadi bahan dalam penulisan buku desa. Selanjutnya buku desa ini akan digunakan sebagai pondasi dalam penyusunan perencanaan desa.
Kelas Geospasial dan Sosial Spasial adalah salah satu bagian kurikulum Sekolah Pembaharu Desa yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu sejak 2019. Kelas ini dimaksudkan untuk memperkuat pengetahuan masyarakat khususnya perempuan dan aparat pemerintah desa dalam pemetaan desa mereka juga untuk menghasilkan basis data bagi perencanaan pembangunan di desa.