Bertaruh Nyawa untuk Madu di Didiri

0
272
Papa Melki menunjukkan hasil madu yang dipanjat dari pohon di hutan Didiri hari itu. Foto : Dok. Mosintuwu

“Kita pergi di tempat terbuka di hutan. Menunggu kalau ada lebah lewat. Dari situ kita ikuti kemana dia terbang, karena lebah yang kenyang terbang lambat”(Hein/Pemburu madu di Desa Didiri)

Mengintai Lebah

Pagi hari, Hein (35) pergi ke kebunnya. Melewati sebuah lahan terbuka di pinggir hutan dia diam sejenak. Matanya awas, telinganya awas. Dia berusaha mendeteksi lebah yang mungkin terbang melintas. Dua indera ini adalah modal penting berburu madu.

Tidak berapa lama, seekor lebah (anthophila)terbang pelan di depannya. Tubuh hewan bergaris kuning itu terlihat gemuk. pertanda habis menghisap sari bunga. Dia bergerak mengikutinya. Meski dari jarak hingga 250 meter, matanya masih bisa mengikuti dimana hewan itu pergi.

Menurut pengalamannya, lebah  mencari makan tidak terlalu jauh dari koloninya. Setelah mencari diantara rimbunan pohon, Hein melihat kerumunan serangga sosial ini di sebuah cabang pohon. Segera dikeluarkannya parang, lalu mengupas beberapa sentimeter batang pohon itu sebagai tanda, dia orang pertama yang menemukan sarang itu.

“Kita pergi di tempat terbuka di hutan. Menunggu kalau ada lebah lewat. Dari situ kita ikuti kemana dia terbang, karena lebah yang kenyang terbang lambat”kata Hein tentang cara pertama memburu madu. Disini, mata yang tajam sungguh diperlukan.

Mengintai lebah juga dilakukan Papa Melki (47). Sehari-hari dia akan pergi ke hutan mencari madu. Terlebih dahulu dia akan mengintai lebah. Dengan mata tajam dia akan mengikuti kemana seekor lebah pergi. Namun tidak semua lebah yang melintas di ikutinya. Hanya yang terlihat terbang pelan.

“Kalau terbang cepat, laju, itu artinya belum ada bunga yang dia makan. Tidak usah diikut karena dia masih cari makan. Kita ikut yang sudah ada isi perut”kata Papa Melki. Lebah yang sudah kenyang akan terbang ke sarangnya dengan pelan karena berat.

“Disini kalau kita sudah kasi tanda, apakah kita kupas sedikit kulit pohon itu atau tebang satu pohon kecil di dekatnya sebagai tanda, maka pencari madu lain sudah tahu, berarti sarang yang diatas itu sudah ada yang punya”jelas Hein tentang komunikasi diantara sesama pemburu madu.

Hein, salah seorang petani madu memanjat pohon yang memiliki sarang lebah ditemani ayahnya yang membantu dengan melakukan pengasapan. Foto : Dok. Mosintuwu

Berburu madu menjadi pekerjaan Hein sejak dia lulus sekolah menengah atas tahun 2015. Seorang pemburu madu di kampungnya mengajari cara memanen madu hutan diatas pohon. Praktek pertamanya mengambil madu diatas pohon dengan tinggi hampir 30 meter sukses. Selain mendapatkan sarang madu, tak seekor lebah pun menyengat. Setelah itu dia memantapkan niat menjadi pencari madu. Hein adalah generasi ketiga pencari madu di keluarganya.

Bertaruh Nyawa Diatas Pohon

Siang menjelang sore Rabu 20 Juni 2024, Hein pergi ke hutan di sebelah barat kampungnya, Desa Didiri, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso. Sehari sebelumnya, di tengah kerapatan pepohonan sekitar 1 kilometer dari rumah, ayahnya menemukan satu sarang lebah di dahan sebatang pohon Kasa (Castanopsis argentea), tingginya sekitar 30 meter dari permukaan tanah.

Membawa tali dan jerigen Hein dan ayahnya menuju pohon yang sudah mereka tandai. Keduanya lalu mengambil beberapa batang bambu kering dan daun jenis pandan. Bilah bambu sepanjang 2 meter itu di ikat erat dengan tali hutan, lalu dibungkus dengan daun pandan. Inilah pengasap, senjata mereka untuk melindungi diri dari sengatan lebah. Para pencari madu di Kapuas Hulu menyebut alat ini Sampuk.

Baca Juga :  Telusuri Jejak Geologi Danau Poso, Menuju Warisan Geologi Danau Poso

Mendekati pohon yang dituju, Hein dan ayahnya istirahat sejenak. Papa Melki, panggilan ayah Hein lalu menyalakan korek, membakar salah satu ujung Sampuk. Di bawah suara dengung lebah, keduanya lalu mendiskusikan jalur memanjat pohon itu. Ayah Hein menginstruksikan agar dia mendekati sarang lebah melewati seutas akar sebesar lengan orang dewasa yang menjuntai dari dahan paling atas pohon itu.

Tanpa ragu Hein mengikuti instruksi itu, dia memanjat dengan cepat meski sebelah tangannya memegang Sampuk dan tali. Mendekati dahan tempat bergantungnya sarang lebah, Sampuk di goyang-goyangkan, menghasilkan asap tebal yang perlahan menjauhkan ribuan ekor lebah dari sarangnya.

Pengasapan pohon tempat sarang lebah berada untuk melakukan pengambilan madu di hutan Didiri. Foto : Dok. Mosintuwu

Setelah mendapatkan posisi duduk di dekat sarang, Hein menarik tali yang sudah di ikatkan di ember yang sudah disiapkan. Perlahan dia mengeluarkan parangnya dari pinggang, memotong sarang lebah dan memasukkannya sepotong demi sepotong ke ember. Sesekali dia memalingkan wajah untuk menghindari asap tebal yang menyembur tepat ke wajahnya. Ember berisi madu diturunkan lebih dahulu. Setelah di peras, hasilnya 5 botol ukuran 600 ml. Dijual ke pedagang seharga Rp.80.000/botol.

Hari itu Hein memanjat 2 pohon untuk panen madu. Pagi harinya di hutan sebelah selatan desa dia mendapati satu sarang lebah di sebuah pohon yang tingginya mencapai 20 meter. Hasilnya hanya 900 ml.

Setelah istirahat makan siang, dia kembali ke hutan di sebelah barat untuk memanjat satu pohon tempat sarang lebah bertengger. Kali ini hasilnya 3.000 ml. Jika dirupiahkan, hari itu dia menghasilkan uang setara Rp.520.000 dari hasil memanjat 2 pohon. Namun jumlah ini tidak setara dengan resiko yang dihadapinya.

Nampak dari udara, pengasapan lokasi madu di pohon hutan Didiri. Pengasapan berfungsi untuk melindungi petani madu dari sengatan lebah. Foto : Dok. Mosintuwu

Sehari, jika musim madu, dia bisa memanjat hingga 3 pohon dalam sehari. Tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa kali mereka terjatuh atau menghadapi serangan hebat dari lebah. Sambil menghisap rokok papa Melki bercerita pengalamannya beberapa kali terjatuh saat memanen madu. Tanpa peralatan keselamatan memadai, para pemburu madu seperti dirinya hanya mengandalkan pengalaman dan insting.

“Kita biasanya tidak tau apakah tali pohon yang kita mau panjat ini ujung atasnya lapuk atau tidak. Berapa kali saya jatuh, tapi saya tidak bilang sama maitua, takut nanti saya dilarang”ceritanya sambil tertawa.

Anehnya meski mengetahui resiko besar itu, para pemburu madu ini justru jarang menggunakan alat bantu seperti tangga atau tali pengaman yang bisa mengurangi resiko meninggal atau cacat karena jatuh dari pohon. Selain jatuh, ancaman sengatan lebah yang mempertahankan sarangnya juga tidak kalah beresiko. Hein pernah 3 hari mengalami demam dan hanya bisa makan bubur karena hampir seluruh tubuhnya disengat lebah.

“Kalau di gigit, di muka atau di badan, jangan sampai bunuh itu lebah. Biarkan saja. Itu cara untuk selamat”katanya. Cara itu didapatkan dari pengalaman berkali-kali disengat.

Jika kita refleks memukul lebah yang menyengat, tubuh lebah itu mengeluarkan bau yang akan mengundang lebah lainnya untuk datang. Begitu pengalaman Hein untuk mengurangi resiko disengat. Papa Melki menambahkan, setelah disengat banyak lebah, cara terbaik mengatasinya adalah meminum obat pereda nyeri, namun yang dosisnya paling rendah.

Bergantung Hujan dan Musim Bunga

Anton Tanggola melihat kearah bukit di depan kami. Raungan chainsaw terdengar dari bukit di depannya. Perangkat Desa Didiri itu menghela napas, sebagai petani madu dia tahu, setiap pohon yang ditebang berarti mengancam populasi lebah di hutan itu.

Baca Juga :  Mural, Aksi Relawan Seniman di Ruang Milik Orang Desa

Sebenarnya sudah ada peraturan Desa Didiri, Kecamatan Pamona Timur yang menetapkan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) seluas 430 hektar untuk dikelola oleh desa. Skema yang merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial ini sebenarnya untuk mengorganisasikan pengolahan lahan agar tidak sembarangan membuka lahan untuk perkebunan apalagi menebang hutan.

Madu hasil panen di hutan Didiri. Foto : Dok. Mosintuwu

Di Didiri, hutan menjadi sangat penting karena sebagian besar warganya adalah petani madu hutan yang bergantung pada hutan sebagai rumah untuk koloni lebah madu. Perjalanan pemetaan hutan di Desa Didiri yang merupakan kerjasama Komunitas Masyarakat Didiri dan Institut Mosintuwu yang di dukung Dana Nusantara pada minggu pertama Juni 2024 lalu menemukan setidaknya ada 7 jenis pohon sumber makanan lebah hutan yang tumbuh di hampir setiap meter wilayah hutan di sebelah barat desa.

Dalam proses pemetaan yang dilakukan bersama 15 orang warga, peneliti di Institut Mosintuwu, Kurniawan Bandjolu mencatat setiap penjelasan warga mengenai pohon yang ditemui sepanjang jalan setapak yang mendaki. Di ketinggian 1.023 mdpl, Kurniawan mencatat keterangan Anton Tanggola, yang turut dalam perjalanan pagi itu. Dengan fasih dia menjelaskan jenis-jenis pohon yang banyak tumbuh di hutan sebelah barat Didiri.

Ada pohon Antoli, bunganya putih, tingginya maksimal sekitar 10 meter dan biasanya berbunga antara bulan Januari hingga Maret. Dia mengatakan, lebah yang menghisap sari bunga Antoli menghasilkan madu berwarna merah namun ringan di timbangan.

Biasanya pohon Antoli berbunga bersama Kongkoli, jenis tumbuhan merambat yang kami lihat melingkari pohon itu. Pohon Antoli sering berhunga di bulan Januari hingga Maret, lebah yang menghisap sarinya menghasilkan banyak madu.

Kami lalu memeriksa pohon berikutnya, warga setempat menyebutnya I Poli, bunga pohon ini berwarna kuning sehingga mudah di kenali dari jauh, menghasilkan madu pahit. Sayangnya, pohon ini hidupnya terancam karena sering diambil untuk kayu bakar.

“Ini kayu bakar favorit warga”kata Anton.

Beberapa meter kemudian, diantara jenis pepohonan lain, terlihat Sumpiti, jenis pohon lainnya yang dikenali warga sebagai salah satu pohon penting yang bunganya menghasilkan banyak madu berwarna bening.

” Madunya jernih bening bahkan seakan botol itu kosong jika di isi madu dari bunga pohon ini”terang Alce, seorang warga yang turut dalam pemetaan itu.

Semakin jauh kearah hutan, semakin banyak jenis pohon berbunga sumber makanan lebah. Ada kayu Waka atau Ponto.Pohon bertinggi mencapai 40 meter ini menghasilkan bunga warna kuning kemerahan. Waktu berbunga tergantung curah hujan, biasanya di bulan  April hingga Juni.

Pohon Waka ini juga mulai terancam karena sering ditebang untuk ramuan rumahrumah. Tingginya mencapai 40 meter. Lebah yang menghisap sari bunganya menghasilkan madu berwarna kuning kemerahan dengan rasa manis.

Beberapa tahun terakhir, hujan atau kemarau tidak jelas datangnya. Ini mempengaruhi juga musim pohon berbunga. Bunga pohon Rambutan, salah satu favorit lebah misalnya sangat tergantung pada musim.

Kurniawan Bandjolu mengatakan, musim kemarau panjang yang terjadi beberapa bulan lalu menyebabkan banyak pohon tidak berbunga. Ini mempengaruhi banyaknya madu yang dihasilkan lebah.

Hutan Terancam

Mendekati lokasi hutan desa, suara Chainsaw terdengar meraung-raung. Anton Tanggola mengatakan, kemungkinan ada warga yang sedang menebang pohon untuk membuka lahan. Namun dia tidak begitu yakin.  Belakangan, banyak penebangan pohon terjadi dengan beragam alasan.

Baca Juga :  Parade Kekayaan Alam di Festival Hasil Bumi Poso
Memeras madu dari sarang madu hasil hutan Didiri. Foto : Dok. Mosintuwu

Dia meminta agar Kurniawan menerbangkan drone ke asal suara Chainsaw itu untuk memastikan apakah yang ditebang adalah pohon yang masuk dalam kawasan hutan yang dilarang.

“Supaya dikira kita petugas kehutanan”katanya tertawa.

Wilayah hutan di Desa Didiri berbatasan dengan Desa Poleganyara di sebelah barat dan Desa Kelei di sebelah Utara. Berdasarkan peta yang dikeluarkan google earth terlihat hutan sekeliling Desa Didiri semakin mengecil karena pembukaan lahan perkebunan warga.

Selain pembukaan lahan perkebunan baru, enebangan pohon untuk ramuan rumah menjadi salah satu sebab makin menyusutnya pohon-pohon sumber makanan lebah.

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal KATALOGIS VOL.10. NO.1 edisi April 2022 yang ditulis Surjadhi Rantesalu, Eko Jokolelono dan Yunus Sading menunjukkan tingginya aktifitas perubahan tutupan hutan di Desa Didiri sejak tahun 2016 hingga 2021.

Ketiga peneliti dari Universitas Tadulako ini menemukan, di tahun 2016. Luas perambahan kawasan hutan terbesar berada pada wilayah Kecamatan Pamona Timur yaitu seluas 1.685 dari total luas areal KPH Sintuwu Maroso (KPHP Unit XII).

Data mereka menunjukkan pada tahun itu, luas perambahan terbesar berada di Desa Didiri , yakni seluas 399 ha yang berada pada fungsi kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Di tahun 2021, luas hutan yang dirambah menjadi 452 ha.

Penelitian ini juga menunjukkan, terdapat perbedaan kondisi penutupan lahan di KPH Sintuwu Maroso antara tahun 2016 dan 2021, dimana terjadi penurunan luas penutupan lahan berhutan dan peningkatan luas penutupan lahan tidak berhutan.

Selisih luas perubahan penutupan lahan selama periode tersebut adalah 832 ha atau 0,89% dari luas total area KPH Sintuwu Maroso. Luas perambahan kawasan hutan pada tahun 2021 adalah 3.555 ha, atau 3,80% dari luas total area KPH Sintuwu Maroso.

Warga Didiri melakukan pemetaan hutan sumber madu untuk kemudian menindaklanjuti rencana untuk melindungi hutan. Foto : Dok. Mosintuwu

Upaya Warga Mengembalikan Fungsi Hutan

Alce menyadari perubahan hutan yang terjadi. Kebunnya berada di pinggir hutan. Bersama sejumlah warga Didiri mereka menginisiasi upaya menyelamatkan lingkungan hutan mereka. Salah satu yang dilakukan adalah mendata jenis pohon yang ada di hutan sekitar kampung. Bersama sekitar 16 orang warga lainnya, Alce membentuk kelompok untuk mengorganisir upaya menanami kembali wilayah di hutan sekitar kebun warga.

Mendata jenis pohon-pohon yang berbunga adalah salah satu cara mengajak masyarakat Desa Didiri yang sebagian besar juga menjadikan penjualan madu sebagai mata pencaharian untuk terlibat. Alce bersama kelompok yang mayoritas anggotanya perempuan itu turut melakukan penjelajahan hutan sekitar desa untuk mendata pohon berbunga. Mereka dengan mudah mengenali jenis pohon favorit lebah.

“Kita dari jauh sudah tau itu pohon apa dari warna bunganya. Itu kayu Nggopu, kalau musimnya dia berbunga putih. Lebah yang makan bunganya menghasilkan madu bening seperti minyak”kata Alce menunjuk sebatang pohon berjarak sekitar 30 meter dari tempatnya berdiri.

Setelah pemetaan jenis pohon ini, rencananya Alce dan kelompoknya akan membuat kebun pembibitan untuk mengembangkan jenis-jenis pohon yang menjadi sumber makanan lebah. Dia berharap, cara ini bisa mendorong masyarakat lainnya untuk turut menjaga hutan desa mereka yang jadi sumber penghidupan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda