Kemping Padu Satu : Menguatkan Toleransi, Persaudaraan dan Kebudayaan Anak Muda Poso

0
159
Suasana diskusi di instalasi Lahan Plastik yang dibuat oleh komunitas Okotaka dalam Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Untuk pertama kalinya , sejak tanggal 8 hingga 10 Agustus 2024 sembilan komunitas anak muda Poso dari berbagai bentuk karya berkolaborasi menyelenggarakan kemping.  Kemping dengan nama Padu Satu ini merupakan perayaan dari proses kolaborasi yang telah dilakukan oleh komunitas sejak Desember 2023. Kemping dengan nama Padu Satu menggambarkan semangat ke-sembilan komunitas untuk menampilkan karya-karya kreatif yang sudah mereka ciptakan selama 8 bulan terakhir dengan 3 topik utama yaitu, toleransi, lingkungan dan kebudayaan.

Ke-9 komunitas ini adalah, Kayu Hitam, Tidak Production, Kurang Kreatif , Okotaka, Orang Tokorondo, komunitas dongeng Poso, Mosikola Teologi, Jelajah Budaya dan Poso Scooter.  Mereka mendapatkan hibah partisipatif dari Joint Initiative Strategics for Religion Action ( JISRA ) Global  yang dilaksanakan oleh Institut Mosintuwu. JISRA adalah sebuah konsorsium 7 negara-negara di dunia untuk aksi agama-agama.

Dalam kegiatan yang digelar di Hutan Pinus Panorama Tentena ini,  hadir 100 anak muda lintas agama dan suku dari 27 desa / kelurahan. Sebagian dari mereka adalah anggota komunitas, sementara yang lainya merupakan komunitas kampus dan sekolah yaitu dari Sekolah Tinggi Agama Islam dan SMA Negeri Harmoni, serta komunitas Saya Pilih Bumi.  Para peserta yang hadir  mengikuti serangkaian kegiatan mulai dari jelajah budaya, seminar, workshop, pementasan dongeng dan panggung musik yang ditampilkan oleh komunitas anak-anak muda Poso.

Dewi Tadonggu, ketua panitia pelaksana Kemping Padu Satu dalam catatan pengantar di pembukaan kemping menjelaskan tema kemping ini adalah Menjelajah, Bermimpi dan Menemukan. Tema ini menjadi gambaran semangat kolaborasi kreatif komunitas anak muda lintas agama di Poso.  Dewi menceritakan bahwa  selama 8 bulan terakhir, sejak bulan Desember 2023 hingga Agustus 2024, komunitas-komunitas ini menjelajahi ruang-ruang bekerjasama antar agama, lintas suku dan dengan berbagai perbedaan

Komunitas Kayu Hitam memproduksi film dengan latar belakang cerita hubungan keluarga Muslim dan Kristen di Poso yang canggung paska konflik kekerasan. Proses produksi film ini mengajak anak muda dari dua komunitas Islam dan Kristen bekerjasama di belakang layar dan sebagai pemeran. Komunitas Tidak Production yang terdiri dari para fotografer menggelar seri workshop dan memproduksi 100 foto bercerita yang mengangkat kisah toleransi, budaya dan lingkungan di Kabupaten Poso. Komunitas Okotaka dan komunitas Orang Tokorondo adalah kerjasama antar komunitas dengan latar belakang wilayah mayoritas Islam (Orang Tokorondo) dan wilayah mayoritas Kristen (Okotaka) yang bertemu dalam isu dan kegelisahan tentang pengelolaan sampah dan plastik sekali pakai di Kabupaten Poso.  Sementara itu komunitas Dongeng Poso merupakan berkolaborasi antar anak muda Poso menjaga cerita rakyat/dongeng Poso dengan menceritakan ulang dan mendokumentasikannya melalui Panggung Dongeng Poso.

Mengamati Pameran Foto di Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Lain lagi dengan Komunitas Kurang Kreatif, mereka merangkul musisi lokal dari komunitas Islam dan komunitas Kristen dengan latar belakang genre musik yang berbeda untuk menghasilkan album mini bertemakan toleransi, budaya dan lingkungan di Kabupaten Poso . Hasil-hasil karya inilah yang ditampilkan dalam kemping Padu Satu.

Kemping Padu Satu sendiri merupakan usulan dari komunitas Jelajah Budaya, komunitas Mosikola Teologi dan komunitas Poso Scooter. Dalam pelaksanaannya kemping ini menjadi praktek kolaborasi lintas komunitas untuk merayakan keberagaman di Poso .

“ Kemping Padu Satu ini akan menjadi momentum bersama anak muda Poso lintas agama untuk terus menguatkan langkah untuk terus berkolaborasi kreatif untuk Poso yang damai dan adil” ujar Dewi yang adalah anggota komunitas Jelajah Budaya.

Baca Juga :  Album 3 Pandemi : Musik Merespon Pandemi di Indonesia

Selama bekerjasama dalam memproduksi karya, tentu saja ada banyak tantangan dan ujian yang dihadapi oleh setiap komunitas maupun antar komunitas.

Menemukan, mungkin menjadi salah satu hal yang langsung dirasakan oleh para peserta secara harfiah. Selama 3 hari di hutan Pinus mereka menemukan teman baru, mengenal komunitas lain yang bergerak di isu yang baru dan menemukan pengetahuan baru dari perbincangan diantara mereka. Juga disaat bersamaan mereka mulai membentuk jejaring baru, saling menjajaki kemungkinan-kemungkinan kolaborasi dimasa mendatang.

Tentu tidak mudah menyatukan banyak komunitas lintas isu dalam satu kerjasama. Banyak tantangan terutama bagaimana menyatukan semua perbedaan diantara komunitas dalam satu isu yang harus dikerjakan secara kongkret. Hal ini disadari betul oleh Dewi yang berasal dari Komunitas Jelajah Budaya.

“Diantara kami semua banyak yang tidak saling kenal. Banyak diantara kami yang bahkan tidak tahu kalau komunitas itu ada. Diantara tantangan itu kami saling belajar”katanya.

Panggung Padu Satu
di Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Kerja keras seluruh komunitas yang terlibat itu menariknya bisa berjalan karena berupaya mengedepankan kolaborasi, tidak ada yang berupaya mendominasi mulai dari persiapan hingga dalam pelaksanaannya selama 3 hari di Hutan Pinus Panorama Tentena. Mereka disatukan oleh mimpi tentang komunitas anak muda yang punya kontribusi dan berdampak kuat bagi pembangunan perdamaian dan keadilan di Kabupaten Poso.

“ Kami punya mimpi bahwa anak muda Poso dan komunitas-komunitas di Poso menjadi bagian aktif yang mendinamisir kehidupan sosial dan kebudayaan .  Mimpi bahwa karya-karya komunitas anak muda Poso bukan hanya diperhitungkan tapi menjadi bagian sejarah perkembangan Poso yang lebih baik “ demikian Dewi menyampaikan pernyataan dalam pidato pembukaannya.

Avi, koordinator acara kemping dari komunitas Mosikola Teologi menguatkan tema kemping ini dengan menyebutkan bahwa proses kerjasama dan kolaborasi lintas agama dan suku yang mereka lakukan menjadi proses untuk saling menguatkan jati diri sebagai anak muda Poso.

Panggung Bagi Karya Komunitas

Kemping Padusatu menjadi momen bagi komunitas anak-anak muda Poso untuk menunjukkan visi mereka dalam berkarya. Di sebelah selatan lokasi kemping, Komunitas Okotaka membangun kampung plastik. Di pintu gerbangnya yang melengkung, mereka menggantung rapat-rapat botol plastik minuman kemasan yang mereka kumpulkan selama aksi kumpul sampah.

Disudut area yang mereka namakan pulau plastik berdiri sebuah patung manusia bertinggi hampir 3 meter yang mengangkat bola dunia. Semuanya terbuat dari plastik. Semua yang ditunjukkan Okotaka ini hendak menggambarkan ancaman plastik bagi kehidupan manusia saat ini dan dimasa mendatang. Selama 3 hari semua instalasi yang terbuat dari kurang lebih 1 ton sampah plastik  itu dijadikan ajang belajar tentang bahaya sampah plastik dan bagaimana upaya mengurangi penggunaannya.

Doni, salah seorang pendiri Okotaka mengatakan, semua bahan yang mereka gunakan berasal dari kegiatan mereka selama beberapa kali membersihkan sampah di sungai yang ada di sekitar Danau Poso dan di pantai Desa Tokorondo kecamatan Poso Pesisir.

Peluncuran Film Sekandung Badan produksi komunitas KayuHitam di Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Di malam kedua, Komunitas Kayu Hitam meluncurkan film berjudul Sekandung Badan. Berdurasi 27 menit, film ini bercerita tentang hubungan kakak beradik yang berbeda agama. Neta yang beragama Kristen dan adik kandungnya Nata yang beragama Islam. Sudah 25 tahun mereka tidak bertemu karena konflik yang pernah terjadi di tahun 1998. Hubungan banyak keluarga beda agama memang menjadi canggung akibat konflik horisontal yang terjadi di Poso tahun 1998-2003. Kerumitan makin panjang karena munculnya berbagai paham yang melarang mengucapkan salam kepada yang beda agama, bahkan ada yang membolehkan pembunuhan terhadap saudara yang berbeda keyakinan.

Baca Juga :  Bencana dan Makna : Belajar dari Mentawai

Di film diceritakan, tiba-tiba Neta menerima pesan Nata yang menyampaikan akan datang bersama keluarganya tepat di hari Natal. Nata sendiri tidak serta merta mengirim pesan itu. Dia bergumul dengan banyak pertanyaan seputar hubungan beda agama. Misalnya apakah kakaknya akan menerima kehadiran dia dan keluarganya yang muslim mengingat dia adalah seorang muallaf. Selanjutnya apakah harus mengucapkan Assalamualaikum atau Selamat pagi ketika mengetuk pintu? Bagaimana dengan makanan? Apakah sebagai muslim bisa malan dirumah yang beragama Kristen?

Diantara semua pertanyaan dan kerumitan itu, terjalinnya kembali hubungan keluarga itu salah satunya berkat budaya masyarakat Poso yang masih hidup sampai saat ini, yakni Pasiar, sebuah kegiatan saling mengunjungi.

Sementara komunitas Dongeng Poso menggali kembali tradisi-tradisi lama yang sarat pesan kebajikan dari dongeng yang masih diceritakan turun temurun hingga yang sudah di dokumentasikan oleh AC.Kruitj sejak abad ke-19 lalu Dina Ancura, penggagas komunitas Dongeng Poso berharap cerita-cerita rakyat yang mereka angkat bisa membuat anak-anak muda Poso tidak melupakan akar sejarah mereka ditengah banjir informasi yang akan berdampak buruk bila tidak dikelola dengan baik. Misalnya pesan, berita, artikel, konten di media sosial, maupun video yang masuk ke gawai kita setiap detik. Kondisi itu memaksa kita memerhatikan dan memproses banyak hal dengan bersamaan yang menyebabkan kapasitas kerja secara efektif mengalami penurunan.

Dalam panggung dongeng Eca, Nina dan beberapa anak muda lainnya memilih cerita untuk diceritakan kembali dihadapan penonton. Mereka kemudian membuat workshop selama sehari untuk mengajak anak -anak muda yang ikut kemping menjadi pendongeng. Satu persatu peserta naik ke panggung utama untuk mendongeng berbekal buku cerita yang mereka pilih sendiri. Banyak yang tampil masih seperti membaca. Belum sampai pada ekspresi saat mendongeng. Namun itu merupakan langkah maju mengenalkan mereka pada tradisi lewat cerita.

Peluncuran Mini Album SatuAra dalam Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Komunitas Kurang Kreatif menjadikan Kemping Padusatu sebagai ruang pertama untuk memperdengarkan isi album Satuara, sebuah karya kolaborasi 5 band di Kabupaten Poso yang berisi seruan menjaga persaudaraan, lingkungan dan budaya di Poso secara langsung. Saiful Dunda, dari komunitas Kurang Kreatif menceritakan, proses pembuatan album itu membuat hubungan diantara para musisi yang beda agama semakin erat.

“Sekarang torang tidak segan-segan lagi bakusedu(saling bercanda) soal agama”katanya menggambarkan keakraban yang tercipta diantara mereka.

Bercanda soal agama belakangan menjadi hal yang sangat sensitif di Poso dan Indonesia. YLBHI mencatat sepanjang tahun 2020 ada 38 kasus penodaan agama yang dilaporkan ke kepolisian, dari jumlah itu, sebanyak 13 kasus menjerat anak muda.

Sedangkan laloran SAFEnet menunjukkan ada 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE sepanjang 2013 sampai 2021. Institut Mosintuwu juga mencatat sepanjang tahun 2020-2023 ada 7 kasus penodaan agama yang dilaporkan di kepolisian resort Poso. Banyaknya kasus itu membuat hubungan sosial antar pemeluk agama rentan dan menjadi hambar karena ada kekhawatiran ‘terpeleset lidah’ bisa dipidanakan.

Penampilan Grup Band yang tergabung dalam Mini Album Poso SatuAra yang dikelola oleh komunitas Kurang Kreatif dalam Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Lima lagu yang disajikan di album Satuara datang dari genre berbeda, ada folk, hip hop, easycore hingga punk hardcore. Sampuraga, lagu pelan yang dinyanyikan band Guritan Kabudul misalnya, bercerita tentang trauma pasca konflik yang masih dialami banyak warga. Mereka yang mengalaminya seperti berada di kesunyian, jarang yang memperhatikannya. Riston Pamona, vokalis Guritan Kabudul mengatakan, apa yang mereka kisahkan dalam lagunya yang berdurasi 8 menit  ini adalah tokoh nyata yang masih hidup disebuah desa.

Baca Juga :  Randa Ntovea: Kisah Wabah di Sulteng, Covid-19 Bukan Yang Pertama

Sedangkan YET, band beraliran Pop Punk Melodic bercerita tentang ancaman kerusakan lingkungan yang bukan hanya karena investasi yang merusak, tetapi juga penghilangan manusia disebuah kawasan demi memuluskan masuknya modal raksasa.  Lagu berjudul Ecocide itu mengajak pendengar untuk memahami benar bagaimana dampak kerusakan lingkungan, bukan hanya dalam bentuk sampah atau penebangan pohon, tapi bagaimana dimasa depan, pemusnahan habitat atau lingkungan hidup sebuah komunitas yang umumnya berisi warga miskin bisa terjadi apabila dari sekarang kita tidak memiliki kepedulian. Tentang pentingnya merawat kelestarian lingkungan juga dimunculkan Stonehead dalam Anisoptera. Lagu hip hop ini tentang Capung(anisoptera) yang sering kita abaikan itu ternyata beroeran penting untuk memberi informasi tentang kualitas air dilingkungan kita.

Mendorong Gerakan Tolak Plastik Sekolah Pakai, Menjadikan Agama Sebagai Alat Damai.

Selain seminar toleransi beragama, kemping ini juga diwarnai dengan seminar Saya Pilih Bumi dan Seminar toleransi. Seminar yang diorganisir oleh komunitas Saya Pilih Bumi bekerjasama dengan Orang Tokorondo ini menghadirkan Lian Gogali sebagai narusumber . Memulai materinya,  Lian mengajak para peserta kemping untuk mencari kata kunci “ orang Indonesia paling banyak makan plastik” Kata kunci ini diikuti dengan pencarian lainnya di mesin pencari seperti : mikroplastik di darah manusia, mikroplastik di ASI, mikroplastik di darah manusia. Pencarian kata kunci ini dibacakan hasilnya oleh peserta.

Workshop Saya Pilih Bumi yang dibuat oleh komunitas Orang Tokorondo di Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Kekagetan nampak pada seluruh peserta. “Tentu kita tidak juga tidak bisa menghindari plastik. Yang kita tolak adalah plastik sekali pakai. Ada beberapa plastik yang memang akhirnya tidak bisa kita hindari, misalnya plastik deterjen. Nah, ada komunitas Orang Tokorondo yang sudah memulai membuat ecobrick dari plastik yang tidak bisa dihindari itu” jelas Lian. Bahaya mikroplastik ini menemukan salah satu bentuk mengurangi dampaknya. Sadat, Fita, ibu Irma dan lainnya dari anggota komunitas Orang Tokorondo mempraktekkan cara membuat Ecobrik.

Aktivitas komunitas dilengkapi dengan serangkaian seminar dan workshop. Memulai hari ketiga, puluhan peserta kamping duduk di bangku kayu depan panggung untuk mengikuti seminar toleransi beragama yang dilaksanakan bersama oleh komunitas Mosikola Teologi dan Jelajah Budaya serta Poso Scooter. Menghadirkan Dr. Gde Supradnyana, dosen di STT GKST dan Irmawati, fasilitator Sekolah Pembaharu Desa dari Tokorondo sebagai pembicara.

Jika membicarakan toleransi beragama, tentu hampir semua peserta sudah paham dan mempraktekkannya. Kali ini pembicara menekankan pada mengapa praktek intoleransi bisa terjadi, apa akarnya? Itulah yang dibahas I Gde Suradnyana.

“Tokoh agama berbahaya bila mengklaim bahwa apa yang keluar dari mulut itu adalah nubuat”katanya. Lanjutnya,”lebih berbahaya lagi kalau ummatnya langsung melaksanakan apa yang disampaikan tokoh agamanya tanpa menimbang dan berpikir. Itu disebut buta”.

Suasana workshop Film dalam Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Apa yang disampaikannya mau mengajak agar kita semua beragama dengan rasional dan santai, sehingga agama menjadi alat damai, bukan sebaliknya. Irmawati, dalam kesempatan itu bercerita pengalaman dia ketika pertamakali berinteraksi dengan warga non muslim di Tentena. Cerita dia mengajak anak-anak muda untuk menempatkan sikap positif pada siapapun dan memberikan kepercayaan pada persahabatan dengan siapapun.

Kemping Padu Satu melengkapi upaya komunitas-komunitas anak muda Poso berkontribusi bukan hanya pada upaya perdamaian tapi juga menjadikan perdamaian sebagai langkah untuk memastikan keadilan dan terjaganya lingkungan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda