Merasakan Hidup Saling Percaya di Jelajah Kebudayaan Laut Tokorondo

0
1008
Puluhan anak muda lintas agama dan suku dari 40 desa di Kabupaten Poso mengikuti jelajah budaya di Desa Tokorondo, salah satunya menjelajahi budaya rumput laut. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

Tokorondo  adalah desa yang unik. Diapit Desa Weralulu di pegunungan Pompangeo yang subur di sisi barat dan Teluk Tomini di timur, membuat warga desa ini punya pilihan pekerjaan. Jadi nelayan dan petani. Bisa juga keduanya.  Di perbukitan yang luas dan subur itu, ratusan hektarnya sudah ditanami Kakao sebelum konflik mendera desa itu tahun 2000-2003 silam. Setelah konflik, luas yang ditanami bertambah, itu sebab Tokorondo juga dikenal sebagai penghasil kakao.

Sedangkan di bawah, pantainya yang terlindungi hutan bakau di sebelah selatan membuat desa terlindung dari hempasan ombak yang besar. Dasarnya berupa pasir kasar dan pecahan karang-karang kecil memungkinkan warga membudidayakan rumput laut. Ini satu-satunya tempat di Kabupaten Poso yang bisa dijadikan lokasi budidaya tanaman jenis Alga ini.

Bertani rumput laut kini menjadi satu kekayaan budaya masyarakat Desa Tokorondo. Memperkuat kebudayaan laut dan meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian alam sekitarnya. Mempercayai orang lain apapun agama dan profesinya juga menjadi sangat penting bagi para petani dan nelayan, sebab mereka sadar, apapun yang mereka kerjakan membutuhkan orang lain. Perpaduan pekerjaan sebagai petani kakao dan rumput laut serta nelayan juga membuat warga punya banyak pilihan pekerjaan jika memilih bertahan tinggal di desa.

Hari Sabtu 26 Agustus 2023 masih pagi sekali, di pantai lebih ramai dari biasanya. Suara nelayan yang baru pulang setelah melaut semalaman bertegur sapa dan memberi informasi kepada nelayan yang baru akan pergi memancing mewarnai percakapan di sela perahu. Sementara 40 anak muda memperhatikan percakapan itu sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke tempat  rumput laut.

“Bagaimana hasilnya hari ini pak?” Bella, seorang diantara anak muda itu bertanya dan dijawab ramah yang diiringi tawa oleh seorang nelayan,

”Lumayanlah hari ini. Nanti hati-hati kalau kesana”kata si bapak sambil menunjuk kelokasi rumput laut yang berjarak sekitar 300 meter dari pantai Tokorondo. Rupanya pak nelayan itu mengetahui rombongan anak muda ini adalah peserta Jelajah Budaya.

Puluhan anak muda lintas agama dan suku dari 40 desa di Kabupaten Poso mengikuti jelajah budaya di Desa Tokorondo, salah satunya menjelajahi budaya rumput laut. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

Rombongan anak muda dengan perlengkapan mulai dari topi hingga air minum ini menunggu pak Sumardi Tadjudin(44) petani yang akan menemani dan menjelaskan bagaimana proses mempersiapkan rumput laut mulai dari pembibitan hingga penanaman dan panen. Tinggal di desa dan menjadi petani rumput laut dipilih Sumardi, warga dusun 2 RT 4 ini bersama puluhan keluarga Tokorondo lainnya. Dia tidak segan berbagi pengetahuan dengan anak-anak muda yang bertanya A sampai Z soal rumput laut. Dia sudah menggeluti rumput laut selama belasan tahun.

Baca Juga :  Masalah Air di Sumber Air Poso

Keramahan terasa dari Sumardi meski sejak pagi hingga siang yang menyengat harus menjelaskan dan bertanya segala hal mengenai proses budidaya rumput laut kepada anak-anak muda yang datang khusus untuk melihat dari dekat prosesnya. Rautnya tetap hangat meski sinar matahari mencapai 32 derajat ketika menjelaskan beberapa kata kunci penting mulai dari  pemilihan bibit, cara mengikatnya ke tali dan bagaimana membentangkannya di laut.

Cara Sumardi berbagi pengetahuan kepada orang yang belum begitu dikenalnya membuat Marchelyna Dwi Eunike Pamona (23), dari Desa Peura Kecamatan Pamona Puselemba itu terkesan. Bayangan dia tentang cerita mengenai orang-orang Tokorondo yang menakutkan saat konflik menghilang.

Selain bisa melihat langsung proses budidaya rumput laut yang selama ini hanya diketahuinya dari berbagai jenis makanan, dia bisa merasakan para petani itu menerima mereka yang datang belajar sebagai saudara.

” Saya bersyukur bisa ikut kegiatan ini, melihat langsung dan belajar banyak tentang rumput laut” ujar Marchelyna.

Memancing, Menangkap Ikan Tradisional

Hal sama dikatakan Kristina yang baru pertama kali merasakan naik perahu di laut. Marchelya dan Kristina berasal dari desa di tepian Danau Poso. Sesungguhnya mereka tidak hanya sedang belajar tentang rumput laut. Mereka secara langsung merasakan kehangatan desa ini. Cerita-cerita tentang Desa Tokorondo yang kerap menakutkan bagi warga Kristen di Poso karena sejarah konflik tiba-tiba lenyap, berganti dengan keceriaan. Dia dan teman-temannya percaya, orang yang mengemudikan perahu, yang membawa mereka ke laut tidak mencelakakan.

Puluhan anak muda lintas agama dan suku dari 40 desa di Kabupaten Poso mengikuti jelajah budaya di Desa Tokorondo, salah satunya bersama nelayan memancing ikan. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

Tidak terlalu jauh dari tempat anak muda menyaksikan penebaran benih rumput laut, puluhan anak muda lainnya sedang di atas perahu mencoba peruntungan seperti nelayan yang puluhan tahun telah terbiasa memancing.  Theo, 25 tahun , dari Desa Bulili Lore Selatan, baru pertama kali memancing di laut. Rasanya berbeda, ujarnya, apalagi di Tokorondo yang selama ini tidak pernah dibayangkannya bisa ditinggali olehnya yang beragama Kristen.

“Saya senang pada saat ini bisa bersama dengan teman-teman pemuda desa Tokorondo melakukan kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari, mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian mereka setiap hari untuk memenuhi segala kebutuhan” ujar Theo.

Meskipun sempat takut karena merasakan ombak besar, Eklin, anak muda dari Kelurahan Pamona berkomentar betapa beruntungnya menjadi orang Tokorondo.

“Mereka beruntung menjadi orang Tokorondo . Saya bisa belajar memancing. Di sini banyak sekali jenis ikan “

Jika para nelayan lain menangkap ikan dengan menggunakan peralatan lebih modern seperti pukat , nelayan di Tokorondo masih menggunakan cara manual, yaitu memancing. Memancing di laut bersama nelayan desa Tokorondo bukan sekedar mencari ikan tetapi bagian dari proses anak-anak muda beragam agama dan suku dari berbagai desa memahami kebudayaan laut yang mendatangkan upaya-upaya perdamaian saat konflik Poso berlangsung.

Baca Juga :  Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan

Menjual Ikan Sampai ke Dapur

Desa Tokorondo menjadi satu wilayah yang kondisi desanya paling parah dalam sejarah konflik Poso tahun 2000-2003. Tapi dari desa ini juga muncul gerakan perdamaian yang organik dimulai dengan membangun rasa saling percaya sejumlah perempuan penjual ikan. Diawali oleh ibu Sarino, berbekal kepercayaan bahwa warga desa-desa tetangga yang beragama Kristen akan menerima mereka, saat konflik Poso belum mereda para penjual ikan di bakul mengunjungi desa-desa. Masuk sampai ke dalam rumah. Mereka disambut pelukan penuh rindu.  Dari kisah para penjual ikan yang diambil dari hasil memancing para nelayan , ditambah para petani rumput laut itulah, Institut Mosintuwu melalui diskusi bersama warga dan agamawan bersepakat menjadikan Tokorondo sebagai contoh membangun nilai saling percaya di kabupaten Poso.

Puluhan anak muda lintas agama dan suku dari 40 desa di Kabupaten Poso mengikuti jelajah budaya di Desa Tokorondo, salah satunya menjelajahi bersama dengan penjual ikan di bakul. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

Di saat motor mudah diakses sebagai sarana transportasi, hingga saat ini para perempuan di Tokorondo memilih menjual ikan hasil pancingan nelayan dengan berjalan berkeliling menggunakan bakul berisi ikan. Berjualan ikan dengan bakul tidak hanya dilakukan di dalam desa tapi ke desa-desa tetangga hingga sejauh 15 km. Pada hari yang sama disaat puluhan anak muda lainnya berada di laut untuk memancing dan melihat rumput laut, Vera, anak muda dari Desa Peura adalah salah satu dari 40 anak muda yang mengikuti perjalanan bakul ikan yang dilakukan oleh para penjual ikan.

“Baru kali ini berjalan kaki jauh untuk jualan ikan dengan menjunjung di kepala “ katanya “ rasanya berat, tapi herannya ibu-ibu penjual ikan malah santai. Mungkin karena terbiasa”

Awalnya para penjual ikan diantar dengan mobil pick up di Ratolene, dari tempat tersebut mereka menyebar ke berbagai desa lainnya untuk menjual ikan. Puluhan anak muda yang terbagi dalam beberapa kelompok mengikuti dan ikut berjualan. Sada mengakui rasa lelah mengikuti perjalanan penjual ikan bercampur dengan kekaguman, sekaligus rasa penasaran.

“Kenapa tidak naik motor saja bu?”

“Sampai kapan mau berjualan dengan bakul bu?”

Pertanyaan-pertanyaan ini disampaikan oleh anak muda dalam talkshow bersama Sarino.

“Saya tidak ada rencana pensiun” jawab Sarino sambil tergelak , disambut dengan tepuk tangan kagum oleh ratusan anak muda di balai pertemuan Tokorondo. “Kalau jualan pake bakul, bisa sampai di dapur” demikian alasannya. Saat ditanyai tujuannya berjualan ikan, jawaban Sarino sederhana yaitu untuk bisa makan sehari-hari. Tidak ada niat untuk membuat rumahnya bisa lebih bagus atau berlantai 2. Anak-anak muda yang mendengar semakin kagum akan kesederhaan dan ketekunannya.

Baca Juga :  Relawan Mosintuwu : Karena Berbagi tidak Merugikanmu

“Saya berharap anak muda Tokorondo tetap melestarikan kebudayaan laut yang ada “ pesan Grace , anak muda dari Kelurahan Sangele.

Saling Percaya dalam Kebudayaan Laut

Marchelya, Kristina , Theo, Grace, Vera dan Bella adalah sebagian dari anak muda yang datang ke Tokorondo untuk merasakan hidup bersama dengan warga disana selama 2 hari. Ini bagian dari program Jelajah Budaya  yang dilaksanakan Institut Mosintuwu bekerjasama dengan kelompok perempuan, anak muda dan  pemerintah Desa Tokorondo. Jelajah Budaya Rumah KITA ( kreativitas dan cinta ) merupakan program Institut Mosintuwu sejak tahun 2019 dengan mengajak 100 anak muda lintas agama dan suku untuk menelusuri 12 titik nilai budaya di Kabupaten Poso. Kedua belas titik nilai tersebut adalah spiritualitas, solidaritas, saling percaya, kekeluargaan , kesederhanaan, kesatriaan , keadilan, kesetaraan, kemandirian, kearifan Lokal , perdamaian, keberagaman . Penetapan ke-12 nilai ini dibuat setelah melakukan penelitian di 40 desa di Kabupaten Poso pada tahun 2018 dan 2019.

Saat pertama kali merancang dan menetapkan Tokorondo sebagai tempat jelajah budaya . Banyak yang meragukan Tokorondo sebagai desa yang bisa menyelenggarakan kegiatan yang mengakomodir 100 anak muda dari berbagai agama. Keraguan ini bukan hanya dirasakan para peserta yang umumnya beragama Kristen, namun juga  dirasakan oleh anak muda Tokorondo yang menyiapkan kegiatan. Keraguan itu langsung sirna ketika anak-anak muda dari berbagai agama berbaur akrab dengan mereka termasuk dengan para nelayan.

Puluhan anak muda lintas agama dan suku dari 40 desa di Kabupaten Poso mengikuti jelajah budaya di Desa Tokorondo, salah satunya menjelajahi bersama dengan penjual ikan di bakul. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

“ Saya haru kak, saya tidak percaya kami bisa melakukan ini “ sambil berlinang air mata hari, senang dan bangga Fita anak muda Tokorondo  menyampaikan perasaannya.

Kedatangan ratusan anak muda serta belasan tokoh agama Kristen untuk tinggal di rumah mereka dan mereka menerimanya dengan tangan terbuka adalah satu bentuk bagaimana saling percaya itu ada di Tokorondo. Rasa saling percaya , diyakini melandasi hubungan baik yang bisa dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari lintas agama dan suku di Kabupaten Poso. Anak-anak muda diharapkan meneruskannya untuk kehidupan yang damai dan berkeadilan.

Penulis : Basrul Idrus

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda