“Anak-anak selalu mengingatkan kita pada wajah kemanusiaan dari keberagaman”
Melalui daring, puluhan anak-anak dari 5 organisasi yang tersebar dari Ambon, Jogja, Jember, Poso, dan Pontianak riuh rendah menyanyikan lagu “Dari Sabang sampai Merauke”. Lagu ini menyambut hadirnya sebuah komunitas berjejaring bernama GNRC Indonesia yang diluncurkan hari Rabu, 29 Maret 2023. Di Ambon, anak-anak memainkan Ukulele , di Jember pukulan khas gendang dimainkan oleh anak-anak, sementara di Jogja, Jember dan Kalimantan semua bersemangat menyanyikan lagu yang menggambarkan keberagaman dan kesatuan sebagai Indonesia.
GNRC adalah kependekan dari Global Network of Religion for Children, sebuah jaringan organisasi dan individu lintas agama global yang didedikasikan untuk mengamankan hak dan kesejahteraan anak di mana pun. Anggota GNRC adalah sukarelawan dan berasal dari semua agama besar dunia dan banyak tradisi spiritual lainnya. Anggota GNRC berkomitmen untuk menciptakan dunia di mana setiap anak perempuan dan laki-laki dapat tumbuh dengan aman dan sehat. Organisasi ini diresmikan pada Mei 2000 oleh mendiang Pdt. Takeyasu Miyamoto, Presiden Arigatou International saat itu. Setiap empat atau lima tahun sejak itu, forum global GNRC telah mengumpulkan anggota GNRC, pemimpin agama dan masyarakat sipil, serta anak-anak dan remaja untuk memajukan kerja jaringan.
Indonesia secara resmi menjadi bagian dari GNRC Network dalam peluncuran ini, meskipun telah bekerja bersama dengan GNRC Network sejak 2013. Lian Gogali, ditunjuk menjadi koordinator GNRC Indonesia. Ke lima organisasi, komunitas yang bergabung di GNRC Indonesia adalah Institut Mosintuwu, dari Poso, Sulawesi Tengah, Yayasan Pohon Sagoe dari Ambon , Sekolah Cerlang dari Kalimantan, Komunitas Cerita Perdamaian dari Yogyakarta dan Tanoker Ledokombo dari Jember. Empat organisasi lainnya bergabung setelah bersama-sama mengikuti kegiatan Lingkar Belajar Anak Indonesia sejak tahun 2020.
Dalam sambutannya, Lian menyebutkan GNRC Indonesia bertujuan mengajak dan memperkuat kesadaran pada anak-anak untuk menghargai perbedaan dan keberagaman yang belakangan mulai mengalami tantangan di banyak tempat di Indonesia. Dilibatkannya berbagai organisasi dan komunitas di Indonesia bertujuan untuk saling bersolidaritas, saling menguatkan dan memperkaya kerja-kerja bersama anak-anak sehingga gerakan interfaith dimulai dari anak-anak bisa mengambil ruang kosong pendidikan toleransi sejak dini.
Mengapa membiasakan keberagaman mulai kanak-kanak saat ini sudah menjadi sangat penting dilakukan?
Mari kita lihat hasil survey Indeks kerukunan Umat Beragama di Indonesia tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama. Survey ini menyimpulkan, indeks kerukunan umat beragama (KUB) di Indonesia masih tinggi. Angkanya ada di 70,90 poin di rentang 0-100.
Namun, bila dibandingkan tahun 2016, hasil ini mengalami penurunan 4,20 poin. Hasil survey tahun 2016 menunjukkan angka KUB mencapai 75,47 poin. Ini menunjukkan angka intoleransi naik setiap tahunnya.
Dalam survey ini juga, kita bisa lihat penerimaan masyarakat terhadap pembangunan rumah ibadah penganut agama lain misalnya, mengalami penurunan. Terbaru, Survey Litbang Kompassurvey litbang kompas pada 8-10 November 2022 tentang Persepsi Publik Terhadap Toleransi di Indonesia menunjukkan ada 62,2 persen responden menilai Indonesia cukup toleran. Sementara 18,7 persen menyatakan tidak toleran .
Sikap intoleransi yang kemudian berujung pada radikalisme terpapar dalam survey yang dilakukan Wahid Foundation tahun 2016. Mereka juga menemukan hal yang mengkhawatirkan di soal toleransi. Survey berjudul Potensi Intoleransi Dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia, mereka menemukan 72 persen warga muslim Indonesia menolak tindakan radikal. Hanya 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan. Sekilas, angka 7,7 persen itu kecil. Tapi bila diproyeksikan pada tahun 2016 ada 150 juta warga Indonesia beragama Islam, maka 7,7 persen itu setara dengan 11 juta orang. Selain itu ada 2,53 persen yang menjawab tidak setuju dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Situasi sosial politik hari-hari belakangan ini membuat inisiatif mengenalkan anak-anak pada isu-isu toleransi menjadi sangat penting untuk merawat Indonesia yang berbhineka. Harapan Indonesia yang menghargai keragaman bisa didengarkan dalam peluncuran GNRC Indonesia hari Rabu 30 Maret 2023.
Karena itu, suara anak-anak tentang bagaimana mereka memaknai keberagaman menjadi sangat penting. Anak-anak komunitas Cerlang kota Pontianak membacakan puisinya.
Kami Anak-Anak Indonesia. Di Ambon, Di Poso, Di Jember, Di Jogja dan Di Pontianak.
Kami Anak Indonesia, berbeda suku dan budaya, berbeda agama dan kepercayaan, kami hargai dan hormati.
Kami anak Indonesia. Bersatu dalam perbedaan. Berteman dalam keberagaman. Bersahabat dalam kasih.
Kami anak Indonesia.Bergandengan tangan menjaga persahabatan. Merayakan perbedaan.
Puisi ini sebenarnya menggambarkan juga hasil survey bahwa anak-anak jauh lebih toleran ketimbang mereka yang berusia 40 tahun keatas. Beberapa survey ini menjadi harapan tumbuhnya kembali toleransi antar umat beragama dimasa mendatang.
Di Desa Sumberlesung kecamatan Ledokombo, kabupaten Jember, Jawa Timur ada Vita dam Berto yang menceritakan keragaman suku, agama di desanya. “Ada Budaya Pandhalungan, percampuran budaya madura dan jawa, mengajarkan untuk menyayangi sesama”kata Vita.
Di Jogja ada Kaila, kelas 2 SD, menceritakan di sekolahnya dia punya teman berbeda agama. Ada Kristen dan Katolik. Dia tidak masalah bermain dengan teman-temannya yang berbeda agama.
Di Pontianak ada Maisya, murid kelas 4 SD. Dia bercerita bagaimana saat berkunjung ke rumah temannya yang merayakan hari raya Imlek. “Saya makan kue dan mendapatkan angpao disana”katanya. Bergaul dengan yang berbeda membuat Maisya dan teman-temannya juga tidak saling membuli. “Kami tidak saling membully dan itu asik” katanya.
Dari Poso ada Jeremy Given Bawias (11) menceritakan, meskipun di Tentena tempat tinggalnya mayoritas beragam Kristen, namun ada temannya yang beragama Islam. “Saya senang berteman dengan mereka. Lebih ramai dan asik”katanya. Keberagaman itu mewmbuat Given merasa bisa belajar hidup berdampingan.
Di Ambon, Reno, murid kelas 4 SD Ukurila memandang semboyan mereka “Katong Samua Basudara”,masih mereka pegang untuk melestarikan keberagaman di daerah yang pernah dilanda konflik sosial bernuansa agama itu.
Dr. Mustafa Ali, direktur GNRC Network menyebutkan kekagumannya atas kehadiran dan keterlibatan anak-anak dalam peluncuran GNRC Indonesia. Katanya :
“Anak-anak selalu mengingatkan kita pada wajah kemanusiaan dari keberagaman. Saya sangat senang melihat wajah anak-anak yang sangat bahagia di sini. Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan keberagaman agama dan budaya. Kami sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh komunitas dan organisasi di Indonesia yang sangat praktikal dalam merespon keberagaman agama, kepercayaan dan kebudayaan. Kami berharap GNRC Indonesia terus menerus akan mengembangkan kerjasama interfaith bersama anak-anak”
Ruwaidah dari Komunitas Cerita Perdamaian Yogyakarta dalam refleksinya menyebutkan bahwa pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh berbagai organisasi dan komunitas yang bergabung GNRC Indonesia menjadi sebuah ruang istimewa bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dalam keberagaman .
“Kami sangat yakin, bahwa apa yang dilakukan oleh GNRC Indonesia punya kontribusi yang berarti bagi gerakan interfaith di Indonesia “