“Kesan bahwa bahasa daerah tidak berguna di luar kampung perlu dihilangkan segera dengan meyakinkan bahwa bahasa itu bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan juga identitas diri dan identitas itu sangat diperlukan dalam pergaulan nasional dan global”( Muhamad Darwis/Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin )
Tiga bahasa daerah di Kabupaten Poso terancam punah. Status bahasa Pamona yang paling banyak jumlah penuturnya di kabupaten Poso adalah mengalami kemunduran. Bahasa Bada, Behoa terancam punah. Meski belum ada catatan tentang bahasa Napu, namun kita bisa menduga nasibnya mirip dengan ketiga bahasa lainnya. Setidaknya begitu statusnya di situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dampak hilangnya bahasa daerah bukan hanya soal berubahnya kata, hilangnya identitas dan kelangsungan hidup sebuah komunitas.
Pamona menjadi suku terbesar di kabupaten Poso, tersebar dari kecamatan Poso Kota, Lage dan Poso Pesisir di sebelah utara hingga ke desa Mayoa di kecamatan Pamona Selatan dan Matialemba di kecamatan Pamona Timur. Berdasarkan data badan bahasa Kemendikbud RI, Bahasa Pamona dikategorikan ‘mengalami kemunduran’. Lihat Bahasa Pamona alami kemunduran
Penutur Bahasa Bada membentang dari desa Maholo kecamatan Lore Timur, seluruh desa di kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan, sebagian masyarakat desa Lemusa kecamatan Parigi Selatan hingga ke kecamatan Ampibabo kabupaten Parigi Moutong.Secara kuantitatif bahasa Bada terdiri atas dua dialek, dialek Napu dan dialek Bada Tiara. Dialek Napu dituturkan di Desa Maholo, Kecamatan Lore Timur dan Desa Badangkaia, Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso. Berdasarkan data badan Bahasa kemendeikbud.go.id status Bahasa Bada dalam kategori terancam punah .
Behoa adalah suku yang ada diantara Napu dan Bada. Terletak ditengah dataran Lore yang dikelilingi 2 simbol penting. Taman Nasional Lore Lindu dan kompleks peninggalan megalith. Secara administrative wilayah Besoa masuk dalam kecamatan Lore Lore Tengah kabupaten Poso. Letaknya yang berada ditengah dari dua penutur Bahasa yang berbeda membuat wilayah ini terus mengalami percampuran Bahasa. Ada 8 desa yang masuk dalam wilayah Lore Tengah dan penduduknya mayoritas berbahasa Behoa yakni desa Hanggira, Doda, Barire, Lempe, Rompo, Bariri, Baliura dan Katu. Data badan Bahasa kemendikbud.go.id menempatkan Bahasa Behoa dalam kategori terancam punah.
Selain bahasa Bada, Pamona dan Behoa, di kabupaten Poso ada pula bahasa Napu dan Sedoa. Badan Bahasa kemendikbud.go.id menempatkan Bahasa Sedoa sebagai bagian dari Bahasa Bada. Namun, menurut buku struktur Bahasa Napu terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bahasa Sedoa berdiri sendiri. Lihat di struktur bahasa Napu
Bahasa Napu atau Pekurehua dituturkan oleh masyarakat desa Wuasa di sebelah utara hingga ke desa Watumaeta disebelah selatan yang berbatasan dengan kecamatan Lore Tengah yang menjadi tempat penutur Bahasa Behoa.
Ahmad Garantjang, penulis buku Struktur Bahasa Napu, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1989 mengatakan, bahasa Napu dituturkan oleh penduduk 9 desa yakni ; Wuasa, Watumaeta, Alitupu, Winiwanga, Maholo, Tamadue, Tatatu, Wanga, Kadua’ dan penduduk desa Pinedapa di kecamatan Poso Pesisir.
Belum ada catatan mengenai kondisi penuturan Bahasa Napu. Namun melihat komposisi penduduk di wilayah itu yang kini mengalami percampuran berbagai suku, kita bisa menduga kondisi bahasanya juga sama rentannya dengan 3 bahasa lainnya yang kini dalam keadaan rentan.
“Kalau bahasa kita hilang, maka suku Pamona ini juga akan hilang”kata Cristian Bontinge dengan getir. Ketua Dewan Adat Kelurahan Pamona ini selalu menyempatkan diri membicarakannya disetiap kesempatan. Saat pertemuan dengan 101 orang tetua adat di Desa Peura hari Kamis 8 Juni 2023 lalu, dia kembali mengingatkan soal ini.
Menurut Cristian Bontinge, hilangnya bahasa berarti hilangnya suku Pamona. Dia bercerita tentang perjalanan riset dengan dosennya ke sejumlah desa di kabupaten Poso tahun 1976. Salah satu kesimpulan dia adalah”Suku Pamona ini akan hilang karena orang-orangnya sudah mulai meninggalkan bahasanya”.
Ikatan orang Poso dengan alam dan bahasanya pernah begitu kuat. Itu sebab, sampai hari ini kita masih menemukan nama-nama orang atau marga menggunakan tumbuhan atau ikan. Namun perkembangan zaman mengubahnya
Kegelisahan Akan Hilangnya Petubunaka
Hajai Ancura, ketua Dewan Adat Kelurahan Sawidago kecamatan Pamona Utara menyebut, perlahan-lahan bahasa Pamona hilang dari percakapan sehari-hari penuturnya. Menurutnya, jika penutur bahasa Pamona berkurang, budaya Petubunaka(saling menghargai dan menghormati) turut lenyap dari pergaulan hidup sehari-hari.
“Ada yang hilang di kita misalnya, orang Pamona punya bahasa untuk saling menghormati karena tidak diajarkan lagi kepada anak-anak”. Hajai mencontohkan yang sederhana, menyapa orang yang lebih tua dan dihormati dengan kata Sira atau Komi. Dua sapaan ini sudah jarang sekali terdengar di telinga bahkan saat kita ada di kampung yang ada di pinggir Danau Poso.
Hilangnya bahasa Petubunaka (penghormatan) dalam hidup sehari-hari pada akhirnya menggerus kebudayaan orang Pamona dan seperti yang dikhawatirkan Cristian Bontinge, pada akhirnya akan menghilangkan identitasnya.
Usaha mengembalikan posisi bahasa Pamona dalam percakapan sehari-hari dalam keluarga diakui oleh para Pomatua Ada memang berat, salah satunya disebabkan percampuran bahasa, mulai dari bahasa Indonesia, maupun bahasa lain seperti Minahasa termasuk bahasa Inggris.
“Sebelum mengatakan keluar tentang apa yang kita diskusikan disini, yang paling penting dilakukan adalah memulai dari diri sendiri dan didalam keluarga”kata B. Modjanggo, tetua adat dari desa Meko kecamatan Pamona Barat, mengenai usaha menjadikan bahasa Pamona sebagai bahasa percakapan di tengah komunitas. Dia mengakui, ini tidak mudah ditengah semburan informasi dari internet yang dengan cepat mempengaruhi kebudayaan termasuk dalam bahasa.
Hal ini juga sudah disampaikan Sumanto Al Qurtubi, dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi dalam sebuah artikelnya di laman dw.com berjudul Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah di Indonesia. Menurut Sumanto, globlisasi yang didorong internet bikin semakin banyak anak muda menggunakan bahasa Inggris supaya terlihat lebih keren dan terdidik, atau bahasa Arab agar terlihat lebih dekat dengan surga bagi yang beragama islam.
Senada dengan Al Qurtubi, analisis Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud menemukan kurangnya percakapan menggunakan bahasa daerah oleh orang tua kepada anaknya menjadi satu faktor hilangnya bahasa daerah. Apalagi masyarakat yang tinggal di perkotaan yang semakin tidak bangga dengan bahasa daerahnya, dan justru lebih bangga berbahasa Indonesia campur asing hanya supaya terkesan modern dan terdidik.
Situasi ini sebenarnya tidak lepas dari kondisi politik yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dengan kebudayaan yang paling tinggi, punya prestise sehingga kita terdorong menggunakannya dan meninggalkan bahasa daerah.
Menghadapi situasi ini, Muhamad Darwis, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanudin mengatakan, perlu upaya keras mendorong keluarga menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama bagi anak-anak. Menggali ungkapan-ungkapan bahasa daerah sebagai menjadi nama gedung hingga fasilitas modern yang ada. Selanjutnya, melembagakan nilai budaya dalam ungkapan dan pepatah serta seni budaya tradisional.
Muhamad Darwis juga menyebutkan pentingnya gerakan pembudayaan diri dalam nilai-nilai budaya yang menjadikan generasi muda tetap memiliki identitas karakter sesuai sukunya, misalnya orang Pamona. Apa yang disampaikannya seturut dengan semangat Mombetirinai yang digagas para Pomatua Ada di Desa Peura, yakni kebanggaan menggunakan bahasa daerahnya sendiri, seperti orang Jepang dan Korea yang bangga dengan bahasanya sendiri sehingga punya kehormatan di dunia internasional.
“Kesan bahwa bahasa daerah tidak berguna di luar kampung perlu dihilangkan segera dengan meyakinkan bahwa bahasa itu bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan juga identitas diri dan identitas itu sangat diperlukan dalam pergaulan nasional dan global”tulis Muhamad Darwis dalam paper Nasib Bahasa Daerah Di tengah Globalisasi; Peluang dan Tantangan.
Menurutnya, orang-orang yang maju yang adalah orang-orang yang mempunyai karakter budaya dan sosial. Sebaliknya, orang-orang yang kehilangan identitas karakter, akan terombang-ambing di dalam ketidakmenetuan tatanan nilai globalisasi.
“Berbahasa daerah itu bukan hanya menjaga identitas. Tapi juga menjaga daerah kita, tanah kita, alam kita untuk anak cucu supaya tidak mudah dirusak oleh berbagai kepentingan ekonomi atau investasi dengan alasan macam-macam”kata Cristian Bontinge mengingatkan besarnya pengaruh bahasa dalam menjaga alam yang terjaga untuk generasi berikutnya.
Salah satu hal paling dirasakan dalam percakapan sehari-hari adalah penyebutan kata ganti orang ketiga yang mulai berubah. Dari ngkai yang artinya kakek, tu’a yang artinya nenek sudah berganti menjadi oma atau opa. Namun demikian, masih ada desa yang hingga sekarang masih menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Desa Dulumai dan Peura di kecamatan Pamona Puselemba adalah salah satu contohnya. Setiap keluarga di desa ini masih aktif melakukan percakapan sehari-hari dalam bahasa Pamona . Penyebutan kata ganti orang ketiga masih sesuai dengan tata krama dalam berbahasa, misalnya penyebutan komi, sira, kepada mereka yang lebih tua atau dituakan.
Dengan perkembangan sosial media yang ada banyak anak-anak sekarang sudah tidak bisa lagi mengenal bahasa ibu,bahkan berbicara dengan orang yang lebih tua dari mereka seakan-akan hanya sebagai sahabat atau teman.Beberapa kali saya temui anak-anak sekarang ketika berbicara dengan orang tuanya atau kakak,atau juga orang yang lebih tua mereka menyebutkan bahasa “Ngana-ngana” atau “kau-kau’ sedangkan itu orang tuanya atau kakaknya atau orang yang lebih tua dari mereka.Sekarang bagaimana kita kembalikan kesopanan dalam berbicara itu dengan orang yang lebih Tua dari kita di mulai dari lingkungan di mana kita tinggal,kalau orang tua cuek pasti anaknya akan terus berkembang dengan gaya berbicaranya sendiri.
Bahasa Ibu harus tetap di lestarikan dan di kembangkan,pada tahun 2008 dan 2009 pada saat bapak Bupati Piet Ingkiriwang menjabat,kami sebagai anak-anak baik di daerah-daerah di wajibkan berbicarah dalam bahasa daerah masing-masing.Saya berharap di era sekarang anak-anak kita terus di ajarkan bahasa daerah masing-masing agar tidak punah di perkembangan Jaman.
Dengan perkembangan sosial media yang ada banyak anak-anak sekarang sudah tidak bisa lagi mengenal bahasa ibu,bahkan berbicara dengan orang yang lebih tua dari mereka seakan-akan hanya sebagai sahabat atau teman.Beberapa kali saya temui anak-anak sekarang ketika berbicara dengan orang tuanya atau kakak,atau juga orang yang lebih tua mereka menyebutkan bahasa “Ngana-ngana” atau “kau-kau’ sedangkan itu orang tuanya atau kakaknya atau orang yang lebih tua dari mereka.Sekarang bagaimana kita kembalikan kesopanan dalam berbicara itu dengan orang yang lebih Tua dari kita di mulai dari lingkungan di mana kita tinggal,kalau orang tua cuek pasti anaknya akan terus berkembang dengan gaya berbicara nya sendiri.
Bahasa Ibu harus tetap di lestarikan dan di kembangkan,pada tahun 2008 dan 2009 pada saat bapak Bupati Piet Ingkiriwang menjabat,kami sebagai anak-anak baik di daerah-daerah di wajibkan berbicara dalam bahasa daerah masing-masing.Saya berharap di era sekarang anak-anak kita terus di ajarkan bahasa daerah masing-masing agar tidak punah di perkembangan Jaman.