Burung–Burung di Danau Poso : Menjaga Ekosistem, Mengenalkan Kita dengan Arogo

0
1925
Sepasang burung Julang / Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) di Taman Wisata Alam Bancea. Foto : Ray Rare’a.

“Jika kita memperhatikan soal burung, kita mengatasi sebagian besar masalah dunia”(Thomas Lovejoy/pakar biologi dan konservasi)

Danau Poso bukan hanya tentang pantainya yang indah dipandang mata sehingga menarik para pelancong untuk datang berenang di airnya yang jernih. Letak geografisnya yang tepat di jantung Wallacea membuatnya juga surga para Nukila, para pengamat burung.

Dengan posisinya yang masih dikelilingi hutan lebat, terutama di dalam kawasan cagar Alam Pamona, jika disusuri terus kearah barat akan bersambungan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Di sini beragam jenis burung berseliweran di atas kepala. Beragam siulan hingga teriakan parau burung endemik Sulawesi akan mampir ke telinga.

Di tepi sebelah barat Danau Poso ada Taman Wisata Alam Bancea dibawah wilayah Kelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah), di sini kita dapat melihat dan mengamati perilaku Rangkong (Rhyticeros cassidix) si raja langit rimba Asia Tenggara, burung endemik Sulawesi ini memiliki bentang sayap hingga 2 meter. Datanglah pada musim berbuahnya pohon beringin, jika beruntung kita akan lihat sedikitnya ada 40 sampai 60 pasang Rangkong Sulawesi yang mencari makan sekitar jam 12.00 – 13.30 Wita.

Bukan hanya Rangkong Sulawesi saja yang ada di sini.

Siapkan lensa terbaikmu, sebab kita juga bisa memotret Panangku (Dendrocyigna arcuata) sejenis bebek telaga pemakan cacing, ikan dan udang. Ada juga burung Tengko (Alcedo atthis) pemakan udang dan ikan. Lalu burung Kando (Ardea purpurea) pemakan ikan, Kapasan Sayap Putih (Lalage sueurii) pemakan biji-bijian, burung Kirik-Kirik Laut (Merops philiphinus) pemakan serangga, burung Gunting (Hirundo tahitica) pemakan serangga, burung Pinci (Loriculus stigmatus) pemakan buah-buahan, burung Dena (Lonchura atricapilla) pemakan biji, burung Cabai Panggul Kuning (Dicaeum aureolimbatum) dan masih banyak lagi spesies burung yang belum terdokumentasi.

Baca Juga :  Kartini-Kartini di Poso : Refleksi dan Komitment

Cabai Panggul Kuning (Dicaeum aureolimbatum) adalah satu spesies endemik Sulawesi yang menarik dari Famili Dicaeidae.  Dia sangat berperan dalam penyebaran biji Arogo (Premna foetida). Bagi masyarakat suku Pamona yang mendiami wilayah sekitar Danau Poso, pohon ini jadi tanaman penting yang wajib ada di halaman rumah, karena daunnya jadi rempah khas untuk memasak daging atau ikan, juga dipercaya dapat menurunkan kolesterol.

Burung Cabai Panggul Kuning (Dicaeum aureolimbatum) merupakan spesies burung endemik Sulawesi berperan dalam penyebaran biji tumbuhan Arogo (Premna foetida). Foto : Kurniawan Bandjolu

Secara tidak langsung bisa dikatakan, burung cantik dan centil ini membentuk pola makan masyarakat yang mendiami wilayah sekitar Danau Poso. Bila saja tidak ada si Cabai Panggul Kuning, mungkin kita tidak mengenal sup lezat Onco-Arogo.

Tidak hanya keindahan paras dan kicauannya, burung juga memiliki peran penting di alam antara lain sebagai penyerbuk tumbuhan, menyebarkan biji, menjadi mangsa bagi predator mamalia. Burung Hantu (Strigiformes) yang juga banyak ditemukan disekitar Danau Poso misalnya berperan sebagai predator tikus di malam hari. Jika spesies ini terancam, petani sawah juga mengalami problem yang semakin besar menghadapi serangan hama satu itu.

Di kabupaten Poso, ada dua lokasi pengamatan burung terbaik. Pertama di Desa Bomba Kecamatan Lore Selatan yang dikelola UPT. KPH Sintuwu Maroso, kedua di Rano Kalimpa’a Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara yang dikelola BTNLL.  Lokasi kedua menjadi tempat favorit para pengamat burung. Selain fasilitas yang lebih lengkap, letak geografisnya mudah dijangkau dari kota Palu.

Baca Juga :  Desaku, Ibuku. Yang Kaya dan Hampir Hilang

Adapun di Desa Bomba, masih belum begitu familiar, terutama untuk wisatawan yang hanya memotret dan kemping. Selain fasilitasnya yang masih minim, letak cukup jauh dari kota Palu. Tempat ini juga minim sosialisasi. Namun juga mungkin jadsi kekuatannya sendiri, sebab heningnya justru membuat burung-burung nyaman bertengger lebih lama.

Ancaman Kepunahan : Kerusakan Lingkungan dan Perburuan

Jonathan Franzen, pencinta burung yang juga penulis Amerika menulis, burung hanya memiliki naluri dan kemampuan fisik warisan sejak 135 juta tahun lalu, namun tidak punya kemampuan seperti manusia yang bisa menguasai lingkungan. Sayangnya manusia mengubah iklim dan samudera planet kita ini dengan sangat cepat sehingga burung tidak mampu mengikuti proses evolusinya.

Populasi burung menurutnya bermanfaat mengukur kesehatan nilai etika kita. Salah satu alasan burung liar itu penting adalah mahluk ini menjadi penghubung terakhir dan terbaik kita dengan dunia alami yang terancam kita tinggalkan. Burung bisa jadi indikator apakah  rawa kita dan perikanan kita masih baik atau sudah hancur. Itu sebab, mendiang Thomas  Lovejoy berkata, “Jika kita memperhatikan soal burung, kita mengatasi sebagian besar masalah dunia”.

Sepasang burung madu Sriganti (Nectarinia jugularis) sedang hinggap pada tumbuhan pakis yang ada di tepi Danau Poso. Foto : Kurniawan Bandjolu

Sayangnya, kesadaran dan pengetahuan pentingnya burung di lingkungan kita masih rendah. Perburuan liar merajalela. Tengoklah di pasar bahkan bukan pasar burung, orang banyak menangkap dan menjualnya demi menyenangkan telinga kolektor. Hal lain yang penting kita lihat sebagai satu hal penyebab turunnya populasi burung di Danau Poso adalah kerusakan hutan di wilayah Daerah Tangkapan Air Danau Poso. Kerusakan ini menjadi ancaman bagi kelestarian burung yang hidup di wilayah tersebut selain perburuan liar untuk konsumsi maupun dijual sebagai koleksi. Cek saja di marketplace online seperti Facebook.

Baca Juga :  Berteologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

Beberapa burung endemik Sulawesi yang ada di kawasan Danau Poso sebenarnya telah memiliki status perlindungan hukum melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta diberikan kepada orang yang dengan sengaja melakukan kejahatan berupa:

a.      Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b.      Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c.      Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d.      Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e.      Dan mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Burung endemik Sulawesi Scissirostrum dubium hidup berkoloni pada pohon kering yang mereka lubangi . Foto: Kurniawan Bandjolu.

Ancaman sanksi pidana ini tentu saja punya alasan. Diantaranya untuk memastikan agar burung-burung dilindungi secara hukum , dipastikan keberadaannya tidak punah. Kepastian ini jika ditilik punya alasan sangat mendasar . Yaitu, karena burung-burunglah , manusia dan ekosistemnya terus terjaga. Juga, karena burung-burung ikut menciptakan kebudayaan kuliner kita, Arogo Onco. Pada burung-burung, kita berterimakasih. Caranya dengan menjaga dan memastikan keberlanjutannya.

Penulis : Kurniawan Bandjolu

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda