“Yang kita punya hanyalah hikmah untuk terus melayani Indonesia”kata Alissa Wahid. “Kita memulai dengan tanpa sumber dana yang cukup. Sekarang juga masih terbatas”
Hikmah ini dibicarakan Alissa dalam orasi kebangsaan di acara pembukaan Temu Nasional (Tunas) Jaringan Gusdurian di Surabaya , hari Kamis 13 Oktober 2022. Lebih lanjut Alissa menyebutkan bahwa hikmah ini yang menjadikan para Gusdurian seperti satpam bagi Indonesia. Menjaga Indonesia. Gusdurian merupakan sebutan untuk komunitas yang menjalankan 9 nilai warisan Gus Dur. Tunas Gusdurian merupakan acara pertemuan nasional seluruh jaringan Gusdurian dari seluruh Indonesia dan berbagai wilayah lain di belahan dunia. Tercatat 1.300 orang Gusdurian hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan di Asrama Haji Surabaya.
Pembukaan acara Tunas Gusdurian diawali dengan penyerahan penghargaan Gusdurian Award kepada 3 kategori, penggerak individu, lembaga dan komunitas. Pada ketiga kategori ini, Gusdurian selama ini bekerja bersama menjalankan hikmah melayani Indonesia. Gusdurian Award diberikan kepada Gusdurian Semarang, Institut Mosintuwu dan kepada Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu.
Anugerah Gusdurian Award ini sebenarnya sudah diumumkan sejak tahun 2020 lalu di acara yang berlangsung secara daring dikarenakan pandemi Covid-19. Penghargaan diberikan Gusdurian sebagai rasa terimakasih dan support atas kerja-kerja kemanusiaan yang sudah dilakukan. Mereka yang menerimanya adalah penggerak sebagai individu. komunitas Gusdurian sendiri, juga lembaga jejaring Gusdurian.
Untuk kategori komunitas, diberikan kepada Gusdurian Kota Semarang. Kerja-kerja sosial mereka, terutama dalam advokasi menegakkan HAM tidak perlu diragukan lagi. Seperti mendampingi warga Tambak Rejo yang terancam digusur paksa. Bukan hanya aksi-aksi lapangan, mereka juga aktif menggelar diskusi dan sering membuat kajian isu-isu aktual. Termasuk kajian-kajian tentang Gusdur.
Dari Poso, ada 2 penghargaan yang diberikan Gusdurian . Pertama untuk Institut Mosintuwu, kedua kepada Lian Gogali. Institut Mosintuwu dinilai menjadi ruang bersama bagi warga Poso untuk menghadapi ketidakadilan secara bersama-sama. Baik Gusdurian Kota Semarang maupun Institut Mosintuwu dan Lian Gogali adalah simpul-simpul yang punya kesamaan, yakni memperjuangkan cita-cita Gusdur untuk keadilan, kesejahteraan dan kedamaian di Indonesia dan dunia.
Jay Akhmad, Koordinator Seknas Gusdurian mengatakan, Gusdurian adalah anak ideologis Gusdur. Siapapun boleh menjadi anggota kelompok ini selama setuju dengan 9 nilai yang diajarkannya. Menurut Jay Akhmad, “warisan Gusdur adalah murid-muridnya”. Institut Mosintuwu adalah lembaga yang nilai-nilainya memiliki kesamaan dengan apa yang dicetuskan Presiden ke-4 Indonesia itu. Anak ideologis Gusdur, demikian sebutan yang disematkan kepada para gusdurian.
Dalam pernyataannya setelah menerima penghargaan itu, Lian Gogali menyebut, cita-cita Gusdur memajukan Indonesia yang beragam dan toleran mendapat tempat yang sangat spesial ditengah warga Poso. Khususnya mereka yang sedang mencari keadilan.
Mosintuwu hanya mewakili masyarakat untuk menerima penghargaan ini. “Sebab merekalah yang sehari-hari bekerja dan berjuang dilapangan”katanya. Lian mengatakan, dirinya hanya berfungsi memfasilitasi, kerja dan nilai-nilai yang sudah dipunyai masyarakat khususnya yang ada di desa-desa untuk perdamaian dan keadilan di Poso.
Institut Mosintuwu adalah salah satu dari ratusan jaringan Gusdurian yang tersebar di Indonesia dan beberapa negara lain. Beberapa kerja-kerja kemanusiaan yang dilaksanakan di kabupaten Poso merupakan kerjasama kedua lembaga. Salah satunya adalah memberikan bantuan untuk warga yang paling terdampak saat puncak penyebaran Covid19 tahun 2020 , dan bekerjasama dalam merespon kondisi warga paska gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di wilayah Palu dan sekitarnya tahun 2018.
Seperti kata Alissa Wahid, “yang kita punya adalah hikmah untuk terus menerus melayani indonesia”. Ini menggambarkan kerja-kerja kemanusiaan yang tidak jarang justru dianggap sebagian kecil orang sebagai pekerjaan sia-sia. Seperti ketika Institut Mosintuwu mengambil sikap berdiri bersama petani yang tanahnya tergenang akibat proyek PLTA Poso I. Jay, menyebutkan, Gusdurian ada bukan untuk menyelamatkan masyarakat tapi Gusdurian bisa menjadi teman bagi masyarakat yang menghadapi ketidakadilan.
Mempersoalkan Oligarki untuk Inklusi Sosial, Politik dan Ekonomi
Tunas Gusdurian yang diselenggarakan ke lima kalinya ini, berakhir hari Minggu 16 otkober 2022. Ada hasil olah pikir luarbiasa yang dibawa pulang oleh para Gusdurian. Sebuah dokumen berjudul ‘Mempersoalkan Oligarkhi untuk Inklusi Sosial, Politik dan Ekonomi”. Isi dokumen ini menyorot kondisi masalah Indonesia saat ini dimana kekuasaan berada ditangan segelintir elit yang kemudian kita kenal sebagai oligarkhi.
“Kekuatan kapital mengental di berbagai bidang. Kepentingan rakyat terabaikan. Kelestarian alam tergadaikan. Oligarki menjadi sumber masalah bangsa yang harus kita koreksi. Penguatan demokrasi substansial menjadi solusi untuk mewujudkan inklusi sosial, ekonomi, dan politik,” terang Alissa di hadapan 1.300 peserta TUNAS GUSDURian .
Dokumen itu menyimpulkan Resolusi dan Rekomendasi yang berisi 5 poin penting beserta 15 poin turunnya untuk merealisasikannya.
Poin pertama, desakan Jaringan GUSDURian pada pemerintah dan parlemen untuk memperluas ruang demokrasi. Alissa Wahid mengatakan, salah satu yang bisa dilakukan dengan melakukan revisi berbagai regulasi yang kontraproduktif terhadap keadilan ekonomi dan jaminan ruang hidup yang setara, seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja; serta kebebasan berpendapat dan berekspresi, seperti UU ITE.
Poin kedua, mendesak pemerintah menegakkan hukum yang mencerminkan keadilan dan pemenuhan hak-hak konstitusional dengan menuntaskan kasus HAM berat dan memulihkan hak-hak korban.
Poin ketiga, Jaringan GUSDURian mendesak kepada pemerintah untuk melakukan demokratisasi ekonomi yang inklusif, responsif gender dan penyandang disabilitas. Poin ini bisa dilakukan dengan tiga cara, dari memberikan perhatian yang lebih kuat kepada UMKM, melalui penguatan program inklusi keuangan dan akses pasar hingga mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.
Poin keempat, Gusdurian berkomitmen mengawal pemilu 2024 untuk terwujudnya rekonfigurasi kekuasaan. Terkait komitmen mengawal pemilu 2024 ini, Jaringan GUSDURian berencana melakukannya dengan beberapa cara, di antaranya dengan melakukan pendidikan politik untuk mencegah maraknya praktik politik uang dan polarisasi sosial hingga mendesak parpol melakukan reformasi kepartaian menuju accountable programatic-based party.
Poin kelima, Jaringan GUSDURian berkomitmen memperkuat konsolidasi masyarakat sipil untuk perimbangan oligarki kelompok elit.
Untuk menindaklanjuti poin ke lima ini, menurut Alissa dilakukan dengan cara mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk melakukan pendidikan politik, pemberdayaan ekonomi, dan advokasi kasus-kasus rakyat, serta membangun ruang-ruang dialog antar-elemen untuk memperkuat kohesi dan solidaritas sosial.
Institut Mosintuwu sendiri meyakini poin-poin yang dihasilkan dalam Tunas Gusdurian tahun 2022 ini harus dijalankan seluas-luasnya bukan hanya oleh organisasi seluruh warga. Untuk menguatkan pelaksanaannya , berjejaring baik dengan lembaga lain, terutama dengan masyarakat di akar rumput akan membentuk sapu lidi yang kokoh untuk menguatkan perjuangan untuk mencapainya.