JARUM jam menunjukkan pukul 12.00 wita. Matahari sedang garang-garangnya. Tensi diskusi di Banua Mpolimbu tak kunjung menurun. Para tetua adat bergantian menyoal tradisi bercocok tanam leluhur suku Pamona. Mereka tak menyadari dari jarak belasan hasta, ada yang menanti mereka dengan sabar. Di teras Banua Mpolimbu, sejak 10 menit yang lalu, berdiri rapi delapan perempuan berusia di atas 60 bahkan 70-an tahun. Dengan setelan busana tradisional dan aksesoris ndatu yang melilit di kepala, mereka berdiri rapi bak peserta upacara. Berbaris berjajar 4 orang di baris pertama dan 4 orang di baris kedua, sambil memegang karton mungil bertuliskan 01 hingga 05. Moderator diskusi Lian Gogali , sedari awal telah menyadari kehadiran perempuan-perempuan itu. ”Sepertinya kita harus jeda dulu. Sudah ada yang menunggu kita. Kita istirahat makan siang dulu,” ujar Lian mencoba memecah konsentrasi para tokoh adat.
Lima perempuan dalam gerakan yang tidak bisa disebut lincah, tampak tak sanggup lagi berdiri lama. Tungkai kakinya tak kuat menyangga beban tubuh yang sedari tadi berdiri tegap dalam barisan yang rapi. Mereka melirik kursi. Satu persatu melorotkan tubuhnya di atas kursi menunggu para tetua adat menyudahi diskusinya.
Lian kembali meminta jeda. Sesaat kemudian, peserta diskusi bubar. Jam biologis mendesak menuju kandepe. Lima perempuan lanjut usia dengan sapuan face powder seadanya, bertugas menjemput para tokoh adat menuju tempat makan siang. Kandepe yaitu, bangunan papan semacam saung yang sengaja didirikan di halaman Gereja Jemaat Zaitun Desa Dulumai hanya dalam rangka kegiatan Festival Tradisi Kehidupan. Di ruangan berukuran 4 x 4 itu, sajian makan siang dihidangkan. Sebelum menuju jeda makan siang, co-fasilitator diskusi, Iin Hokkey, menyebutkan ragam menu yang disediakan. Para tamu diberi keleluasaan menuju kandepe sesuai jenis kuliner yang digemari, sesuai nomor angka yang dipegang para pengarah tamu.
Bersamaan dengan itu, delapan perempuan dengan gerakan pelan dan pasti, sontak berdiri memimpin lima kelompok menuju lima bangunan kandepe yang jaraknya 50-an meter dari tempat pertemuan. Dalam gerakan yang tidak terlalu lincah, di bawah terik yang tak kenal ampun, senyum semringah terus saja menghiasi wajah-wajah mereka sambil bercengkerama akrab dalam bahasa Pamona. ”Panas skali ya nek?” Ia tersenyum tipis merespons pertanyaan basa basi itu.
LIBUR SELAMA DUA HARI
Hajatan Gawe Ada Ngkatuwu atau Festival Tradisi Kehidupan yang berlangsung 18 – 19 Oktober di Desa Dulumai Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, disambut antusias warganya. Semangat itu ditunjukkan dengan meliburkan diri dari aktivitas keseharian . Selama dua hari itu, tidak ada warga Dulumai yang pergi bekerja di sawah, pergi kebun cokelat atau beternak maupun aktivitas rutin lainnya. Anak-anak sekolah SD Dulumai pun libur selama gawean berlangsung. Mereka fokus menyukseskan hajatan festival yang melibatkan nyaris semua lapisan warganya. Mulai anak-anak, remaja, laki – perempuan dewasa serta penduduk berusia lanjut ikut mengambil perannya masing-masing. Menurut Endi Roreng warga Dulumai kepada penulis, ia dan istri serta putri sulungnya terlibat dalam kepanitiaan festival. Edi Roreng kebagian urusan di kandepe. Tugasnya memastikan kebutuhan olahan dapur di setiap kandepe terpenuhi. Entah itu kayu bakar, air matang hingga menanak nasi yang membutuhkan tenaga ekstra.
Sedangkan para remaja perempuan menjadi penerima tamu. Mereka pun terlihat wara-wiri menyediakan kudapan pagi dan sore, yang harus siap tepat waktu. Mereka memastikan, asupan nutrisi dari pangan lokal, ketela, keladi, pisang rebus dan lain-lain tersedia bagi para ngkai dan ine yang larut dalam diskusi serius. Anak-anak SD Dulumai siang harinya memadati perpustakaan keliling Sophia yang menyediakan ratusan koleksi, novel, cerpen bertema pergerakan, jurnal ilmiah hingga buku-buku filsafat. Selama festival, panitia mendirikan perpustakaan mini yang diampu Nina Suaki Tundugi (19 tahun). Stand yang berdiri di teras gereja menyediakan buku-buku bergambar bertema alam dan cerita dongeng.
Di sebelahnya kotak kaca berisi biota endemik Danau Poso serta foto-foto yang menyuguhkan kekayaan hayati alam Poso tampak ramai. Diasuh oleh peneliti muda berbakat Kurniawan Bandjolu (27), stand yang berdiri di halaman Gereja Zaitun Dulumai itu, tampak dijejali anak-anak dan sejumlah pria dewasa. Mereka antusias menyimak penjelasan sang peneliti tentang keong yang hanya satu-satunya di dunia – yakni di Danau Poso. Selain menjejali perpustakaan mini, beberapa anak SD Dulumai membawakan maolita (dongeng) di depan peserta diskusi. Melakukan permainan tradisional mojujulaka (lomba lari sambil memegang bambu), moena witi (berlompat sambil kaki mengait) hingga moganci atau bermain gasing.
SAJIAN KULINER KAMPUNG ORGANIK NAN LEZAT
Sejak pagi, selama dua hari festival, para ibu muda berseliweran di atas jalan utama yang memanjang sekitar 100 meteran itu. Menjinjing sayur segar dari rumah masing-masing, mereka tampak bergegas menuju kandepe. Memulai aktivitas memasak untuk tetamu yang datang nyaris dari seantero Kabupaten Poso. Ketika berbincang dengan Ester Tonuno di meja makan, pada sarapan pagi 18 Oktober lalu, ia menceritakan secara apik bagaimana kegairahan ibu-ibu menyambut hajatan adat di desanya.
”Saya abis ini langsung gabung sama teman. Bamasak” ucap ibu berwajah oval ini.
Sedangkan putri sulungnya, Gracela Roreng sudah bersiap sedari tadi menuju tempat kegiatan. ”Papanya tidak ada, so pigi duluan,” katanya tersenyum. Total ada lima kandepe yang didirikan untuk menunjang kelancaran festival. Nama kandepe diambil dari lokasi-lokasi penting di desa. Tampenjongi, lokasi kebun tua yang punya banyak pohon Jongi; Buyu Ngkanta, lokasi kebun tua tempat menanam padi ladang yang juga merupakan lokasi benteng saat perang dahulu kala; Lalambatu, lokasi kampung tua di atas gunung; Longkea, lokasi kampung tua tempat pertama kali orang Dulumai dari Luwu menetap; Watuyano, lokasi wisata yang memiliki dongeng .
Di setiap kandepe berjubel para ibu muda. Mereka berkejaran dengan waktu. Menapis beras, menjejalkan ikan kedalam bambu berukuran sedang (ituwu) hingga membersihkan sayuran. Tak ada soda atau cuka yang terlihat. Dua bahan ini sangat akrab bagi emak-emak di kota untuk membersihkan sayur yang terpapar pestisida. Sayur yang dipetik dari kebun maupun hutan hampir dipastikan bebas dari zat kimia.
Wuriri, jenis siput endemik Danau Poso menjadi sajian primadona di hampir semua kandepe yang disiapkan para perempuan Dulumai. Dimasak dengan rempah sederhana, cara makannya yang seru. Membutuhkan kesabaran untuk menghisap isi dalam cangkang siput kecil berwarna hitam tersebut. Dui, sagu yang disajikan ala Pamona dimana kuah dicampur dengan ikan yang disuwir dan sayur rebus menjadi makanan yang juga dicari. Abon ikan rono , ikan endemik Danau Poso , yang dicampur dengan kelapa yang sudah disangrai disajikan sebagai alternatif ikan danau yang dimasak dalam bambu. Orang Poso menyebut sajian makanan dalam bambu ini, ituwu.
Di salah satu kandepe yang terpantau, mereka menyetel lagu Pamona Ledoni Palindodaya, sekadar menyemangati kesibukan sejak pagi hingga beranjak siang. Belanga besar berkapasitas 15 liter berjejer rapi di atas tungku yang diawasi oleh 3 hingga 4 orang. Para ibu meriung di setiap kandepe berjibaku dengan waktu. Demi memastikan hidangan makan siang tersaji tepat waktu. Tepat pukul 12.00 wita, makan siang sudah terhidang rapi di setiap rumah saung. Bersamaan dengan itu, delapan perempuan lanjut usia, dalam penampilan terbaiknya terlihat siap menjalankan tugasnya. Dengan kebeningan hatinya menjemput, menyapa dan mengarahkan tetamu untuk menikmati hidangan lezat di siang itu. ***
Redaksi : Tulisan ini merupakan republikasi dari roemahkata.com atas persetujuan penulis, sebagai bagian dari kampanye kehidupan tradisi masyarakat Poso. Beberapa bagian mengalami penyuntingan dari redaksi mosintuwu .