Membincangkan Adat Pertanian Ramah Alam dalam Tradisi Pamona

0
717
Ibu-ibu dari desa-desa mempersembahkan kuliner dari alam yang diolah dengan cara tradisional di Festival Mosintuwu. Foto : Josua Marunduh

“Selama bintang di langit tidak diubah maka kita tetap taati. Kita orang Pamona mengenalnya bintang ngKeo atau Tamangkapa. Kalau mau menanam umbi-umbian maka lihatlah bintang merah itu di sebelah barat”(Y. Sumboli/tokoh adat Desa Masani, Poso Pesisir)

Krisis sedang menerpa dari segala penjuru. Itu adalah krisis iklim yang membuat kota hingga desa mengalami perubahan. Selain anomali cuaca berupa banjir dan kekeringan yang bikin gagal panen, ancaman bencana lain seperti penularan penyakit semakin nyata. Semua disebabkan manusia. Salah satu pendorongnya adalah berubahnya cara bertani yang tadinya bersahabat dengan alam menjadi ekspolitatif.

Bertempat di Baruga Desa Dulumai, Kecamatan Pamona Puselemba, 87 orang tokoh dan pemerhati adat Pamona dari desa-desa di sekitar Danau Poso hingga Poso Pesisir bersaudara berkumpul dalam acara Mampasimbaju Ada Ngkatuwu. Ini adalah salah satu rangkaian dari Festival Tradisi Kehidupan yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Aliansi Penjaga Danau Poso dan warga desa di lokasi kegiatan

Festival Tradisi Kehidupan atau disebut juga Gawe Ada Ngkatuwu di Desa Dulumai ini merupakan penyelenggaraan yang kedua setelah festival pertama dilaksanakan di desa Peura pada bulan Juni 2022 . Jika di desa Peura topik utama dalam Mampasimbaju adalah Ada Mombetirinai, atau tradisi saling menghidupi dan saling menolong dalam kehidupan sehari-hari Pamona, festival kali ini bertemakan Ada Mpojamaa. 

Dalam Mampasimbaju Ada Ngkatuwu ini secara khusus para pemerhati adat yang mayoritas para orang tua ini membahas mengenai Ada Mpojamaa.  Ada Mpojamaa adalah tradisi  yang memuat aturan dan proses bertani yang selama turun temurun dilakukan oleh leluhur Pamona.

Selama 2 hari, pagi hingga malam, para pemerhati budaya dan pegiat adat Pamona membincangkan serangkaian pertanyaan yang diajukan sebagai pemantik diskusi oleh Lian Gogali, fasilitator dalam diskusi ini. Menariknya, mereka hadir sebagai individu, tidak mewakili lembaga apapun, termasuk tidak mewakili lembaga adat.  Bagaimana leluhur orang Poso membangun sistem bertani yang ramah alam, merawat persaudaraan dan berbagi, menjadi pokok diskusi. Bukan hanya sejarah dan peradabannya, dibahas juga apa tantangan dan bagaimana kemampuan masyarakat desa menghadapinya,terutama kecenderungan bertani yang semakin tergantung pada pupuk kimia yang merusak tanah dan memicu pemanasan global.  Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh para pemerhati budaya mengenai metode pertanian, menjadikan forum diskusi ini saling memperkaya. Beberapa pemerhati budaya saling menimpali untuk menguatkan pernyataan, namun sesekali juga melemparkan pertanyaan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai membahas Ada Mpojamaa / Adat Pertanian diikuti para pemerhati budaya dan pegiat adat dari puluhan desa di Kabupaten Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Pengetahuan Lokal hadapi Ancaman Krisis Iklim

“Selama bintang ini tidak diubah maka kita tetap taati. Kita orang Pamona mengenalnya bintang ngKeo atau Tamangkapa. Kalau mau menanam umbi-umbian maka lihatlah bintang merah itu di sebelah barat” kata Y. Sumboli memulai perbincangan topik Ada Mpojamaa.

Di usianya yang mendekati 70an tahun, dia optimis pengetahuan lokal yang diwariskan oleh leluhur dalam mengelola lahan pertanian dapat menghadapi  krisis iklim yang mendera bumi. Baginya, menaati perputaran bintang sebagai rujukan bertani adalah keharusan. Musim yang semakin tidak tertebak, suhu yang mendidihkan bumi atau banjir yang menenggelamkan lahan bagi pegiat adat asal Desa Masani ini adalah proses bumi menemukan kembali keseimbangannya.

Baca Juga :  Allisa Wahid : Gusdurian Membangun Narasi Ke-Indonesiaan

“Mengenai perubahan iklim. Lakukan saja sesuai dengan keyakinan.  Selama (alur) bintang ini tidak berubah maka kita tetap taati” katanya.

Sumboli bercerita praktek pertanian yang masih dilakukannya sekarang bukan hanya berkaitan dengan petunjuk bintang tapi juga bekerjasama dengan alam. Dia tidak menyarankan tikus, atau monyet, juga babi hutan yang selama ini dianggap sebagai ancaman utama petani untuk dibunuh agar tidak mengganggu lahan. Sebaliknya yang dilakukan adalah mengusir dengan memahami sistem dan mekanisme mahluk ciptaan Tuhan tersebut.

“Mereka ciptaan Tuhan , harusnya jangan dimatikan. Cari saja apa kelemahannya. Kalau tikus sangat takut dengan kebakaran. Lakukan saja setiap jam-jam tertentu membuat asap dengan membakar segenggam jerami di sekeliling lahan pertanian atau burung pipit jangan diganggu, gunakan saja air dari kayu pahit yang disemprot ke semua wilayah “

Berambisi untuk panen 2 sampai 3 kali dalam setahun, menurutnya justru akan membuat kerugian besar pada kesehatan tubuh dan tanah karena pasti akan menggunakan pupuk yang berlebihan. Keyakinan itu ditimpali Cristian Bontinge, pegiat adat dari Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba. Bagi dia, penggunaan pupuk kimia yang diperkenalkan di Revolusi Hijau dan pembabatan hutan besar-besaran adalah awal kehancuran sistem pertanian masyarakat.

Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai membahas Ada Mpojamaa / Adat Pertanian diikuti para pemerhati budaya dan pegiat adat dari puluhan desa di Kabupaten Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

“Orang tua kita tidak menanam menggunakan pupuk kimia karena tidak ingin makan racun” katanya sambil menggelengkan kepala karena heran dengan cara berpikir para pemimpin negara yang lebih mementingkan jumlah yang dipanen ketimbang nilai dan manfaatnya bagi masyarakat.

Tradisi lokal dalam mengelola lahan pertanian yang diceritakan oleh para pemerhati budaya dan pegiat adat ini menggambarkan tujuan pertanian bukanlah hasil namun keseimbangan kebutuhan seluruh mahluk hidup yang diciptakan Tuhan. Mengganggu keseimbangan dengan hanya mengejar keuntungan salah satu mahluk, yaitu manusia, bukan hanya menciptakan kerusakan ekosistem tapi juga menimbulkan bencana.

Itu sebabnya, saat membuka lahan, para petani terdahulu memulai dengan meminta ijin pada alam. Metompa, demikian bahasa Pamonanya. Proses meminta ijin pada alam ini dilakukan dengan memahami tanda-tanda alam. Di desa Malitu misalnya, jika saat mendoakan proses pembukaan lahan seseorang digigit semut, itu dianggap sebagai sebuah penanda belum direstui. Membutuhkan waktu yang khusus untuk kembali mengelola lahan tersebut hingga mendapatkan restu alam.

Revolusi Hijau yang Menghempaskan Tradisi 

Pembicaraan mengenai penghilangan tradisi Ada Mpojamaa berlangsung sangat alot . Terutama  terkait peran kebijakan pemerintah dalam sistem pertanian dan campur tangan institusi keagamaan khususnya gereja dalam menetapkan hari raya panen.

Baca Juga :  Waya Masapi, Ketika Bambu dan Ikan Merajut Kekeluargaan

Y. Sumboli menjelaskan, sebelumnya ada tiga macam model bertani orang Pamona.  Pertama, Monawu atau berkebun. Ini dilakukan dengan membongkar hutan belukar untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman. Kedua, Mobonde, ini adalah tradisi mengolah kembali tanaman dibekas lahan kebun yang sudah lama ditinggalkan. Tradisi ini muncul karena kebiasaan hidup berpindah-pindah masyarakat dimasa lalu. Ketiga, Mokawo, disini petani menanam tanaman jangka pendek seperti jagung. Adapun menanam padi di sawah basah adalah tradisi yang baru dikenalkan ke masyarakat Poso ketika pendudukan Jepang di tahun 1942-1943. Sistem bertani yang berlanjut turun temurun ini  berpedoman pada aturan-aturan adat yang menjaga alam.

Hingga di tahun 1970 hingga 1980 Soeharto yang baru 4 tahun merebut kekuasaan dari Soekarno meluncurkan program modernisasi pertanian untuk meningkatkan produksi. Program yang menggelontorkan investasi besar-besaran  ini dikenal sebagai Revolusi Hijau. Di tahun 1984, Soeharto meluncurkan program Pancausaha Tani yang terdiri dari lima asas utama, yaitu: pemilihan dan penggunaan bibit unggul, pemupukan secara teratur, irigasi yang baik dan cukup, pemberantasan hama secara intensif, teknik penanaman yang teratur. Program inilah yang kemudian mengubah cara bertani ramah alam menjadi eksploitasi yang berorientasi hasil. Di sistem ini, tanah hanya dilihat sebagai modal ekonomi, penghargaan terhadapnya hilang seketika.

“Karena (sekarang) kita hanya mengejar hasil, mempercepat proses. Disinilah masuk perhitungan ekonomi” kata
Lakiboe, ketua adat desa Peura.

Pernyataan ini menanggapi perdebatan mengenai hilangnya budaya Mesale  yaitu saling bantu tanpa pamrih dalam mengelola lahan pertanian. Sebagian berpendapat, hilangnya Mesale adalah kenyataan ekonomis. Bagi Lakiboe, paradigma ekonomi yang hanya mengejar keuntungan akhirnya merusak tatanan sosial. Akibatnya, kehidupan di desa kini menjadi individual. Budaya saling bantu surut perlahan.

“Sekarang Mesale di ganti budaya membayar tenaga. Memang kerja menjadi cepat. Tapi kekeluargaan dan saling bantu juga mulai hilang. Semua dihitung dengan modal” kata pegiat adat dari desa Tolambo, kecamatan Pamona Tenggara.

“Iya, itu karena kita tidak mau lagi mempertahankan adat Mombetirinai (saling mengasihi)” imbuh Lakiboe.

Bukan hanya konsep kerjasama yang mulai pudar, tapi juga petani Pamona kehilangan bibit lokalnya.

“Pengenalan pupuk  menghilangkan budaya mesale dari masyarakat kita” katanya lagi. Diceritakannya mengenai kemunculan Koperasi Unit Desa (KUD) di tahun 1980an, bersamaan Revolisi Hijau meningkatkan distribusi pupuk Urea dan sejenisnya hingga ke pelosok desa. Cara baru ini mendorong petani mengalihkan jenis bibit yang ditanam dari bibit lokal ke rekayasa genetik.

“Sejak itulah kita kehilangan benih lokal, diganti bibit yang bisa dipanen cepat”kata Berlin Modjanggo menyela perbincangan. Dia menyebut benih padi lokal Poso yang hilang, mulai dari Jelita, Taburako, Monda, Ranija, Mesambuni, Pidintoroni, Rae Ngkamba, Rangga.

Benih lokal butuh waktu hingga 7 bulan untuk di panen. Tapi setiap hektar bisa menghasilkan hingga 7-8 ton beras sehat tanpa pupuk. Jika dibandingkan dengan benih baru yang hanya maksimal menghasilkan 4-5 ton beras per hektar, itupun dengan bantuan beragam pupuk. “Jadi mana yang lebih menguntungkan petani sebenarnya”? tanya Y. Sumboli. Dia mengkritik cara bertani yang menitikberatkan kecepatan panen yang dianut pemerintah.

Baca Juga :  Danau Poso, Danau Purba Bukti Terbentuknya Pulau Sulawesi & Potensi Geopark

Y. Sumboli tidak menggunakan istilah kapitalisme yang kerap dipakai para aktifis atau akademisi untuk menunjukkan cara bertani yang bertumpu pada kecepatan yang ditenagai pestisida dan herbisida adalah cara merampok petani yang sempurna. Sebab bukan hanya harus membagi hasilnya kepada pemilik pabrik bahan-bahan kimia itu, tapi menyebabkan tanah-tanah petani harus terus menerus disuapi pupuk dan segala produk turunannya agar terus bisa menghasilkan.

Upaya Bertahan dan Memulai Ulang di Komunitas Kecil

Ada mPojamaa adalah warisan tradisi Pamona yang memuat aturan dan proses mengolah lahan sebelum dan sampai akhir pengolahan dengan memahami petunjuk bintang dan alam. Adat ini memiliki tahapan dan proses yang cukup panjang dan memiliki filosofi penghargaan kepada alam dan pencipta.  Ini adalah kesimpulan yang dihasilkan dalam diskusi kelompok. Dia menimbulkan pertanyaan, apakah tradisi ini masih ada? atau masih bisa dipraktekkan?.

Andre Puragombo, dari desa Masani, kecamatan Poso Pesisir termasuk yang sangat gelisah dengan makin individualnya cara bertani di kampungnya itu. Dari 150 hektar sawah yang ada, dia mencoba mengorganisir sekitar 20 persen petani untuk bekerja bersama. Caranya, hanya bekerja sama selama 2 jam saja. Cara ini ternyata efektif. Dalam sehari mereka bisa mengerjakan 2 hektar sawah.

“Jadi dari pengalaman kami, mesale masih mungkin dilakukan dalam komunitas yang lebih kecil” kata putra Rein Puragombo, seniman tari Poso ini. Tradisi ini juga masih berlangsung di desa Sangginora, Kecamatan Poso Pesisir Selatan. Warga desa masih mempraktekkannya sejak mempersiapkan bibit hingga panen tiba. Orang-orang masih saling bantu saat panen. Di desa Malitu, saat menanam , warga saling membantu tanpa pamrih diawali dengan memasak bersama pada malam hari.  Di desa Dulumai, para petani bersepakat untuk tidak menerima odong-odong dan masih memanen dengan menggunakan sabit sehingga membutuhkan tenaga manusia. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan para petani yang tidak memiliki modal yang besar untuk menggunakan teknologi pertanian.

Upaya-upaya yang dilakukan komunitas petani di desa-desa ini perlu menjadi bekal untuk memastikan filosofi adat Mpojamaa yang menghargai dan bersahabat dengan alam bisa tetap dipertahankan. Pembicaraan di ruang baruga Dulumai menjadi langkah awalnya. Menjelang malam, para pemerhati budaya dan pegiat adat ini bersepakat melanjutkan diskusi dalam serangkaian pertemuan lanjutan , secara khusus membicarakan mengenai aturan-aturan di Adat Mpojamaa serta Padungku. Kedua topik ini dianggap masih sangat relevan untuk menjadi panduan bertani di Pamona.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda