“ Orang Indonesia paling banyak makan plastik” . Wajah-wajah dalam ruangan itu terkesiap. Semua tahu tentang plastik, tapi kenyataan bahwa plastik yang dikonsumsi itu telah masuk dalam tubuh manusia merupakan informasi baru bagi sebagian besar mereka.
Kata kunci di mesin pencari ini mengawali perbincangan tentang bahaya plastik sekali pakai dalam serangkaian workshop Saya Pilih Bumi : Tolak Plastik Sekali Pakai. Workshop ini diselenggarakan komunitas Okotaka dan komunitas Orang Tokorondo, bekerjasama dengan Institut Mosintuwu dan Ecoton. Workshop ini merupakan bagian dari pelaksanaan program hibah partisipatif Joint Initiative Strategic Religion Action ( JISRA ) Indonesia. Kegiatan dilakukan di Dodoha Mosintuwu, balai desa Tokorondo, Pondok Pesantren Pondok Pesantren Gontor khususnya bersama santri Putra, dan SMA Negeri Harmoni Pamona Utara.
Dilatarbelakangi dengan kenyataan bahwa Kabupaten Poso yang merupakan kabupaten dengan 3 air, yaitu danau, sungai dan laut yang saling terhubung satu sama lain saat ini menghadapi tantangan kepungan plastik yang dibuang sembarangan. Padahal, sebagian besar warga menggantungkan sumber airnya pada danau dan sungai, serta mata pencahariannya di danau atau laut. Pengamatan langsung dan pengalaman komunitas Okotaka dan komunitas Orang Tokorondo serta Institut Mosintuwu dalam 5 tahun terakhir , pemahaman tentang bahaya plastik sekali pakai sangat kurang, sementara pengelolaan sampah masih sangat minim.
Prigi Arisandi, pendiri Ecoton yang pernah melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara di 65 sungai Indonesia mengajak peserta workshop untuk mengetik kata kunci di mesin pencari. Kata kunci ini mengantar pembacaan para peserta workshop tentang bahaya plastik sekali pakai dan mulai mengenal mikroplastik. Ada makroplastik, mesoplastik, mikroplastik dan nano plastik. Secara khusus dibahas mengenai mikroplastik yaitu potongan plastik berukuran kurang dari 5 mm hingga 1 um. Terdapat 2 sumber mikroplastik, pertama berasal dari degradasi atau polongan plastik besar misalnya botol dan gelas minuman kemasan serta tas kresek; kedua, berasal dari bahan industri yang sengaja dibuat untuk ditambahkan pada produk misalnya produk kecantikan dan pasta gigi. Daru Setyorini, peneliti Ecoton menjelaskan mikroplastik tersebut saat ini telah ditemukan di banyak bagian tubuh manusia.
“Mikroplastik ditemukan di air itu sudah banyak penelitian dan tulisan di jurnal. Namun mikroplastik ternyata juga sudah ditemukan di feses manusia, di paru-paru, di air susu ibu , di plasenta, di otak bahkan dalam darah”
Memperkuat pernyataan ini, pencarian di mesin pencari dilanjutkan dengan mengetik kata kunci lainnya seperti mikroplastik di air susu ibu, mikroplastik di feses manusia, mikroplastik di plasenta, mikroplastik di sperma dan seterusnya. Daru menyebutkan, Ecoton telah lama gelisah dengan kemungkinan tersebut sehingga secara konsisten terus menerus mengkampanyekan bahaya plastik sekali pakai. Mikroplastik ini telah dianggap mengancam kesehatan manusia dan lingkungan.
Untuk memastikan status peredaran mikroplastik di wilayah Kabupaten Poso, selama workshop dilakukan penelitian kecil. Sampel air diambil di Danau Poso, Sungai Poso, air laut dari pantai Desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir . Sampel daun diambil di sekitar lokasi dan rumah peserta. Sampel udara ditangkap di wilayah kelurahan Pamona, dan beberapa jenis daun di desa asal peserta, sedangkan sampel udara ditangkap di kelurahan Pamona, Tokorondo, dan wilayah kantor camat Pamona Utara. Sampel juga diambil dari 2 wajah peserta workshop. Hasil penelitian terhadap sampel itu menemukan, air dan udara diwilayah di Kabupaten Poso telah tercemar mikroplastik.
Diakui oleh Prigi dan Daru, jumlah mikroplastik yang ditemukan di wilayah Kabupaten Poso lebih sedikit dibandingkan dengan mikroplastik di daerah Jawa yang pemukimannya sudah padat. Namun, jika perilaku penggunaan plastik sekali pakai ini tidak diubah maka dipastikan jumlah mikroplastik akan meningkat. Peningkatan jumlah mikroplastik akan mempengaruhi tingkat kesehatan manusia dan lingkungan di wilayah Kabupaten Poso. Lenny Palese, salah seorang peserta workshop mengungkapkan pentingnya kesadaran tentang keberadaan dan bahaya mikroplastik ini untuk bisa menyusun rencana bersama mencegahnya
“Kita ini tidak bisa lepas dari plastik. Sebagai warga masyarakat dan komunitas yang mengetahui mengenai keberadaan mikroplastik di Kabupaten Poso dan bahaya mikroplastik, kami ingin agar Kabupaten Poso bisa bebas plastik sekali pakai”
Gerakan Saya Pilih Bumi : Tolak Plastik Sekali Pakai
Konsumsi plastik sekali pakai telah mempermudah hidup manusia dan menjadi gaya hidup, namun manusia tidak bertanggungjawab atas apa yang digunakannya.
“Cara pikir dan gaya hidup jaman sekarang yang maunya instan telah membuat alam dan manusia menderita. Memang plastik itu mempermudah tapi sebenarnya dampaknya membuat penderitaan yang berabad-abad lamanya” demikian Nina, panggilan akrab Aesnina Azzahra Aqilani , aktivis lingkungan co-captain River Warrior.
Penggunaan plastik yang tidak bertanggungjawab ini nampak dalam survei online yang dilakukan oleh Institut Mosintuwu dan Ecoton. Survei online ini hingga 13 Juli 2024 diikuti oleh 205 orang dari 5 wilayah desa/kelurahan/dusun di Kabupaten Poso. Sebanyak 62,9 persen responden mengatakan, masalah lingkungan yang paling mengkhawatirkan di Kabupaten Poso adalah pencemaran sampah plastik. Diurutan kedua masalah lingkungan adalah pencemaran sungai / danau / dan laut sejumlah 18,5 %. Tribunpalu.com pada tanggal 29 November 2023 memberitakan 400 ton sampah masuk ke TPA Poso setiap.
39 persen responden juga mengatakan, sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik sebagai salah satu sebab tingginya kejadian banjir belakangan ini di Sulawesi Tengah. Di sisi kesehatan, sebanyak 44,4 persen responden mengkhawatirkan sampah plastik mengancam kesehatan manusia di Kabupaten Poso.
Menariknya, saat ditanya apakah mereka melakukan pengelolaan sampah dengan benar di rumahnya? Hanya 31,7 persen responden yang melakukan pemilahan sampah di rumahnya. Mayoritas atau 68 persen mengakui mereka membakar sampah plastik, 22 persen menyebutkan dibuang di tempat sampah. Responden juga menyebutkan jenis sampah plastik yang paling banyak dihasilkan di rumah adalah bungkus plastik makanan 40,5 persen; tas kresek 32,7 persen dan 19 persen adalah saset makanan.
Daru Setyorini menyebutkan tiga pihak harus bertanggungjawab dalam penyelesaian masalah plastik sekali pakai yaitu pemerintah, produsen atau perusahaan, dan masyarakat. Saat ini terdapat 113 pemerintah kota dan daerah telah membuat kebijakan untuk menolak plastik sekali pakai. Ketiganya perlu membuat kebijakan, melakukan tindakan yang secara efektif meniadakan plastik sekali pakai.
Nina menceritakan mengenai advokasi yang dilakukannya sejak berusia 12 tahun untuk menghentikan impor sampah plastik dari berbagai negara dengan cara menulis surat. Surat yang dikirimkannya ke Presiden Amerika Serikat ( Donald Trump dan Joe Biden ), Kanselir Jemran, Duta Besar Australia, Duta Besar Belanda telah setidaknya mendorong kebijakan Nina menyebutkan bahwa generasi muda berhak untuk mendapatkan udara yang bersih, sungai yang jernih dan lingkungan yang sehat di masa depan.
“Kita berhak mendapatkan udara yang sehat, air yang bersih sehingga bisa tetap berenang dengan nyaman di danau. Jangan sampai generasi sekarang merampas apa yang sudah menjadi hak kita. Anak muda tidak tinggal diam, karena suara anak muda itu sangat kuat dan berdampak. Anak muda juga harus beraksi untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang sehat bebas dari mikroplastik”
Informasi tentang mikroplastik dan bahayanya telah menggugah kepedulian sekaligus kegelisahan mereka yang mendengarkan. Dalam workshop yang difasilitasi Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu, disepakati untuk membangun jaringan dan kelompok untuk mengkampanyekan diet plastik mulai dari diri sendiri hingga lingkungan sekitar. Menggunakan botol minuman isi ulang dan menolak penggunaan botol minuman sekali pakai serta membawa wadah makanan sendiri, merupakan tindakan yang harus dinormalisasi pada semua orang.
Beberapa ide yang kemudian muncul untuk dilakukan adalah membuat Warung Refill. Yakni mendorong kios dan warung untuk tidak menyiapkan plastik atau kantongan kresek kepada pembeli yang datang. Beberapa contoh untuk bertanggungjawab atas plastik yang dikonsumsi juga telah dilakukan di Desa Tindoli kecamatan Pamona Tenggara dengan membuat Ecobrik atau bata dari plastik. Komunitas yang kemudian menamakan dirinya Saya Pilih Bumi merencanakan beberapa inisiatif antara lain Sekolah Ekologis, Gereja Ekologis, Pesantren Ekologis. Seiring dengan inisiatif tersebut, direncanakan juga penelitian tentang penggunaan plastik sekali pakai , keberadaan mikroplastik, serta penelitian tentang wadah alternatif di Kabupaten Poso. Beberapa kelompok yang selama ini telah melakukan gerakan angkut sampah, akan mulai melakukan audit brand perusahaan produsen plastik. Ini untuk mendorong pertanggungjawaban perusahaan.
Yulius Tampai, kepala sekolah SMA Negeri Harmoni merespon cepat informasi yang disampaikan dalam workshop ini.
“ Kita akan menjadi sekolah ekologis. SMA Negeri Harmoni akan membuat aturan khusus, tata tertib untuk menolak plastik sekali pakai. Aturan ini akan disosialisasikan juga kepada orang tua siswa dan diterapkan di lingkungan asrama.”
Pernyataan ini disambut tepuk tangan meriah oleh seluruh siswa dan guru-guru yang hadir dalam ruangan. Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu dan Daru Setyorini menyambut pernyataan ini dengan komitmen akan mendampingi SMA Negeri Harmoni menjadi sekolah ekologis dengan harapan gerakan ini bisa meluas pada sekolah-sekolah lainnya di Kabupaten Poso.
Mendorong Kebijakan Daerah Tolak Plastik Sekali Pakai
Pemerintah menjadi pihak yang harus ikut mengambil bagian penting dalam gerakan menolak plastik sekali pakai. Hari Jumat, 12 Juli 2024, dalam audiensi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Murni Putosi, Komunitas Saya Pilih Bumi menyerahkan surat terbuka. Dalam surat terbuka yang disampaikan oleh Katherine 15 tahun, berisi kegelisahan komunitas atas kondisi plastik sekali pakai di Kabupaten Poso. Sura ini juga berisi usulan agar Pemerintah Daerah Kabupaten Poso membuat kebijakan untuk menolak plastik sekali pakai. Dalam audiensi ini, secara bergantian juru bicara komunitas, Fivi Anastasya Tarusu, Fita Libbe dan Lenny Palese menyebutkan sampah plastik yang sangat banyak dibuang dan mencemari sungai, danau dan laut di Kabupaten Poso. Ketiganya secara bergantian menjelaskan bahaya plastik sekali pakai, inisiatif yang sedang direncanakan dan usulan peraturan daerah.
Fita Libbe dari komunitas Orang Tokorondo menyebutkan , laut di wilayah Tokorondo sudah penuh sampah karena tidak ada pengaturan yang cukup kuat. Dony Dese dari komunitas Okotaka menceritakan aktivitas mereka mengangkut sampah berulangkali dilakukan di tempat yang sama, namun selalu berakhir dengan sampah yang baru di tempat yang sama. Dalam Survei online, 97,1 persen responden menyebutkan perlunya Peraturan Daerah yang mengatur penggunaan plastik sekali pakai.
Merespon usulan komunitas, Murni Putosi menyebutkan mendukung inisiatif yang sudah direncanakan dan menceritakan bahwa saat ini sudah ada surat instruksi yang diedarkan bagi para pemilik usaha di sekitar wilayah Danau Poso untuk tidak membuang sampah di danau. Namun, usulan komunitas untuk meningkatkan surat instruksi menjadi Peraturan Daerah mengenai plastik sekali pakai disambut baik untuk bisa ditindaklanjuti bersama ke depan.
Komunitas Saya Pilih Bumi menyampaikan komitmen untuk mengawal proses lahirnya kebijakan daerah Kabupaten Poso untuk menolak penggunaan plastik sekali pakai sambil melakukan serangkaian aksi nyata mengurangi hingga menghentikan penggunaan plastik sekali pakai.