Kaleidoskop 2022 : Petani dan Peternak dan Nelayan Danau Poso Masih Menuntut Keadilan

0
712
Edi Salawati, petani di desa Meko, kecamatan Pamona Barat menunjukkan sepetak sawah yang terendam ketika merayakan hari Tani di bulan September tahun 2021

Sejak air Danau Poso ditahan oleh bendungan PLTA Poso I di kentinggian 511,7 Mdpl, sejumlah lahan persawahan dan kawasan penggembalaan kerbau dan sapi di desa Tokilo kecamatan Pamona Tenggara masih terendam. Masih banyak petani belum bisa menanam dan ternak mati terus terjadi. Adapun proses ganti rugi sudah dinyatakan selesai.

Di tahun 2022 upaya petani dan peternak di pinggir Danau Poso menuntut keadilan atas terendamnya sawah dan terendamnya lahan gembalaan mereka masih terus berlangsung.

Ternak Mati di Polapa Baula Masih Terus Terjadi, Kepemilikan Kerbau Terpaksa Dibatasi

Menurut keterangan warga desa Tokilo kecamatan Pamona Tenggara, Benhur Bondoke, sepanjang tahun 2022 masih ada sejumlah kerbau warga yang mati. Dugaan penyebab kematian ternak itu karena keracunan rumput yang busuk karena terendam.
Dampak lain tidak surutnya air Danau Poso di padang gembalaan itu adalah, warga harus membatasi kepemilikan ternak mereka untuk menyesuaikan dengan ketersediaan makanan yang semakin menyusut.

Penggembala kerbau di Desa Tokilo Moris Tosadu, menyebut matinya rumput dipadang gembalaan membuat wilayah pakan ternak  makin mengecil.  Rumput tak lagi tumbuh secara merata di seluruh ladang penggembalaan, karena terendam air pada ujicoba pintu air tahun 2019 lalu.

Baca Juga :  Menyusuri Biota Endemik Danau Poso Bersama Anak-Anak Desa Dulumai

Sementara itu, populasi ternak milik warga Desa Tokilo dan Tindoli maupun warga sekitar yang menitip ternaknya di kawasan itu, saat ini jumlahnya sekitar 400 ekor. Jumlah ini dinilai tidak sepadan dengan luas lahan yang ditumbuhi rumput untuk pakan ternak yang tinggal sekitar 100 hektar.

Petani Mengirim Surat Terbuka Kepada Presiden dan Gelar Aksi Cor Kaki Tuntut Keadilan

Untuk menyuarakan persoalan yang dihadapi, pada tanggal 22 Februari 2022 para petani di desa Meko kecamatan Pamona Barat mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk mengadukan terendamnya sawah mereka akibat aktifitas PLTA I milik PT Poso Energi.

Selanjutnya pada hari Selasa 24 Mei 2022, belasan petani dari pinggir Danau Poso bersama puluhan mahasiswa di kota Palu mendatangi kantor Gubernur Sulteng. Tujuannya, mendesak Gubernur menyelesaikan persoalan terendamnya sawah dan kebun mereka akibat pembangunan bendungan PLTA Poso I. Sawah dan kebun itu sudah tidak bisa diolah sejak April 2020.

Dalam aksi itu, 3 orang petani melakukan aksi cor kaki di depan kantor Gubernur. Aksi ini dilakukan sebagai simbol hidup petani di pinggir Danau Poso terbelenggu, tidak bisa bergerak dan terancam akibat pembangunan bendungan PLTA Poso I.

Baca Juga :  The Peace Agency : Perjalanan Membangun Damai Poso

Cor kaki tiga orang petani di depan kantor Gubernur juga simbol tidak berdayanya pemerintah dihadapan korporasi. Sejak tahun 2019, saat sawah dan kebun di pinggir Danau Poso mulai terendam, petani sudah menyampaikan persoalan ini ke pemerintah, mulai dari pemerintah desa, kabupaten dan ke provinsi, selain ke Gubernur juga ke Balai Wilayah Sungai Sulawesi 3 yang punya wewenang mengatur sungai dan Danau Poso. Sejumlah surat pengaduan juga sudah dilayangkan ke kementerian yang terkait dengan lingkungan hingga ke Komnas HAM.

Petani Sawah Belum Seluruhnya Bisa Menanam Kembali

Hingga tahun 2022, masih banyak petani yang belum bisa menanami kembali lahan sawahnya karena genangan air masih cukup tinggi. Salah satu keluarga yang belum bisa menanami seluruh lahan sawahnya adalah Margaretha, petani di desa Meko, kecamatan Pamona Barat. Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, dia bekerja memecah batu tidak jauh dari pinggir sungai Meko.

Sedangkan Made Sadia, petani lainnya mengatakan, dari 3 hektar sawah miliknya, kini tinggal setengahnya yang bisa ditanami.

Baca Juga :  Udang Endemik Danau Poso Terancam

Jumlah Wayamasapi Tersisa Tiga

Hingga bulan November 2022 hanya tersisa 3 Wayamasapi di sepanjang Sungai Poso. Salah satunya milik keluarga Fredi Kalengke. Penyebab berkurangnya Waya Masapi beragam, umumnya karena menerima ganti rugi, beberapa juga karena sudah tidak pernah diperbaiki lagi.

Fredi Kalengke masih bertahan ditengah proses pengerukan yang berlangsung disekeliling Waya Masapi miliknya. Dia bertekad untuk mempertahankan warisan keluarganya itu meskipun banyak tawaran yang datang kepadanya.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda