DUA sosok ini bukanlah pesohor. Bukan pula elit lokal yang ”titahnya” menjadi rujukan banyak orang di komunitasnya. Mereka juga bukan aktivis yang melakukan diskusi-diskusi kritis dengan warga di tingkat tapak. Namun keteguhan, keberpihakan dan pilihan sikap mereka memperjuangkan nilai yang dianutnya, membuat kedua orang ini pantas diganjar dengan penghargaan. Datang dari profesi yang berbeda, mereka berdua melakukan perlawanan dalam sunyi dengan caranya sendiri-sendiri. Maka penghargaan yang mereka terima malam itu, menjadi relevan dan pantas.
Tahun 2022, Mosintuwu Institut menganugerahkan Mosintuwu Award kepada Fredi Kalengke (46) pemilik waya masapi di Sungai Poso. Penghargaan lainnya diberikan pada Yohanes Lita (44) – jurnalis Voice of America (VoA). Penganugerahan Mosintuwu Awards 2022 ini diberikan di malam puncak Festival Mosintuwu, 12 November 2022.
Fredi Kalengke adalah salah satu dari tiga pegiat waya masapi alias pagar sogili yang terus bertahan. Puluhan rekannya kini tak lagi menjalankan usaha pagar sogili, karena berbagai hal. Menurut dia, sejak kehadiran alat berat milik PT Poso Energy mengeruk dasar sungai, satu persatu pagar sogili pun lenyap.
Saat memberikan testimoni usai menerima penghargaan dari Direktur Mosintuwu Lian Gogali, Fredi mengaku tidak akan melepas pagar sogili miliknya. ”Dengan cara apa pun saya akan tetap bertahan,” ujar Fredi disambut tepuk tangan meriah puluhan pengunjung festival. Koleganya sesama pemilik waya masapi berjumlah delapan orang kini hengkang setelah mendapat uang tebusan dari perusahaan sebesar Rp325 juta untuk sembilan orang. Namun ia menolak kompensasi dari perusahaan. Koleganya kebagian Rp36 juta lebih per orang. Ia membiarkan bagiannya tidak diambil.
Bagi dia maupun orang Poso secara umum, Waya masapi tak semata-mata sebuah pencaharian. Ada nilai budaya yang harus dijaga secara turun temurun. Dirinya adalah generasi ketiga penjaga waya masapi, setelah nenek dan orang tuanya menjalankan tradisi itu. Ia juga memegang surat wasiat dari neneknya – untuk menjaga warisan budaya dari kepunahan.
”Ada tanggungjawab sejarah yang harus saya jaga di sana,” katanya
Penerima penghargaan lainnya adalah Yohanes Lita. Jurnalis VoA yang sebagian hidupnya dihabiskan di medan liputan. Saat ujicoba PLTA Poso I yang menyebabkan terendamnya sawah dan ternak milik petani di sekitar Danau Poso, ia salah satu wartawan yang memberitakan secara konsisten kondisi petani di sana. Yohanes Lita, mengawali karir jurnalistiknya di Radio Nugraha Palu. Hengkang dari Radio Nugraha, pada 2005 ia menjadi wartawan di Radio Elshinta Jakarta. Pada 2006, menjadi kontributor di Kabupaten Poso, untuk sebuah televisi nasional. Bersamaan dengan itu, merangkap pula menjadi koresponden Trijaya FM Jakarta dan VoA. Liputannya di Kabupaten Poso adalah isu terorisme dan lingkungan.
Karya jurnalistiknya banyak merekam suara orang-orang kecil. Keberpihakannya pada petani yang dirugikan oleh kebijakan korporasi terlihat jelas dalam liputannya pada dua tahun terakhir ini. Atas dedikasinya selama 25 tahun di profesi jurnalistik itu, ia menerima sejumlah penghargaan dari organisasi kemanusiaan di Sulawesi Tengah. Saat memberikan testimoni di panggung, Yohanes mengaku penghargaan yang diterimanya sebagai pengakuan terhadap jurnalisme yang dalam kesejatiannya senantiasa bersama dengan suara-suara yang tidak bersuara.
Lian Gogali mengatakan, Mosintuwu Award adalah sebuah penghargaan tertinggi kebudayaan dari masyarakat Poso kepada para sosok atau komunitas yang bekerja, hidup dan berjuang untuk mempertahankan, meneruskan, mewariskan kebudayaan tana Poso. Mereka yang mendapatkan penghargaan Mosintuwu Award dapat berupa individu, kelompok atau masyarakat desa. Penghargaan diberikan setelah melalui proses penelitian yang dilakukan Institut Mosintuwu secara mandiri atas individu, kelompok dan masyarakat desa yang layak menerima Mosintuwu Award. Mosintuwu Award bertujuan untuk menguatkan dan meneruskan langkah para penjaga tradisi kebudayaan Tana Poso untuk mewariskannya pada generasi masyarakat Poso.
Mosintuwu Award diberikan sejak tahun 2016 dalam kegiatan Festival Mosintuwu. Pada tahun 2016, penerima Mosintuwu Award masing-masing adalah : Mosintuwu Award – Penjaga Tradisi Sandang : Elizabeth Kalahe. Di usianya 80-an tahun, Elisabeth memelihara tradisi kain kulit kayu atau Fuya di lembah Bada, mengajar generasi yang lebih muda untuk mencintai tradisi fuya. Mosintuwu Award – Lifetime Achievement : Alm. Yustinus Hokey. Maestro budaya Poso yang aktif mengajar teater, menulis naskah teater dari cerita rakyat, guru tari.
Mosintuwu Award tahun 2018 diberikan kepada: Mosintuwu Award – Penjaga Bahasa : Abdurrahman Balie . Menulis kamus bahasa Pamona – Indonesia dengan menggunakan buku catatan besar di pondok kecilnya tanpa dialiri listrik. Diusia tuanya, masih aktif berkeliling jalan kaki atau naik ojek mengkampanyekan penggunaan bahasa Pamona, Poso ; Mosintuwu Award – Penjaga Tradisi Musik : Nardi Banggai . Pencipta lagu daerah, aktif mengkampanyekan, mengajar, membuat, menggunakan musik tradisi Poso seperti Tandilo, Padengko ndarea , Geso-geso, Toduyo, Di’o , Dunde, Ree-ree, Tosii, Bungo . Bambu, kayu, rotan adalah bahan utama pembuatan alat musik tradisional Poso.
Apresiasi tertinggi atas pengabdian para penjaga kebudayaan Tana Poso ini sekaligus diharapkan bisa mendorong kebijakan strategis pembangunan yang mempertimbangkan tradisi kebudayaan, serta memberikan inspirasi pada generasi muda Tana Poso tentang kekayaan tradisi budaya yang arif dan berakar pada solidaritas manusia dan alam.***
Catatan Redaksi : Tulisan ini telah dimuat pertama kalinya di Roemahkata.com dengan judul Mengenal Sosok Peraih Mosintuwu Award 2022. Dipublikasikan kembali seijin penulis, dengan beberapa penyesuaian yang dibutuhkan.