Kerja Kolaborasi Anak Muda Poso Merawat Toleransi, Budaya, Lingkungan

0
511
Produksi film "Sekandung Badan " oleh komunitas Kayu Hitam sebagai bagian dari kolaborasi karya kegiatan Hibah Partisipatif JISRA Indonesia. Foto : Komunitas Kayu Hitam

Mata Dewi Pomounda (27) berkaca-kaca saat berbicara dengan Fita (22). Keduanya sembab ketika menyadari betapa konflik yang terjadi saat mereka masih balita berdampak pada hubungan sosial di masyarakat hingga mereka dewasa.

Dewi yang tinggal di Desa Tindoli kecamatan Pamona Tenggara dan Fita Libbe tinggal di Desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir . Mereka berkenalan sejak sama-sama terlibat dalam beberapa kegiatan di Institut Mosintuwu. Keduanya semakin akrab saat terlibat dalam pembuatan film yang digarap Komunitas Kayu Hitam. Komunitas Kayu Hitam merupakan salah satu komunitas yang bergabung dalam sebuah project kolaborasi antar anak muda di Kabupaten Poso dalam program  Participatory Grant Making (PGM) atau Hibah Partisipatif .

Film berjudul Sekandung Badan yang disutradarai Saifullah Mechta ini bercerita tentang hubungan dua saudara beda agama di Kabupaten Poso yang menjadi canggung pasca konflik yang melanda kabupaten Poso tahun 1998-2023. Meski konflik sudah usai, namun hubungan sosial belum kembali terajut utuh. Situasi politik Indonesia yang kerap menyeret isu perbedaan agama membuat hubungan antar warga sering hangat di permukaan, namun dingin dibawah. Hal itu berdampak pada hubungan antar keluarga yang berbeda agama sebagaimana digambarkan dalam film yang diperankan oleh Dewi dan Vita Libbe.

Salah satu bagian penting dari program film ini adalah Interaksi Sosial. Produksi film Sekandung Badan tidak hanya sekedar kerja membuat film semata. Selama proses mulai dari workshop  sound enginer, workshop bedah naskah hingga workshop membaca naskah merupakan proses interaksi penting diantara semua orang yang terlibat. Para pemain, Dewi Pomounda, Lius Tadale, Tasya  yang beragama Kristen dan tinggal di wilayah Pamona Puselemba dan Pamona Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen  harus tinggal sementara di wilayah Poso Kota yang mayoritas warganya beragama Islam.  Interaksi mereka dengan pemain lainnya yang beragama Islam Afni Ondu, Ruslan Maku, Nurfita Libbe dan Muhamad Alif.M Syahrir mampu membangun dialog  yang sebelumnya jarang dilakukan.

Produksi film “Sekandung Badan ” oleh komunitas Kayu Hitam sebagai bagian dari kolaborasi karya kegiatan Hibah Partisipatif JISRA Indonesia. Foto : Komunitas Kayu Hitam

Interaksi Lintas Agama, Lintas Isu

Interaksi sosial antar anak muda berbagai agama di Kabupaten Poso melalui project kolaborasi ini sejak awal menjadi nilai yang disepakati bersama oleh 6 komunitas yang bergabung di program Hibah Partisipatif.   Komunitas Okotaka di Tentena berkolaborasi dengan Komunitas Orang Tokorondo di Poso Pesisir. Komunitas Poso Scooter di Poso Kota berkolaborasi dengan Komunitas Mosikola Teologi yang terdiri dari mahasiswa Teologi, dan dengan komunitas Jelajah Budaya yang terdiri dari beragam anak muda Poso. Meskipun komunitas lainnya , seperti Komunitas Kayu Hitam, Komunitas  Tidak Production, Komunitas Kurang Kreatif memimpin kegiatannya sendiri karena membutuhkan keahlian khusus, namun  dalam pengerjaannya selalu memastikan keterlibatan keberagaman agama dan suku.

Selain film Sekandung Badan yang menggambarkan betapa beragam dan tolerannya masyarakat Poso sejak dahulu, program HIbah Partisipatif ini juga mendukung upaya komunitas musik untuk melantangkan persaudaraan dalam perbedaan dalam sebuah kolaborasi musik yang diberi titel Satuara.  Satuara dikerjakan oleh komunitas Kurang Kreatif, sebuah wadah berkumpul dan berkarya anak-anak muda di Poso Kota yang penduduknya mayoritas muslim. Saiful Borgol, salah satu anggota komunitas ini menjelaskan, Satuara, tanpa huruf H dibelakangnya, berarti satu arah menuju masa depan. Kolaborasi ini melibatkan musisi-musisi dari wilayah Pamona dan sekitarnya dan Poso Kota. Total ada 5 band dan penyanyi yang menyumbangkan karya lagunya dengan tema persaudaraan, lingkungan, kebudayaan dan toleransi.

Baca Juga :  Merasakan Semangat Perempuan Dulumai di Festival Tradisi Kehidupan

Tentu tidak mudah menyatukan para seniman ini dalam satu project, meskipun semuanya sepakat untuk memajukan isu toleransi, lingkungan, persaudaraan, budaya dan toleransi dalam karya-karya mereka. Namun perbedaan pandang soal bagaimana caranya, menjadi perdebatan. Album ini membuat mereka harus benar-benar menemukan ritme yang cocok dengan aliran masing-masing dan diterima publik luas. Saiful optimis, hasil karya kolaborasi ini akan didengar banyak orang. Namun dia lebih yakin, album kompilasi ini menjadi salah satu jejak untuk menunjukkan, perbedaan adalah hal lumrah dan harus dijalani dengan saling menghargai dan menghormati.

Proses bersama membuat album mini ini bukan hanya memperkenalkan mereka dengan model kolaborasi dalam bermusik, namun juga menciptakan hubungan yang akrab hingga tanpa canggung bisa bercanda tentang persoalan oknum dalam agama. “ Saya dan Eki tidak lagi sungkan untuk saling mengirimkan informasi melalui WA mengenai bagaimana ada institusi atau oknum agama Islam atau Kristen berbuat tidak sesuai ajarannya” demikian cerita Saiful. Saling memberi komentar tentang agama Kristen atau agama Islam menjadi tabu di Poso sejak konflik Poso. Sekarang mereka tanpa beban dan melihatnya tanpa tersinggung apalagi berkonflik. Agama dilihat dengan lebih mendalam bukan permukaan.

Sementara itu Riston Pamona, vokalis Guritan Kabudul, duo yang turut ambil bagian dalam upaya memajukan toleransi dan kebudayaan di Kabupaten Poso ini menceritakan, lagu dalam album mini bersama berisi ungkapan-ungkapan pentingnya merawat lingkungan dan persaudaraan. Menurut Riston, sulit membicarakan masa depan tanpa memaknai persaudaraan, kebudayaan dan upaya pelestarian alam dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas Okotaka dan Komunitas Orang Tokorondo dalam kolaborasi Ekspedisi Plastik di kegiatan PGM JISRA Indonesia . Foto : Okotaka

Isu lingkungan khususnya sampah plastik menjadi perhatian penting dalam kerja kolaboratif komunitas Okotaka dan Orang Tokorondo. Komunitas Okotaka telah memberikan perhatian khusus pada serakan sampah plastik di wilayah Danau Poso sejak tahun 2019, sementara Orang Tokorondo memberi perhatian tentang bagaimana plastik yang telah digunakan bisa dicegah serakannya merusak alam. Kedua komunitas bekerjasama dengan mengangkut sampah-sampah plastik di berbagai aliran sungai dan tepi danau serta laut wilayah Tokorondo. Aktivitas ini mereka sebut Ekspedisi Plastik. Meskipun topik utamanya adalah sampah, kolaborasi kegiatan ini telah merekatkan hubungan antar anak muda dari beragam agama. Sebelum. kegiatan ini antar kedua komunitas tidak saling mengenal satu sama lain, namun kegiatan mengangkut sampah bersama bukan hanya membuat mereka saling mengenal tapi juga memahami perlunya kerjasama antar agama mengatasi isu lingkungan.

Baca Juga :  Mereka Yang Membangunkan Sahur

Dony dari Komunitas Okotaka menyebutkan kolaborasi dalam isu sampah ini mendekatkan mereka meskipun secara jarak berjauhan. “Dalam kegiatan aksi ekspedisi plastik kami bekerja sama bersama dngan komunitas orang Tokorondo.. Walaupun jarak kita yang agak jauh tetapi komunikasi kita tetap baik untuk membahas kegiatan yang akan kita lakukan bersama dan membangun persaudaraan di dalam perbedaan “

Lain halnya dengan Komunitas Dongeng Poso.  Kemajuan teknologi, terutama penggunaan gawai dari orang tua hingga anak-anak mengubah kebiasaan dari bercerita/mendongeng menjadi menonton konten-konten yang ditawarkan berbagai platform, sebut saja tiktok, instagram, facebook dan youtube. Fenomena ini membuat Dina Ancura (16) risau. Remaja dari kelurahan Sawidago, Kecamatan Pamona Utara ini kemudian mengajak beberapa orang teman-temannya untuk membentuk Komunitas Dongeng Poso. Mereka bertekad membawa kembali dongeng-dongeng yang sarat makna ke ingatan anak-anak hingga remaja lewat berbagai platfom media yang mudah dijangkau.

Bersama Tia Bawias, Rachel dan Nina Suaki, dua remaja lainnya di Tentena, mereka mengajak anak-anak muda lainnya mengenal dongeng dengan mengumpulkan dan membaca kembali lalu merekamnya. Kini komunitas Dongeng Poso sudah beranggotakan 15 orang anak muda dari berbagai agama. Mereka sering berkumpul dan membicarakan bagaimana agar mendongeng bisa menarik lebih banyak orang untuk terlibat. Di dukung oleh Hibah Partisipatif, Komunitas Dongeng kemudian membuat program Panggung Dongeng. Ini adalah kegiatan  mendongeng yang disiarkan langsung di radio mosintuwu dan dibuatkan dalam format Youtube serta bisa dilihat di instagram.

Echa, salah satu anggota komunitas dongeng menyampaikan dongeng di Panggung Dongeng Poso. Foto : Komunitas Dongeng Poso

Dina mengatakan, sudah ada 15 dongeng yang terkumpul dan dipilih melalui proses kurasi yang ketat. Nantinya dongeng ini akan direkam agar terdokumentasi dengan baik. Dongeng tentu bukan hanya cerita. Ada banyak hal lain yang menyertainya, diantaranya nilai kebudayaan orang Poso yang selalu muncul disetiap cerita. Misalnya, alam akan menjawab apapun yang dilakukan manusia terhadapnya. Dongeng juga membuat anak muda lebih mengenal alam dan budayanya sendiri.

Selain Film, Musik dan Dongeng, program Hibah Partisipatif  di Poso juga mendukung upaya mendokumentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat Kabupaten Poso yang beragam. Komunitas Tidak Production yang memberi perhatian pada dokumentasi foto dan film pendek. Komunitas ini mengajak anak-anak sekolah dan komunitas foto di Kabupaten Poso untuk terlibat dalam proses pendokumentasian itu. Lewat serangkaian workshop untuk memberi tambahan bekal pengetahuan tentang Foto Bercerita yang dibantu oleh Basri Marzuki, fotografer jurnalis dari Kota Palu, anak-anak muda ini kemudian diminta bercerita dengan mengabadikan momen sehari-hari dilingkungan mereka.

Basrul Idrus, pegiat Komunitas Tidak Production mengatakan, mereka terus mendorong anak-anak muda untuk menyadari bahwa mendokumentasikan kehidupan sehari-hari adalah hal penting, terutama untuk mengenal lingkungan sosial dan alam disekitar mereka. Rencananya, karya-karya seri foto bercerita itu akan dipamerkan dalam acara kemping Padu Satu.

Baca Juga :  Kebun Bersama : Gerakan Kembali Berkebun, Belajar dari Sejarah Wabah Poso

Kemping Padu Satu, direncanakan kegiatannya oleh kolaborasi komunitas Poso Scooter, komunitas Jelajah Budaya dan komunitas Mosikola Teologi. Ide kemping bersama dibicarakan sebagai puncak acara kolaborasi antar komunitas penerima Hibah partisipatif. Aba, pendiri komunitas Poso Scooter menjelaskan keseruan yang akan terjadi di kemping Padu Satu ini. Selain akan melibatkan ratusan anak muda dari berbagai desa , beragam agama dan suku dari seluruh Kabupaten Poso, kemping Padu Satu ini juga akan menghadirkan karya-karya yang diproduksi oleh komunitas anak muda penerima Hibah Partisipatif.

“Akan ada peluncuran film Sekandung Badan, akan ada pameran foto hasil produksi teman-teman Tidak Production, akan ada peluncuran album mini komunitas Kurang Kreatif, akan ada Panggung Dongeng , juga seminar lintas agama dan instalasi pameran hasil Ekspedisi Plastik. Pokoknya ini sudah mirip festival keberagaman-nya anak muda Poso” ujar Aba dengan bangga.

Komunitas Tidak Production saat memproduksi foto bercerita dengan tema toleransi, budaya dan lingkungan. Foto : Komunitas Tidak Production

Partisipasi Komunitas

Hibah Partisipatif disusun bersama oleh komunitas-komunitas anak muda yang diundang oleh Institut Mosintuwu pada akhir tahun 2023. Hibah partisipatif ini didukung oleh Konsorsium JISRA Global ( Inisiatif Bersama Aksi Strategi Agama-Agama ) dan diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu. Ide awal Hibah Partisipatif ini adalah menawarkan kepada komunitas untuk menyusun sendiri rencana aktivitas mereka dengan mengusung isu toleransi, lingkungan dan budaya lalu akan dipilih beberapa komunitas untuk melaksanakan kegiatannya. Isu ini telah menjadi perhatian utama Institut Mosintuwu sebagai penyelenggara Hibah Partisipatif. Dalam serangkaian workshop bersama komunitas, alih-alih mengerjakan kegiatan sendiri-sendiri, komunitas telah bersepakat berkolaborasi dalam mengerjakannya. Komunitas tidak berkompetisi untuk mendapatkan dana hibah partisipatif, sebaliknya bekerjasama dalam menjalankan kegiatan bersama.

“Kolaborasi antar komunitas dengan pelibatan aktif anggota lintas agama dan suku menjadi jantung dari kegiatan hibah partisipatif ini “ Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu yang menfasilitasi proses workshop menjelaskan alasan memilih kolaborasi sebagai model pelaksanaan hibah. Menurutnya, kompetisi atas dana hibah berpotensi merusak cara kerja komunitas dan ekosistem gerakan. Tujuan setiap komunitas dalam bergerak diyakini untuk kedaulatan rakyat, karena itu mengumpulkan gerakan bersama dan bekerja kolaboratif menjadi penting dan mendesak.

Proses kolaborasi dan partisipasi dimulai dari awal. Dalam mengerjakan proposal dan kebutuhan anggaran kegiatan, seluruh komunitas duduk bersama membicarakannya. Masing-masing komunitas mempresentasikan rencana kegiatannya dan anggaran yang dibutuhkan . Komunitas lainnya akan memberikan komentar, usulan, sebelum menyetujuinya bersama-sama. Bukan hanya kegiatan dan anggaran, seluruh komunitas menyusun bersama nilai-nilai dalam pelaksanaan kegiatan. Hasilnya, disepakati bersama bahwa dalam pelaksanaan kegiatan seluruh komunitas

Diakui bahwa berkolaborasi bukan hal yang mudah dalam ekosistem yang penuh kompetisi, namun membiasakan dan mendorong berkolaborasi dalam bekerja menciptakan karya atau melakukan kegiatan telah menciptakan hubungan saling belajar. “ Kami saling belajar sehingga menjadi lebih matang dalam berkarya” ungkap Saifullah.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda