Gawe Ada Ngkatuwu Ada Mpojamaa, Upaya Menggali Kembali Tradisi Bertani Pamona yang Hilang

0
707
SUASANA DISKUSI - Sedikitnya 57 tokoh adat dari Kabupaten Poso berkumpul membahas tradisi Mpojamaa (tata cara bercocok tanah) Suku Pamona pada Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai, 19 Oktober 2023. Foto : Dok.Yardin

PADA tradisi leluhur tersedia akar panduan berkehidupan yang telah diuji oleh waktu. Namun kegilaan manusia pada nilai-nilai kebaruan (modernitas), memaksa tradisi yang sarat etika dan nilai-nilai kebajikan itu, memudar. Bahkan hilang. Menjalankan tradisi tak semata menjaganya untuk tidak punah. Sebab, dalam tradisi itu, ada nilai, ada tanggungjawab tentang relasi dengan semesta yang harus dijaga. Relasi yang tidak saling merusak dan saling mengabaikan. Ini antara lain benang merah yang mengemuka pada Festival Tradisi Kehidupan yang menghimpun para tokoh sepuh di Desa Dulumai pekan lalu. Sedikitnya 57 tokoh adat yang datang nyaris mewakili setiap desa di Kabupaten Poso. Mereka berkumpul di Banua Mpolimbu, Desa Dulumai Kecamatan Pamona Pusulemba, Kabupaten Poso, 18 – 19 Oktober 2023.

Para tetua adat yang berusia antara 40 – 80 ini tahun, membahas tradisi Ada Mpojamaa (bercocok tanam) leluhur suku Pamona. Mereka berdiskusi dan sesekali terlibat friksi tajam untuk mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah hilang. Melalui ingatan para tokoh sepuh itu, tradisi itu kemudian didokumentasikan, disosialisasikan dan diharapkan dipraktekan dalam pertanian bagi suku bangsa Pamona. ”Tak semua tradisi harus diambil,” begitu menurut Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu yang memoderasi diskusi ini. Tradisi-tradisi itu dikumpulkan mana yang masih relevan dan memungkinkan dipraktekan pada model bercocok tanam di era pertanian industri society 5.0 sekarang ini.

Selama dua hari festival, mereka dibagi empat kelompok untuk mendiskusikan 9 pertanyaan kunci yang berkaitan dengan tradisi Ada Mpojmaa tersebut. Kelompok 1, membahas tentang apa itu Mpojamaa, bentuk-bentuk Ada Mpojamaa leluhur Pamona serta filosofi dari masing-masing bentuk Ada Mpojamaa. Kelompok 2, membahas tentang bentuk cocok tanam sekarang. Apa perbedaan utama dan pola bertani sekarang dengan Ada Mpojamaa, serta apa saja bentuk pertanian leluhur yang hilang atau bergeser. Sejak kapan pergeserannya dan bagaimana proses hilangnya. Kelompok 3, membahas apa keuntungan model pertanian sekarang dan apa kerugiannya. Dan apa dampak kerugian dari model pertanian sekarang pada manusia dan alam. Sedangkan kelompok 4, membahas filosofi dan bentuk pertanian seperti apa yang perlu dipertahankan oleh Suku Pamona. Mengapa perlu dipertahankan. Lalu apa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjaga filosofi Ada Mpojamaa, bagaimana caranya dan siapa yang harus melakukannya.

Berdiskusi di Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai membahas Ada Mpojamaa / Adat Pertanian diikuti para pemerhati budaya dan pegiat adat dari puluhan desa di Kabupaten Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Sesi pembahasan yang berlangsung pukul 08.00 dan berakhir pukul 18.00 wita ternyata tak cukup. Diskusi berjalan dinamis. Debat kecil kerap terjadi di antara para tokoh sepuh itu. Ini disebabkan tradisi Mpojamaa tak selalu sama antara wilayah satu dengan yang lain. Silang pendapat para tetua adat tak bisa dielakkan. Namun dari perbedaan-perbedaan itu akhirnya teridentifikasi tradisi leluhur yang sangat beragam. ”Kita banyak mendapat informasi penting. Tidak apa-apa perbedaan bercocok tanam harus kita catat. Ini akan sangat membantu,” ujar Lian menengahi.

Elfrin Mosori juru bicara kelompok 1, mengatakan bercocok tanam dalam tradisi Mpojamaa, dimulai dari pencarian lokasi sampai pada pengolahan lahan yang disertai ritual tertentu. Setelah lokasi ditentukan ada ritual berpamitan di lokasi itu. Ritual ini dilakukan karena ada keyakinan, setiap tempat ada pemiliknya. ”Leluhur belum mengenal Tuhan, tapi diyakini alam ini ada yang menciptakan sehingga perlu ada prosesi pamitan,” jelasnya.

Selanjutnya, tokoh adat dari Desa Meko ini mengenang saat dirinya masih anak-anak menyaksikan tradisi mompaho (menanam) di desanya. Sebelum proses menanam, dilakukan mpowurake (tarian). ”Selama mpowurake bakul yang dibawa terlihat kosong. Saya perhatikan tiba tiba bakul-bakul itu sudah terisi padi gabah untuk ditanam di lahan itu. Dari situ saya paham ada keyakinan kepada Mpue Mpalaburu yang menyediakan. Ini merupakan sesuatu yang mistik tapi benar terjadi,” kenangnya.

Baca Juga :  Cerita Tanah, Air dan Hutan Poso di Documenta Fifteen Jerman

Kelompok 2 yang membahas pola tanam leluhur yang telah bergesar serta bagaimana proses pergeseran itu terjadi. Mereka membahas  pascapanen yang kemudian diteruskan  dengan Padungku alias pesta syukur. Kelompok ini membuat catatan kritis tentang adanya pengaburan pelaksanaan Padungku. Padungku adalah bagian dari proses Mpojamaa mulai pencarian lahan bahkan sampai padi disimpan di dalam lumbung. Padungku juga dimaknai sebagai pesta syukur atas selesainya masa panen. Tema ini memicu diskusi panjang di antara toko adat. Terutama untuk menjawab sejak kapan padungku dipengaruhi oleh teologi keagamaan. Ada yang menyebut Padungku sebagai bagian ritual Mpojamaa artinya masuk ranah tradisi adat. Namun banyak pula yang menyanggah, Padungku sebagai tradisi gereja karena praktek itu bagian dari cara umat mensyukuri berkat Tuhan. Khusus padungku, para tokoh adat masih perlu menyisakan pertemuan satu hari lagi untuk mencari titik temu dari tema tersebut.

Kelompok 3 yang membahas tentang apa itu Ada Mpojamaa berkesimpulan, tradisi ini soal tahapan mengola lahan pertanian. Bentuk bentuk Ada Mpojamaa, yaitu mantonayopo (melihat lokasi) montelasi (menaruh tanda). Selanjutnya ada 14 ritual sebelum berujung pada upacara Padungku atau pengucapan syukur.  Sedanngkan kelompok terakhir membahas tentang filosofi tradisi Mpojamaa, apa yang perlu dipertahankan dan mengapa harus dipertahankan. Kelompok ini memandang Ada Mpojamaa adalah tradisi kehidupan yang diwariskan leluhur To Pamona yang harus dilakukan sebelum memulai pengolahan pertanian. Kelompok ini juga kebagian mengulik filosofi ritual setiap Ada Mpojamaa. Mereka menyebutkan, ritual-ritual dalam tradisi Ada Mpojamaa sangat erat kaitannya dengan ketaatan leluhur pada Pue Mpalaburu alias Sang Pencipta. Termasuk masa tanam yang harus memerhatikan benda-benda langit seperti bintang dan bulan. ”Masa tanam yang disesuaikan dengan benda-benda langit selain harapan akan hasil yang baik, ini semua ada kaitannya dengan karakter hama yang menyerang tanaman,” ujar juru bicara kelompok empat.

Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai membahas Ada Mpojamaa / Adat Pertanian diikuti para pemerhati budaya dan pegiat adat dari puluhan desa di Kabupaten Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

KEBIJAKAN PERTANIAN ORDE BARU MENGUBAH KULTUR PERTANIAN

Pertanyaan yang memancing atensi para tetua adat adalah tema yang dibahas kelompok 2, tentang apa saja bentuk pertanian leluhur yang hilang. Dan sejak kapan, serta bagaimana proses hilangnya. Ngkai Yonggulemba Sumboli asal Desa Masani bilang, perubahan cara bertani dimulai sejak Orde Baru yang ditandai masuknya program penyuluh lapangan pada 1970. Bersamaan dengan itu, masuk pula jenis bibit padi unggul ikut mengubah cara bercocok tanam menjadi 3 kali per tahun. Perubahan pola tanam itu, secara perlahan mulai menghilangkan jenis padi yang ditanam oleh leluhur terdahulu. Perubahan lainnya adalah penggunaan racun untuk membersihkan rumput. Penggunaan racun ini menurut, Marlin dari Poso Pesisir membawa dampak pada dua hal. Pertama hilangnya tradisi Mesale (gotong-royong). Kedua, beban alam makin berat untuk mengurai bahan kimia yang terkandung dalam racun. ”Ini antara lain yang hilang dari tradisi Mpojamaa ini,” katanya. Menurut Ngkai Botinge ada peran negara yang cukup besar memperkenalkan racun sebagai bentuk lain membasmi tanaman liar. ”Karena lebih praktis dan cepat kerjanya, kita akhirnya terbiasa menggunakan racun. Padahal sebelumnya ini dikerjakan dengan konsep mesale,’‘ katanya lantang.

Baca Juga :  Mural, Aksi Relawan Seniman di Ruang Milik Orang Desa

Hal lain yang tidak  dilakukan leluhur namun menjadi kebiasaan akut petani di Pamona kini, adalah penggunaan pestisida untuk hama dan penggunaan traktor combine harvester yang menjalankan tiga fungsi bersamaan. Sebagai alat panen, perontok sekaligus pembajak. Kehadiran alat-alat ini bahkan menghilangkan tradisi mesale. Padahal dalam tradisi mesale, mengedepankan kerjasama warga. Warga yang bekerja tidak dibayar dengan uang tunai melainkan akan diganti dengan kerja serupa. Ternyata tak hanya kebijakan pertanian Orde Baru yang mengubah budaya cocok tanam suku Pamona. Kehadiran warga transmigrasi menurut Ngkai Berlin Modjanggo, memberi andil perubahan budaya bercocok tanam. Tradisi mesale termasuk yang makin menghilang karena kehadiran warga transmigran dengan pola upah harian. Saat ini sebut Modjanggo,  hanya tersisa di beberapa wilayah yang masih mengerjakan mesale.  ”Jika ada keinginan untuk membiasakan kembali mesale saya kira bagus. Karena dalam mesale tercipta komunikasi yang intens sebagai sesama warga. Daripada sistem upah yang pola relasinya lebih ke antara buruh dan majikan,” ulasnya. Pertanian sawah modern hingga tiga kali panen dalam setahun menurut dia, bagus-bagus saja jika tujuannya untuk menggenjot produksi. Namun tanah tidak beri kesempatan untuk recovery untuk kemudian siap ditanami lagi. Padi ”dipaksa” tumbuh dengan pupuk. Sistem lumbung juga menurut dia sudah tidak familiar dalam kehidupan suku Pamona saat ini.

PADUNGKU, ANTARA TEOLOGI GEREJA DAN TRADISI LELUHUR

Padungku digelar usai panen sebagai bentuk ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Menurut Ngkai Bontinge, sebaiknya pengucapan syukur menjadi ranah gereja. Sedangkan Padungku tetap dilakukan oleh sebagai tradisi adat. Perayaan Padungku baru-baru ini, menurut dia memicu perdebatan di masyarakat karena dilakukan pada  saat masih ada yang belum melakukan panen.

Sejatinya, menurut dia, Padungku harus dilakukan usai panen dan dapat diakses oleh semua etnis. Tidak didominasi satu kelompok saja. Soal perayaan Padungku ini menurut Guntur tokoh adat lainnya, harus dimaknai sebagai ucapan syukur secara adat. Sedangkan gereja adalah pengucapan syukur dari sisi keimanan kristen. Pandangan lain disampaikan tokoh adat Hajai Antjura. Sambil menukil Alkitab Perjanjian Lama, Ketua Adat dari Sawidago ini mengatakan, seyogyanya setelah panen dilaksanakan pengucapan syukur. Tujuannya untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Ia meminta agar forum tidak menyalahkan pendeta . Karena perintah mengucap syukur secara eksplisit ditulis dalam nats alkitab.

Melihat friksi soal Pandungku yang makin tajam, Ngkai Bontinge kembali bersuara. ”Saya luruskan kembali. Saya tidak katakan gereja itu salah. Tapi gereja harus ditekankan hanya ucapan syukurnya. Karena padungku bukan cuma orang Kristen tapi orang Islam Pamona juga punya tradisi ini, ” tegasnya. Ia kemudian menceritakan pengalaman lima orang warga Pamona yang beragama muslim mendatangi dirinya. Mereka berhasrat merayakan Padungku. Namun mereka bingung karena Padungku menjadi wilayah gereja. Soal ini, ia kemudian menceritakan pengalamannya dengan warga muslim Pamona di Desa Pantende.

”Kami ini mau rayakan Padungku karena kami sudah momota (panen padi menggunakan ani-ani.) Tapi kami mau kemana karena menurut gereja ini ucapan syukur,” ucap Bontinge menirukan keinginan warga Pamona muslim yang mendatanginya. Pada akhirnya walau muslim persembahan mereka tetap dibawa ke gereja. Lian kemudian menimpali agar Padungku dilihat dari perspektif budaya bukan teologi agama. Hingga diskusi berakhir, tema Padungku ini tidak tuntas. Lian kemudian menawarkan pertemuan sehari lagi untuk menuntaskan tema tentang Padungku dan Mpojamaa . ”Nanti kita undang lagi di Dodoha,” ajak Lian yang disambut antusias tetua adat.

Baca Juga :  Mo mPadungku
Festival Tradisi Kehidupan di Desa Dulumai membahas Ada Mpojamaa / Adat Pertanian diikuti para pemerhati budaya dan pegiat adat dari puluhan desa di Kabupaten Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

MENJADI WARISAN BUDAYA TAK BENDA

Gawe Ada Ngkatuwu (Festival Tradisi Kehidupan) ini juga dihadiri Ilham Abdullah dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 18 yang berkedudukan di Palu. Abdullah mengatakan, ia menunggu dokumen  Ada Mpojamaa  rampung dan akan mendaftarkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ke Kemendikbud. Sedangkan untuk sosialisasi ke masyarakat, Abdullah berjanji akan mendokumentasikannya dalam bentuk komik sebagai bahan pustaka pelajar di daerah ini. ”Nanti dalam penyusunan komiknya kami akan konsultasi dengan tetua adat di sini,” ucap Abdullah yang disambut aplaus para tokoh adat yang memadati Banua Mpolimbu. Pernyataan Abdullah tersebut setidaknya sejalan dengan tujuan pelaksanaan Gawe Ada Ngkatuwu yang diinisasi oleh Mosintuwu Institut dan Aliansi Penyelamat Danau Poso (APDP).

Lian Gogali Founder Institut Mosintuwu mengaku, mengumpulkan pemerhati budaya dan pegiat adat untuk membicarakan ulang adat Pamona. Semua isi pembicaraan akan dibuatkan dalam dokumen. Pertemuan hari ini ungkap Lian baru sebatas itu. Tugas bersama berikutnya adalah  menanamkannya dalam pendidikan, dalam bentuk muatan lokal (mulok). Kemudian ada pembiasaan di lingkungan rumah seperti membiasakan warga berbahasa Pamona. ”Kami berterima kasih bapak ibu mau menjadi bagian dari sejarah bersama untuk menggali dan mencatat dan menghidupkan kembali adat Pamona. Harapannya kalau nanti ada riwayat hidup dibacakan, salah satu riwayat itu adalah ikut menciptakan sejarah dokumen adat Mpombetirinai, Mpojamaa dan seterusnya,” ucap Lian yang disambut senyum gembira beberapa tokoh adat.

Festival Tradisi di Desa Dulumai kali ini, adalah lanjutan festival serupa yang berlangsung di Desa Peura Juni 2023 lalu. Di Desa Peura, tokoh-tokoh adat membahas Ada Mpombetirinai yakni tradisi tentang relasi sosial.  Baik festival di Desa Peura maupun Dulumai adalah rangkaian  pertemuan tetua adat di Dodoha, pada 10 November 2022 lalu, yang berhasil menyepakati lima tradisi yang perlu dibicarakan kembali.  Setelah Ada Mpombetirinai dan Ada Mpojamaa rampung, setelah ini masih Ada Mporongo (tradisi perkawinan), Ada Mpoagama (tradisi penyembahan), dan Ada Motaumate (tradisi kematian atau tradisi mencari tulang belulang) yang harus dibahas. Lian menjanjikan, pertemuan membahas tradisi adat yang tersisa, baru bisa dilakukan tahun 2024 mendatang.

SERIUS – Peserta diskusi serius menyimak talk show tentang Ada Mpojamaa yang dibawakan oleh Ngkai Yonggulemba Sumboli, tokoh adat asal Desa Masani, Poso Pesisir, 18 Oktober 2023. Foto : Dok.Yardin

Pernyataan Ngkai Yonggulemba Sumboli yang ditemui menjelang kepulangannya ke kampungnya di Masani – Poso Pesisir, menarik disimak. Dalam usia yang tak muda lagi, menginjak 78 tahun, ia bilang begini. ”Saya tidak muda lagi. Ini bukan untuk saya Nak!.   Yang dibahas ini bukan untuk kami-kami ini. Tapi untuk anak-anak Suku Pamona. Mereka nanti yang melanjutkannya. Apakah akan dilanjutkan, terserah mereka. Tapi saya  dan kami-kami ini semua sudah berusaha menyampaikannya,” katanya datar.

Pada Festival Mosintuwu  di Dodoha 10 November 2022 lalu,  ia pernah bilang ke saya.  Semua yang mereka lakukan terkait ikhtiar menulis ulang tradisi suku Pamona yang hilang, tak semata karena tanggungjawab sejarah yang berada di pundak mereka.  Tapi ini juga kegelisahan, kecemasan akan hilangnya legasi pitarah yang harus mereka jaga dengan susah payah hingga di ujung usia. ***

Redaksi :  Tulisan ini adalah republikasi dari roemahkata.com dengan persetujuan penulis sebagai bagian dari kampanye yang mendukung penguatan tradisi masyarakat Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda