AIR sisa hujan semalam tampak menggenang di sana sini. Bulir-bulir embun menggantung manja di bebungaan. Matahari pukul 09.00 memaksa embun yang menggelantung di pucuk-pucuk daun di Taman Kota Tentena, luruh ke bumi. Pagi itu, Rabu 9 November 2002, Taman Kota Tentena, disesaki ratusan warga yang datang dari 18 desa di seantero Kabupaten Poso. Mereka meriung di kaki Tugu Masapi. Berdiri melingkar menggenggam rere dan padengko– tetabuhan yang terbuat dari bambu melengkapi penampilan mereka pagi itu.
Mereka adalah peserta karnaval hasil bumi, yang mengambil titik kumpuk dari Taman Kota dan berarak sekira tiga kilometer menuju lokasi Festival Mosintuwu di Jalan Yosi, Kecamatan Pamona Puselemba, Poso. Karnaval hasil bumi adalah prosesi yang mengawali gelaran Festival Mosintuwu 2022.
Di lingkaran pertama berdiri para remaja belasan tahun. Di lapis kedua, ibu-ibu dan pria dewasa berdiri menjinjing hasil bumi dari desa masing-masing. Mulai dari sayuran, kacang-kacangan, buah dan padi hingga umbi-umbian. Beberapa menjunjung hasil bumi, ada juga yang menentengnya. Ratusan orang dalam setelan busana adat , beberapa ornamen adat, berdiri rapi, membuat suasana Taman Kota pagi itu terasa hidup. Semarak.
Sesaat kemudian tokoh Aliansi Penjaga Danau Poso, Yombu Wuri (66) memberi aba-aba, lalu mengalunlah Desaku Yang Kucinta, lagu gubahan komponis L Manik yang diringi tabuhan rere dan padengko. Disusul dengan lagu resmi Festival Mosintuwu bertajuk Tanah, Air Hutan membahana memecah langit Kota Tentena.
Lagu Tanah Air Hutan, diciptakan menyambut Festival Mosintuwu 2022. Liriknya diciptakan ketua Mosintuwu Lian Gogali. Aransemennya dikerjakan oleh duo Tentena, Guritan Kabudul – musisi asal Pamona yang concern pada isu lingkungan dan kebudayaan. Dua lagu yang baru saja mengalun itu adalah napas utama Festival Mosintuwu.
Usai Yombu Wuri, Martince Baleona alumni Sekolah Perempuan asal Desa Bukit Bambu, Kecamatan Poso Kota Selatan, memegang kendali karnaval. Sepanjang jalan, perempuan penyintas kerusuhan Poso Mei tahun 2000, menyerukan agar manusia menjaga kelestarian alam. ”Alam adalah sumber kehidupan. Mari kita jaga bersama, karena tanah, hutan dan air adalah masa depan kehidupan kita. Mengabaikannya adalah kesalahan,” seru Martince. Semua hasil bumi yang dinikmati manusia adalah berkat kebaikan alam.
Tanah, air, hutan sambung Martince telah menciptakan kebudayaan. Memberikan kekayaan bagi kehidupan manusia. Kebaikan alam dalam berbagai bentuk pangan yang memperpanjang hidup manusia, perlu terus diingat dan dirayakan. Karnaval ini sambungnya, adalah memanggil ingatan tentang kebaikan alam diharapkan membangun kesadaran untuk bersolidaritas dengan alam untuk kehidupan yang berkelanjutan.
”Karnaval hasil bumi adalah sebuah “upacara” memanggil ulang ingatan tentang kebaikan alam dan kekayaan kebudayaan dalam pengelolaan alam,” ucapnya secara terpisah. Sedangkan keterlibatan anak-anak muda dalam karnaval menurut dia adalah simbol warisan kearifan tradisi pengelolaan alam yang akan terus menggaung dilintas generasi.
Iring-iringan karnaval berhenti sejenak di depan Jembatan Bukaka (demikian beberapa orang menyebutnya). Menghadap ke arah bekas Jembatan Yondo mPamona itu, Lian Gogali menyita perhatian peserta karnaval dengan orasinya yang lugas. Dia mengajak seluruh peserta meneriakkan tanah, air, hutan , jaga, rawat, pakaroso. Tangannya diacungkan ke atas diiringi teriakan “berdaulat” dan “pakaroso” yang artinya saling menguatkan.
Di beberapa kesempatan, Lian menyebutkan bahwa menjadi bagian dari Festival Mosintuwu, merupakan proses upaya merajut kembali perjuangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan desa yang menjadi identitas bersama. Mengambil peran dalam Festival Mosintuwu adalah bersama-sama menyusun dan membuat sejarah baru Tana Poso, sebagai tanah harapan. Sebagai tanah harapan dimana perbedaan adalah kekayaan untuk bersama-sama berjuang bagi kedaulatan.
Di hadapan peserta karnaval, peraih penghargaan Gusdurian Award 2022 Penggerak menyebutkan desa membutuhkan ruang untuk saling menguatkan. Bekerjasama dan menemukan cara belajar dan bekerja yang menempatkan masyarakat desa bersama dengan alamnya dalam posisi yang selaras. Juga, sebuah ruang yang memperlihatkan kekuatan, suara perempuan dan masyarakat dalam desa untuk bukan hanya diakui dan menjadi salah satu penentu dalam pengelolaan desa.
Lian melanjutkan, gelaran ini adalah proklamasi kebudayaan lintas desa dan antargenerasi terhadap dinamika yang sedang dihadapi saat ini. ”Jika hari ini kita memilih tema tentang tanah, air dan hutan itu adalah kegelisahan kita terhadap banyaknya tanah, hutan dan air yang dikuasai dan dirampas sehingga memungkinkan kesejahteraan di desa menjadi hilang,” tandas Lian sambil mengangkat tangan kiri ke udara. Pernyataan Lian itu disambut pekikan pakaroso (saling menguatkan) dari ratusan peserta karnaval. Pada saat yang sama, suara padengko terdengar bertalu menyiratkan perlawanan terhadap perampasan tanah, hutan dan air oleh para pemodal bebal.
Sebelumnya, Lian menjelaskan bahwa Festival Mosintuwu adalah sebuah proklamasi kebudayaan dari desa-desa atas kekuatan kebudayaan Mosintuwu yang memiliki pengetahuan, kearifan dalam hal pengelolaan alam dan kehidupan dengan nilai pombepatuwu, pombepotowe, pombetubunaka. Sebuah nilai yang terus dterpelihara di Poso yakni, saling menghidupkan, saling mengasihi dan saling menghargai. Muaranya adalah Sintuwu Maroso. Artinya satu arah. Satu pikiran. Menghasilkan kekuatan – musyawarah mufakat.
Karnaval ini merupakan penguatan atas komitmen masyarakat desa dalam pengelolaan alam dan kehidupan yang bersolidaritas. Sebuah ajakan untuk bersama-sama, khususnya bagi generasi muda, untuk kembali pada kebudayaan mosintuwu, yaitu pombepatuwu, pombepotowe, pombetubunaka sebagai nilai-nilai hidup untuk membangun Poso.
Karnaval ini juga merupakan proklamasi kebudayaan lintas desa dan antargenerasi untuk merespons dinamika yang sedang dihadapi saat ini. Tanah air dan hutan yang dieksploitasi secara berlebihan membuat kualitas lingkungan alam turun drastis, yang menyebabkan banyak musibah atau cuaca ekstrim. Oleh kita itu disebut sebagai alam yang tidak ramah. Tapi sebenarnya itu adalah manusianya yang tidak ramah pada alam.
Menurut Lian, desa merupakan ruang terbentuknya peradaban dan kebudayaan. Namun, produksi massal makanan instan telah menyingkirkan pangan lokal, menggusur tanah, merusak air, dan mengancam ekosistem desa lalu secara perlahan membunuh keberlangsungan kehidupan bumi. Juga, menyingkirkan kebudayaan lokal yang arif dan bersahabat dengan alam.
Untuk mengajak lebih banyak orang menyadari semangat desa sebagai ruang bergerak menjaga dan merawat tanah, air dan hutan, Festival Mosintuwu terbuka bagi siapa saja. Peserta Festival Mosintuwu sendiri menghadirkan kelompok perempuan, pegiat kebudayaan, anak muda dan pemerintah desa dari 18 desa di Kabupaten Poso (dari 22 desa yang direncanakan hadir). Mereka tergabung dalam kelas-kelas Pendidikan Kritis di Sekolah Pembaharu Desa ; kelas Jelajah Budaya Rumah KITA, kelas Sekolah Keberagaman.
Martince Baleona, yang sedari awal terus memompa semangat peserta karnaval di bawa terik yang menyengat, mengatakan, Karnaval Hasil Bumi adalah sebuah “upacara” memanggil ulang ingatan tentang kebaikan alam dan kekayaan kebudayaan dalampengelolaan alam.
Membawa keliling hasil bumi adalah gerakan teaterikal masyarakat petani dan nelayan yang berusaha memanggil kesadaran manusia untuk bersolidaritas terhadap alam yang sudah memberikan pangan. Juga, mengingatkan kearifan lokal pengelolaan alam yang perlu untuk dijaga. Setiap desa akan membawa hasil bumi khas desanya masing-masing seperti rica umbi-umbian, biji-bijian, daun-daunan, sayuran, dan jenis pangan lainnya. Hasil bumi ini dihias sedemikian rupa untuk dibawa dalam karnaval di jalanan.
Ia melanjutkan, kebijakan pangan negara yang keliru bahkan berpengaruh hingga ke meja makan rumah tangga Indonesia. Politik pangan negara yang salah arah membuat kehidupan rumah tangga Indonesia khususnya para ibu menjadi lebih berat.
”Peristiwa minyak goreng yang langka adalah contoh telanjang tentang politik pangan yang salah arah itu,” katanya. Industri sawit begitu luas namun melahirkan ironi bagi ibu-ibu yang harus berjibaku di baris antrean di bawah terik matahari.
Maka ibu-ibu di desa harus memenuhi pangan anggota keluarga sendiri tanpa bergantung pada siapa pun. Tanah pekarangan luas bisa dimanfaatkan untuk menanam aneka rempah dan palawija sehingga tidak perlu membeli. Warga di desa menurut dia, tidak boleh terbawa kampanye misalnya menanam tanaman yang mematikan budaya pangan di desa. ”Contoh penanaman massal porang, durian montong dll. Itu akan menyusahkan kita dan mematikan budaya pangan di desa,” katanya mengingatkan.
Warga desa tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan dasar karena tanah sudah ditanami dengan tanaman macam itu. ”Sementara saat panen tiba harga mereka kontrol dan kita rugi. lalu untuk membeli rempah dan palawija terpaksa harus ke pasar atau pasar keliling yang datang dari kota,” ujarnya bersemangat. Martince meminta menyudahi wawancara. Ia menerima kabar duka. Ibundanya yang berusia 80 tahun wafat di Sulawesi Selatan.
Karnaval disambut antusias oleh seluruh peserta. Di sepanjang perjalanan para peserta terus menyanyikan lagu tanah, air , hutan. Teriakan “berdaulat” dan “Pakaroso” lantang menggema.
Helpin Samoli (60) asal Desa Tiu, Kecamatan Pamona Tenggara, mengaku gembira mengikuti festival ini. Dari sini ungkap nenek satu cucu ini, ia mendapat pengalaman baru dan bisa bertukar bibit dengan warga dari desa lain. ”Kemarin saya dapat durian montong dari teman dari desa di Poso Pesisir,” ungkapnya sambil mengumbar senyum renyahnya.
Arak arakan karnaval berakhir di lokasi Festival Mosintuwu ditandai dengan proses bertukar hasil bumi antardesa. Hasil bumi yang saling dipertukarkan ini merupakan simbol saling bersolidaritas dalam pengelolaan hasil bumi. Di sela proses bertukar hasil bumi, Lagu Desaku Yang Kucinta kembali mengalun dari panggung utama datang dari para remaja. Liriknya mengirimkan pesan kehidupan desa yang harus dijaga di negeri yang pernah dikoyak angkara murka ini.
Redaksi : Tulisan ini telah dimuat di roemahkata.com tanggal 13 November 2022 dengan judul Karnaval Hasil Bumi, Kritik Terhadap Pangan Negara, atas seijin penulis .