Tidak pernah mudah menjadi seorang pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Para pendamping perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Poso mendapatkan tekanan berlapis. Tekanan itu datang dari lingkungan sekitar, pemangku adat yang belum memiliki perspektif gender dan penegak hukum yang belum memiliki pengetahuan memadai.
Pengalaman Velma Riri Bambari, ibu rumah tangga yang aktif mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan di Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat yang terletak di Lembah Bada, menunjukkan adanya tekanan itu.
Tekanan pertama muncul dari lamanya penanganan di Kepolisian. Velma mencontohkan satu kasus kekerasan seksual terhadap anak yang didampinginya. Kasus itu terjadi pada tahun 2022 lalu dan belum kunjung selesai sampai saat ini karena Polisi belum bisa menangkap pelaku. Sudah sekian kali dia menanyakan perkembangan penanganan kasus itu. Bulan April 2024 lalu, dia kembali bertanya lagi ke Polres. Jawaban yang didapatnya, pelaku ada di luar wilayah. Kepolisian juga sulit mencari pelaku karena keterbatasan biaya operasional.
“Bukankah ini negara hukum. Polisi ada dimana-mana diseluruh wilayah Indonesia. Jadi menurut saya alasan ini aneh sekali”kata Velma dalam diskusi bersama dengan pendamping korban lainnya dalam di kantor Institut Mosintuwu akhir Mei 2024. Diskusi ini difasilitasi oleh Lian Gogali, inisiator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak , dengan
Dalam diskusi peningkatan kapasistas pendamping di Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu, Velma menceritakan tekanan terkadang juga datang dari pihak-pihak yang ingin menyelesaikan perkara perkosaan atau pelecehan seksual secara adat. Dia menentang proses penyelesaian seperti ini. Menurutnya, kekerasan seksual atau penganiayaan harus diselesaikan lewat hukum positif. Dalam sebuah kasus yang didampinginya, dia didatangi keluarga pelaku yang coba mengajaknya bernegosiasi agar kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan atau adat.
Pelaku menggunakan kerabatnya untuk menekan sisi psikologis Velma. Meminta dia membayangkan hancurnya masa depan pelaku yang masih berusia muda karena pernah menjalani hukuman penjara. Terhadap tekanan seperti ini, dia punya cara sederhana. Membalikkan pertanyaan itu kepada orang yang mendatanginya. Bagaimana masa depan korban yang dihancurkan oleh pelaku?.
Tidak berhasil melakukan pendekatan, para pendukung pelaku kekerasan menyebarkan informasi bahwa Velma memprovokasi keluarga korban agar kasusnya diselesaikan melalui hukum positif. Langkah ini bagi beberapa pemangku adat yang belum sadar dianggap menggerogoti kewibawaan mereka.
Sebagai konsekuensinya, pada tahun 2020 lalu panggilan menghadap ke lembaga adat dilayangkan kepada dia. Waktu itu dia dituduh melawan adat dan tidak menghargai para pemangkunya karena mendampingi korban kekerasan seksual melapor ke Polisi.
“Kalau hukum adat berpihak ke korban saya ikut. Kalau tidak, kita bawa ke kepolisian”katanya ke hadapan lembaga adat.
Belakangan, lembaga adat di Lembah Bada berupaya memperbaiki sikap mereka terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lewat musyawarah adat wilayah Bada yang diselenggarakan tahun 2023, diputuskan kasus kekerasan seksual harus diselesaikan di jalur hukum positif.
Boleh Cerai, Tetapi Bebaskan Dulu Pelaku dari Penjara
Tekanan juga dialami Sariana, ibu rumah tangga yang aktif mendampingi perempuan korban di wilayah Pamona Timur. Dia mendampingi kasus perkosaan yang dialami seorang anak berusia 11 tahun yang diperkosa oleh suami kakak kandungnya. Tekanan dari lembaga adat agar kasus ini diselesaikan diluar jalur hukum positif sangat kuat. Tekanan yang digunakan sebenarnya merendahkan korban. Siapa yang akan menafkahi istri pelaku jika suaminya masuk penjara?. Dia lalu diminta agar rujuk dengan suaminya.
Setelah pelaku divonis penjara. Istrinya yang tidak lain kakak dari korban mengajukan gugatan cerai ke dewan adat di desa. Namun lembaga itu tidak mau membolehkan. Dia lalu mengajukan banding ke dewan adat kecamatan. Oleh lembaga banding ini dia diberi syarat yang tidak masuk akal. Harus mengeluarkan dulu suaminya dari penjara.
Sariana menceritakan, saat mengajukan perceraian itu,istri yang juga korban mendapat tekanan psikologis luarbiasa. “Dia bilang, bagaimana mungkin saya mau rujuk, sedangkan yang dia perkosa itu adalah adik kandung saya”cerita Sariana saat sesi berbagi pengalaman dengan pendamping lainnya di RPPA Mosintuwu.
Kasus lain yang didampinginya, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi pengalaman penting bagi Sariana bagaimana tekanan muncul. Salah satunya adalah pandangan yang menyudutkan korban. Selain menjadi kasus yang dianggap masih asing di tengah masyarakat di desa, perkara ini juga ternyata membutuhkan kerjasama dengan komunitas disekitar korban untuk saling membantu. Meski sudah berlangsung sejak tahun 2023, perkara ini belum diputus oleh pengadilan.
Banyaknya tekanan yang dialami korban hingga pendamping menurut Martince Baleona, juga terjadi karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan masalah apa saja yang dialami oleh para korban sepanjang hidupnya. Dari sisi hukum, banyak orang yang masih beranggapan, menyelesaikan masalah lewat pengadilan negeri atau pengadilan agama, membutuhkan banyak biaya karena itu dianggap justru menambah masalah. Kurangnya pengetahuan tentang hukum ini digunakan oleh pelaku dan pendukungnya untuk mengendapkan perbuatan kriminal mereka agar tidak muncul ke permukaan atau diselesaikan secara adat.
“Tidak ada cara lain, kita masyarakat harus punya pengetahuan hukum, pengetahuan mengenai undang-undang”kata koordinator Sekolah Pembaharu Desa Institut Mosintuwu ini.
Pengetahuan mengenai aturan perundang-undangan menjadi hal yang harus dikuasai oleh para pendamping korban seperti Velma, Sariana dan Martince.
Praktisi hukum, Evani Hamzah mengatakan ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan oleh para pendamping perempuan korban kekerasan. Yang pertama, pentingnya membangun jejaring tidak hanya dengan kelompok masyarakat sipil, namun juga dengan aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, jaksa hingga tokoh adat. Menurutnya, masih banyak orang-orang dilembaga itu yang punya perspektif bagus. Kedua, pengetahuan hukum harus diperkuat. Pengetahuan hukum menjadi bahan bagi para pendamping dalam proses penyelesaian kasus hukum yang berjalan. Sebab penguasaan terhadap KUHP dan KUHAP akan turut mempengaruhi penggunaan pasal oleh penyidik terhadap pelaku.
“Berhadapan dengan sistem hukum yang tidak bagus maka berjejaring menjadi sangat penting dan berarti dalam proses pendampingan yang kita lakukan”kata Evany. Pengalamannya sebagai aktivis maupun pengacara membuatnya mafhum beratnya tugas sebagai pendamping korban yang dihimpit sistem hukum positif yang masih membebani korban, hukum adat yang tidak adil hingga masih kurangnya perhatian masyarakat terhadap korban.
Sejumlah masalah itu berkontribusi pada masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulteng yang masih menunjukkan tren meningkat. Di tahun 2023 tercatat ada 665 kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Sebanyak 58 kasus diantaranya berasal dari Kabupaten Poso. Dari jumlah itu, 335 kasus adalah kekerasan seksual.
Berbeda dengan data SIMFONI-PPA tahun 2023, di tahun yang sama jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani Polda Sulteng mencapai 988 kasus.(https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7117384/polda-sulteng-tuntaskan-penanganan-3-395-kasus-sepanjang-2023). Hingga minggu pertama Juni 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah mencapai 217 kasus.
Dari jumlah kasus di Sulteng, sebanyak 10 kasus diantaranya berada di Kabupaten Poso.Dari jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulteng, sebanyak 153 kasus terjadi di rumah. Sebanyak 104 kasus adalah kekerasan seksual. Berdasarkan usia, korban berusia 0-5 tahun sebanyak 23 orang. Usia 13-17 tahun sebanyak 80 orang dan usia 18-24 sebanyak 19 orang. Data ini menunjukkan, mayoritas korban adalah anak. Pelaku, paling banyak adalah orang tua yakni 35 kasus. Suami 31 kasus. Pacar 30 kasus.
Data kasus ini sesungguhnya tidak menunjukkan angka sebenarnya. Seperti pengalaman Velma, Sariana, Martince Baleona dan beberapa orang pendamping korban lainnya, banyak orang yang tidak mau melaporkan peristiwa yang mereka atau keluarga alami karena takut. Baik karena merasa tabu, hingga malu dan merasa melaporkan apa yang mereka alami justru akan semakin menyusahkan mereka.