Hampir setiap sore hari Papa Monge dan Mama Monge pasangan nelayan di Desa Bo’e, pergi ke sungai untuk memasang Inanco. Sambil memikul pelepah Enau (Arenga pinnata), dia bercerita tentang semakin sedikit orang yang mau menggunakan cara ini untuk menangkap ikan.
Sesampainya di tepi sungai, dia meletakkan pelepah Enau. Memotongnya jadi beberapa bagian lalu mengikatnya dengan rotan tikus (Calamus minahassae). Tiap-tiap ikatan berkisar 20 lembar daun yang siap digunakan.
Papa Monge kemudian mencari lokasi di bagian sungai yang terlindungi dari terpaan singar matahari langsung. Dia kemudian memasang satu per satu Inanco dengan posisi berjejer kebawah, agar tidak hanyut diamenindihnya dengan beberapa batu.
Bagian sungai yang teduh dilindungi pepohonan adalah lokasi favorit ikan-ikan kecil seperti Bungu dan jenis lainnya untuk bermain. Mereka menjadikan Inanco sebagai tempat bersembunyi dari incaran predator.
“Mari pulang, nanti besok pagi kita ambil”ajak Papa Monge setelah memastikan Inanco aman dari kemungkinan hanyut.
Inanco adalah alat tangkap ikan yang dibuat dari seikat daun Enau yang ditenggelamkan di dasar sungai. Ini adalah satu dari sekian warisan budaya Danau masyarakat Pamona yang masih bertahan sampai hari ini. Kemewahan dari cara ini adalah ikan yang ditangkap adalah endemik seperti Bungu Masiwu (M.Sarasinorum). Kemewahan lainnya adalah, caranya yang ramah lingkungan dan syarat makna filosofi orang Poso yang mengajarkan untuk mengambil secukupnya.
Melihat proses membuat hingga memasang perangkap ikan yang ramah seperti ini menimbulkan rasa bahagia, karena bisa menikmati protein yang didapatkan dengan cara yang benar, tidak merusak alam, jejak karbonnya pun nihil. Sebab tidak ada bahan atau peralatan yang didatangkan dari luar untuk membuatnya.
Dari proses menangkap ikan dengan Inanco ini, kita melihat bagaimana papa dan mama Monge sangat menikmati pekerjaan mereka. mungkin karena punya sumber makanan sehat dan kaya protein yang mudah diperoleh. Terkadang, jika butuh lauk untuk makan malam, Papa Monge mengangkat Inanco miliknya. Hasilnya cukup untuk makan sekeluarga.
Jika butuh hasil tangkapan yang lebih banyak, baik untuk dijual atau untuk persiapan makan dalam jumlah besar, mereka akan mengangkat Inanco di pagi hari. Sebab, ikan M. Sarasinorum beraktivitas di malam hari, sehingga akan ada ratusan bahkan ribuan ekor ikan jenis itu menempel di setiap Inanco yang dipasang.
Seperti pagi itu, Papa Monge dan Mama Monge sudah berada di tepi sungai Bo’e untuk memanen ikan dari Inanco yang dipasang sore sebelumnya. Berbekal jaring berlubang kecil yang dibawa dari rumah keduanya kemudian mendekati Inanco yang dipasang ditempat agak dangkal, kedalamanya sekitar 50 cm. Saat Papa Monge mulai menyentuh bagian ujung Inanco, Mama Monge memasukkan jaring ke bagian bawah mengikuti gerakan suaminya yang perlahan terus mengangkat Inanco. Ikan-ikan ini kemudian jatuh terkumpul di jaring. Jadi, Inanco berfungsi seperti perangkap ikan dari bambu lainnya, bubu.
Kita ada ditengah ancaman kepunahan tradisi-tradisi leluhur yang mengajarkan cara mengambil hasil alam secukupnya, tanpa merusaknya. Setelah tradisi Mosango yang digusur untuk memuluskan investasi. Kita juga melihat bagaimana Waya Masapi, tradisi menangkap Sidat juga dihilangkan secara sistematis. Namun selalu ada yang menjaga tradisi meski jumlahnya semakin kecil dan menua. Seperti keluarga Papa dan Mama Monge di Desa Bo’e kecamatan Pamona Selatan yang masih menggunakan Inanco untuk menangkap ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagai sumber protein, warga desa-desa di sekitar Danau Poso sudah sangat paham kapan baiknya menangkap Ikan Bungu dan Bungu Masiwu. Yaitu di musim hujan antara Maret hingga Agustus. Di musim pancaroba dan musim timur ini, populasi kedua jenis ikan ini melimpah mulai dari danau hingga ke sungai.
Sebaliknya, saat kemarau populasinya menyusut, karena menyusutnya debit air sungai. Menghilangnya Bungu dan Bungu Masiwu saat kemarau dibuktikan oleh penelitian yang kami lakukan tahun 2018 lalu. Saat kemarau, kami masih menemukan jenis ikan M. Sarasinorum meski jumlahnya sedikit.
Karena cara kerjanya yang ramah alam, Inanco bisa dikatakan adalah model alat tangkap yang mendukung upaya konservasi melalui pengembangan kearifan lokal. Alasan ini sangat kuat. Upaya menjaga ikan-ikan endemik menjadi penting saat ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, kelimpahan populasi ikan endemik Danau Poso telah menunjukkan tren menurun. Sejumlah ancaman menjadi sebabnya, mulai dari invasi ikan-ikan introduksi dari luar hingga penangkapan berlebihan. Ancaman lain adalah eutrofikasi, yakni peningkatan produktivitas fitoplankton yang disebabkan oleh meningkatnya unsur nutrien. Nutrien adalah unsur atau senyawa kimia yang digunakan dalam metabolisme suatu organisme.
Salah satu contoh ikan yang terkena dampaknya adalah ikan gobi Sarasin M. sarasinorum yang di dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List berubah dari Rentan menjadi Genting pada tahun 2019. Ikan goby ini diketahui diperdagangkan sebagai ikan hias meskipun dampak dari perdagangan ini belum dikuantifikasi. Ikan gobi Sarasin juga dikenal dikenal sebagai Black Toradja’s Goby dalam perdagangan ikan hias, di daerah sekitar habitat aslinya di Danau Poso, ikan ini dikenal dan dijual di pasar lokal sebagai Bungu Masiwu.
Sebagai danau tektonik air tawar yang terbentuk sekitar 2 juta tahun tahun yang lalu, Danau Poso yang memiliki luas 323 km2 dan kedalaman maksimum sekitar 450 meter mengalami Isolasi geologis, geografis, dan ekologis hingga menyebabkan evolusi biota perairan yang unik. Kondisi itu menghasilkan fauna endemik meliputi beberapa spesies ikan berukuran kecil termasuk Adrianichthys kruyti, A. oophorus, A. poptae, A. roseni, Oryzias nebulosus, O. nigrimas, dan O. orthognathus. Kemudian ikan Bungu dan Bungu Masiwu Mugilogobius amadi dan M. sarasinorum. Juga Ikan Anasa Nomorhamphus celebensis.
Pada tahun 2013, Danau Poso dinilai sebagai Key Biodiversity Area (KBA) oleh Burung Indonesia. Pada tahun 2017 Perencanaan Konservasi Partisipatif telah dilakukan di 4 desa di kecamatan Pamona Barat yakni Meko, Salukaia, Owini, dan Uranosari.
Konservasi ikan endemik di Danau Poso menjadi penting, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengatasi dampak penggunaan herbisida dan pestisida di daerah aliran sungai di sekitarnya.