Apa yang terjadi di Lützeratz menunjukkan hubungan antara penguasa, politik, investor, dan perusahaan swasta, yang menghancurkan kehidupan di bumi, terlepas dari letak geografisnya. Kerusakan ini terjadi di semua tempat – dari desa terkecil di Sulawesi Tengah hingga satu desa di Jerman. Pelaku perusakan tahu bagaimana menggunakan dan mengambil untung dari situasi politik yang tegang, konflik dan perang. Di Kabupaten Poso dan Morowali di Sulawesi Tengah, konflik kekerasan digunakan untuk melegitimasi tindakan militer. Namun sebenarnya mereka memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan investor. Di Lützerath , sebuah desa kecil di Jerman bagian Barat, perang Rusia digunakan untuk melegitimasi penghancuran dan eksploitasi.
Apa yang terjadi di Lützerath juga menunjukkan, bagaimana gerakan perlawanan lahir dengan mengingat dampak dan kekuatan destruktif terhadap kehidupan. Lahir dari gagasan, bahwa desa dan sumber dayanya bukanlah sebuah infrastruktur kosong yang mati dan berdiri sendiri, melainkan sebuah wilayah, desa, komunitas, yang saling berhubungan dengan ekosistem lain di dunia.
Apa yang terjadi di desa Lützerath berhubungan langsung dengan kehidupan di seluruh dunia. Ini berhubungan tidak hanya dalam radius beberapa kilometer di sekitar desa di Jerman. Itu terhubung langsung dengan kehidupan keluarga yang tak terhitung jumlahnya di seluruh penjuru dunia. Demikian juga, apa yang terjadi di desa-desa yang saat ini sedang dieksploitasi di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah.
Kami juga menyadari keterhubungan ini dengan dunia yang lebih luas, ketika kami memulai perlawanan terhadap pembangkit listrik tenaga air di Kabupaten Poso. Kami berpikir bahwa perjuangan untuk kehidupan masyarakat petani, untuk ekosistem sungai dan danau di desa-desa Poso terkait dengan perlindungan kehidupan manusia dari seluruh pelosok negeri, terhubung dengan perlindungan kehidupan di setiap negara lainnya termasuk di Lützerath. Air danau Poso yang dieksploitasi untuk PLTA adalah sebuah ekosistem kehidupan bagi masyarakat di desa-desa sekeliling Danau Poso. Kenyataannya, listrik dari PLTA diperuntukkan untuk mendukung industri ekstraktif, seperti tambang nikel untuk kebutuhan industri dunia.
Dalam melawan hubungan persekongkolan antara penguasa dan investor di wilayah Poso dan Morowali, kami dihadapkan pada serangkaian masalah yang kompleks.
Ini bukan hanya karena wilayah kita memiliki sejarah panjang konflik kekerasan antar komunitas dan karena akses ke informasi yang dapat dipercaya masih terbatas. Kami tidak hanya harus berurusan dengan perusahaan dan penguasa, tetapi kami terutama harus berurusan dengan kerabat kami sendiri, yang direkrut untuk bekerja di perusahaan atau digunakan oleh pemerintah daerah. Yang dihadapi tidak langsung para penguasa dan pemodal tetapi kami dipaksa berhadapan dengan saudara kami sendiri yang direkrut menjadi tenaga kerja di perusahaan, kami berhadapan dengan gereja, berhadapan dengan tokoh adat. Itu karena kesadaran kritis tentang dampak lingkungan masih sangat rendah, sementara patriaki, feodalisme dan patronisme masih sangat kuat.
Dalam kesadaran atas konteks yang sangat kompleks dan berlapis, kami melawan rencana jahat merusak kehidupan yang berkelanjutan. Dalam kelompok – kelompok kecil yang diorganisir dari satu desa ke desa yang lain, kami terus menunjukkan perlawanan dengan berbagai cara. Melalui musik, pameran, pemutaran film, melalui teater, pameran, aksi demonstrasi, memblokir jalan, berjalan kaki, cor kaki, mogok makan, dengar pendapat dengan anggota dewan, melakukan lobi dari tingkat daerah hingga provinsi dan nasional, menggunakan Peraturan daerah hingga UU , melalui jalur hukum , dengan anak muda, anak-anak, orang tua, perempuan hingga para tetua adat dan tokoh agama juga peneliti dan akademisi.
Bergerilya.
Kami sadar bahwa perjuangan kami membutuhkan banyak ketekunan. Karena itulah Pakaroso atau saling menguatkan bagi kita adalah semangat kegigihan dalam perjuangan yang kita pimpin. Pada satu titik, kami menyadari bahwa perjuangan melawan kejahatan ini bukan lagi soal menang atau kalah tapi soal martabat kehidupan seluruh mahluk hidup.
Itulah mengapa kami mengirimkan semangat dan solidaritas kami dari tepi Danau Poso untuk semua perjuangan yang sedang berlangsung di Lützerath.
Pakaroso!
* * * * *
Keterangan Redaksi :
Surat ini dikirimkan kepada para aktivis di Lützerath, melalui media online berbahasa Jerman di Medico.de
Lützerath , di wilayah Rhineland Jerman, akan menjadi desa terakhir yang hilang akibat penambangan batu bara sejak awal industri lignit pada pertengahan abad ke-19. Petani terakhir, Eckardt Heukamp, menjual lahannya ke konglomerat pertambangan Jerman RWE dan pindah beberapa minggu lalu.
Saat ini lebih dari 1.000 aktivis yang menetap di desa ini bertujuan untuk mencegah penghancuran desa tersebut. Mereka telah mendirikan benteng selama dua tahun terakhir. Beberapa tinggal di rumah kosong tetapi juga membangun banyak rumah pohon dan kemah di padang rumput sapi tua Heukamp. Ada kontroversi tentang apakah desa tersebut masih bisa ditambang, dengan studi tahun 2021 oleh German Institute for Economic Research yang menunjukkan bahwa perluasan tambang tidak sesuai dengan komitmen iklim Jerman berdasarkan perjanjian Paris 2015. Studi tersebut menyoroti kebutuhan untuk mengurangi produksi batu bara, yang berarti semua desa yang tersisa di sekitar tambang terbuka Garzweiler dapat dipertahankan, termasuk Lützerath. ( diambil dari : dw.com )