“Wariskan Anak Kita Mata Air, Jangan Air Mata”(Andreas Lagimpu/tetua adat Ngata Toro)
Dua puluh jam perjalanan dari Tentena ke Ngata Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi seperti terlalu dramatis. Tapi begitulah pengalaman perjalanan 21 orang tetua dan pemerhati adat budaya Poso yang melakukan perjalanan ke kampung satu-satunya yang ada di tengah Taman Nasional Lore Lindu 22 Seltember 2024.
Ini adalah perjalanan belajar, dalam bahasa Pamona disebut Mowelua. Menunjukkan para tetua adat di Poso sangat terbuka untuk belajar dan berbagi pengetahuan ke komunitas lain.
Mowelua ri Ngata Toro, belajar di Desa Toro adalah agenda yang sudah di rancang para tetua adat beberapa desa di Poso bersama dengan Institut Mosintuwu sejak tahun lalu. Tujuan perjalanan ini untuk melihat dan berbagi pengetahuan tentang praktek adat istiadat masyarakat Ngata Toro dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana adat menjadi landasan perjuangan masyarakat disini untuk mendapatkan pengakuan negara dalam mengelola lahan pertanian dan pemanfaatan hutan, serta, bagaimama peran lembaga adat menjaga dan mengelola alam yang dikelilingi Taman Nasional.
Meninggalkan Kelurahan Pamona pukul 07:30 wita dua bus Pamona Raya bergerak membawa rombongan. Rombongan singgah di Poso Pesisir menjemput pemangku adat dari beberapa desa disana. Pukul 13:00 wita, singgah di rumah Basrul Idrus, seorang pegiat perpustakaan komunitas di Kelurahan Kampal, Parigi Moutong untuk makan siang.
Percakapan-percakapan langsung muncul sebelum hingga setelah makan siang. Tiba-tiba saja, kisah-kisah lucu yang diambil dari dongeng-dongeng Poso muncul, sambung menyambung diantara pak Hajai Ancura, pak Yannis Moento, ibu Martina Labatu, pak Arima dan pak Wakijan. Lelucon dalam bahasa Pamona membuat rumah panggung berbahan papan itu riuh.
“Ada seorang kakek mau menjual sapinya. Seorang pembeli datang menawar. Berapa harga sapinya ngkay (kakek)? Sepuluh juta jawab ngkay. Kalau 750 ribu? Tawar pembeli. Tidak bisa, jawabnya tegas.
Bagaimana kalau setengah juta? Tawar pembeli. Ahh..kalau itu bisa”segenap yang mendengar cerita itu terbahak-bahak. Cerita dilanjutkan pak Hajai tentang buaya.Pukul 14:30 wita perjalanan dilanjutkan menuju Kota Palu. Disini perjalanan akan dilanjutkan dengan mobil lain.
Sebelumnya, Rukmini Paata Toheke, menginformasikan kondisi jalan menuju kampungnya yang rusak. Aktivis penerima Kalpataru 2024 ini juga adalah Tina Ngata Toro. Sebuah posisi penting dalam kampung. Tina Ngata adalah Pangalai Baha atau pengambil keputusan dan Pobolia Ada atau penjaga adat. Tina Ngata menjadi lembaga yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKK.
“Sebaiknya pakai mobil dari sini karena sopirnya sudah terbiasa dan mengenal medan”sarannya.
Tiba di Palu pukul 16:30 wita, rombongan singgah sejenak di Nemu Buku, salah satu taman baca komunitas yang kerap menyediakan ruang untuk para aktivis pro demokrasi dan tetua adat. Ngopi dan merebahkan badan sejenak setelah melewati liukan jalan di Kebun Kopi.
Tidak lama 4 mobil minibus muncul. Inilah kendaraan yang akan membawa rombongan menuju Ngata Toro. Pukul 17:30 wita perjalanan dilanjutkan dengan perkiraan waktu tempuh 4 jam. Namun kondisi jalan yang rusak sepanjang kurang lebih 16 kilometer sejak dari Desa Sadaunta membuat Ngata Toro baru dicapai pukul 22:15 wita. Langsung ke rumah ibu Rukmini, seorang Tina Ngata(ibu kampung) Toro. Makanan sudah tersedia.
Berdiskusi di Lobo; Adat Adalah Panduan Menuju Masa Depan
Pagi hari setelah sarapan, para tetua adat sudah bersiap menuju Lobo, rumah adat yang jadi tempat berdiskusi. Semua telah memakai simbol adat. Laki-laki memakai Siga, perempuan Tali Bonto.
Tidak lama kemudian, Tori Lagimpu, salah satu tetua adat Toro datang menjemput. “Semua sudah siap”katanya.
Setelah upacara penyambutan di tangga masuk, semuanya disuguhi sirih, pinang dan kapur yang ditaruh diatas dulang kuningan. Simbol penyambutan tamu yang masih dipertahankan masyarakat adat Toro.
“Tabe, disini kita saling belajar, berbagi pengalaman. Jadi saudaraku datang bukan untuk belajar. Kita sama-sama berbagi pengalaman”kata Rukmini setelah mendengar maksud kedatangan 21 tetua adat dari Poso. Hal sama dikatakan Andreas Lagimpu, ketua dewan peradilan adat Sulawesi Tengah sekaligus tetua adat Ngata Toro.
“Wariskan Anak Mata Air, Jangan Air Mata”kata Andreas Lagimpu, memulai percakapan tentang pentingnya adat bagi masa depan.Adat dan masa depan memang jarang dibicarakan. Umumnya orang mengaitkan adat istiadat dengan kehidupan masa lalu. Di Ngata Toro, adat istiadat adalah pegangan menuju masa depan.
Tina Ngata, Rukmini Paata Toheke mengisahkan betapa adat warisan leluhur mereka menjadi penyelamat warga kampungnya dari cap perambah hutan menjadi diakui pemerintah.
“Dahulu kami tidak dianggap sebagai warga Toro. Kalau ada kayu tumbang kami tidak bisa ambil”katanya menceritakan ancaman hukuman negara yang pernah mereka alami. Waktu itu status lahan Ngata Toro belum diakui pemerintah sehingga mereka dianggap sebagai pemukim liar.
Dari berbagai pembatasan dan tekanan oleh negara yang mereka alami, timbul kesadaran, mereka hanya dijadikan penjaga hutan, tapi tidak bisa mengolahnya. Padahal, jauh sebelum wilayah disekitar kampung dijadikan Taman Nasional, leluhur orang Toro sudah menguasai dan mengolah wilayah itu dengan bijaksana, menggunakan aturan-aturan adat yang menjaga hutan lestari.
Menurut laman lorelindu.info, Taman Nasional Lore Lindu terbentuk dari 3 kawasan lindung, yakni, Suaka Margasatwa Lore Kalamanta seluas 131.000 Ha, hutan lindung Danau Lindu 31.000 Ha, dan SUaka Margasatwa Sungai Sopu seluas 67.000 Ha. Ketiganya disatukan menjadi sebuah kawasan konservasi seluas 229.000 Ha berdasarkan Surat Intruksi kedua Menteri Kehutanan No.593/Kpts-II/1993 tanggal 5 Oktober 1993. Ngata Toro masuk dalam wilayah ini.
Sejak tahun 1993, warga mulai melakukan perlawanan.
Rukmini bercerita, munculnya larangan mengolah lahan membuat posisi warga terjepit. Tidak ada lahan pertanian yang boleh diolah. Seperti tidak ada masa depan bagi mereka. Hak keperdataan tentu juga tidak diakui. Ditengah tekanan dan ancaman hukuman yang keras itu, mereka sadar, leluhur telah memberi warisan tak terhingga berupa aturan-aturan adat bagaimana memanfaatkan hutan. Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Warisan adat istiadat itulah yang kemudian menjadi senjata memulihkan harkat dan martabat orang Toro dengan adanya pengakuan negara atas lahan seluas sehingga diakui haknya untuk mengolah alam desa mereka.
Tidak mudah mengorganisasikan perjuangan merebut kembali pengakuan atas wilayah adat leluhur orang Toro. Mereka dibantu oleh banyak guru.
Guru yang dimaksud adalah para aktivis LSM yang memberikan banyak informasi dan pengetahuan kepada warga, khususnya tentang hak-hak warga negara yang sudah diatur dalam undang-undang.
Sebagai contoh, Rukmini menyebut ada peraturan gubernur yang menyebut, perusahaan tidak boleh melakukan aktifitas apabila tidak ada kesepakatan dengan warga.
Mendokumentasikan Warisan Leluhur
Hal pertama yang dilakukan orang Toro adalah mengumpulkan dan mendokumentasikan hukum-hukum adat, cerita-cerita legenda dan sejarah asal usul nenek moyang mereka mendiami kampung ini.
Ini bukan perkara mudah, kata Andreas Lagimpu. Menggali cerita leluhur yang mengatur hubungan manusia dengan alam, tentang yang mengatur larangan dan pantangan.
Mereka menemukan, ada aturan tentang moratorium pengambilan hasil hutan dengan tujuan mengembalikan fungsi ekologisnya. Salah satu keputusan moratorium yang sedang dilakukan Ngata Toro saat ini adalah moratorium rotan selama 5 tahun. Sehingga selama itu, rotan yang ada didalam wilayah Ngata Toro tidak boleh diambil oleh siapapun. Ada sanksi berat bagi yang melanggar.
Bukan hanya hasil hutan. Aturan adat disini juga melarang warga membuka lahan yang curam karena berpotensi longsor.
“Dulu setiap hari, pagi sampai malam kami berdiskusi untuk menggali dan menyusun semua dokumentasi adat istiadat disini. Banyak bapak-bapak yang dimarahi istrinya karena itu. Dianggap omomg kosong. Tapi terus jalan sampai kemudian jadi.”cerita Rukmini tentang satu hal kecil yang mereka hadapi saat mulai berjuang di tahun 1994.
Perjuangan itu menemukan kekuatan tambahan berkat para guru.
Tori Lagimpu, tetua adat Toro menceritakan banyaknya guru yang datang membantu mereka dengan memberi pengetahuan formal baik undang-undang, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hutan dan pengelolaannya, peraturan tentang masyarakat adat dan hak-hak masyarakat yang diakui dalam UUD 1945 dan HAM.
“Tabe, dalam pengalaman saya, banyak guru masuk ke sini untuk memberi pengetahuan. Khususnya memberi bahan undang-undang. Kami kemudian merapatkan barisan. Bukan hanya masyarakat kami, tapi juga guru-guru kami yaitu aktivis LSM”kenang Tori Lagimpu. Dia mengingatkan, yang pertama yang membuat semua warga menyatu dalam perjuangan adalah adat mereka.
“Adatlah yang mengikat kita”tegasnya.
Rukmini menyebut beberapa LSM yang datang membantu mereka adalah Yayasan Tanah Merdeka(YTM) dan beberapa lainnya, ada pula aktivis seperti Agus Faisal Said yang rajin membawakan banyak buku bahan bacaan untuk warga. Bahan-bahan bacaan itu kemudian menjadi senjata mereka untuk meraih pengakuan.
Pengetahuan akan hukum dan peraturan, sejarah termasuk teori-teori sosial menguatkan argumentasi dokumen yang mereka susun untuk meraih pengakuan negara.
“Harus banyak membaca. Itu salah satu kunci”kata Andreas Lagimpu. Berkali-kali dia menekankan ini dalam diskusi yang berlangsung lebih dari 3 jam itu.
Dokumentasi adat istiadat yang disusun oleh warga kemudian ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah nomor 15 tahun 2024 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Empat tahun kemudian, lahir keputusan Bupati Sigi nomor 189-324 tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat To Kulawi Moma di Ngata Toro Kabupaten Sigi yang menjadi aturan pelaksananya.
Kedua dokumen ini menjadi pengakuan resmi atas keberadaan masyarakat adat Ngata Toro.
Diskusi panjang itu menimbulkan satu pernyataan serius diantara pomatu’a ada dari Poso. Bagaimana posisi aturan adat di Poso ditengah masyarakat yang majemuk dan apakah ada aturan adat yang mengatur hubungan warga dengan alam?
Berlin Modjanggo, tetua adat dari Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat mengatakan, sampai sekarang belum ada aturan adat di Poso yang mengatur soal hubungan antar manusia dengan alam. Harus diakui pernyataan ini ada benarnya saat ini. Sebab hampir setiap perbincangan adat di Poso adalah tentang tata cara pernikahan, perselingkuhan, perceraian.
Upaya untuk menggali kembali adat istiadat leluhur orang Poso yang mengatur soal pertanian menjadi salah satu agenda Komunitas Masyarakat Adat Danau Poso (MADP).
Setidaknya sudah ada 2 kali diskusi yang melibatkan 78 orang pomatua ada dari desa-desa sekeliling Danau dan kecamatan Lage serta Poso Pesisir bersaudara dilakukan. Diskusi pertama dilakukan di Desa Peura tahun 2023 membahas ada Mombetirinai, yakni tradisi kehidupan sehari-hari, mulai dari bahasa hingga hubungan antar warga.
Di tahun yang sama, diskusi kedua dilakukan di Desa Dulumai, Kecamatan Pamona Puselemba, kali ini membahas Ada mPojama’a, yakni adat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, termasuk soal pertanian dan pemanfaatan lahan.
Dua diskusi ini melahirkan draft dokumentasi tradisi masyarakat adat Pamona Poso yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dan dengan alam.
Apapun Agama dan Suku, Semua Tunduk Aturan Adat
Tercatat ada 9 rumah ibadah di Toro. 1 masjid dan 8 gereja. Ini menunjukkan komposisi agama penduduknya. Wilayah ini dibagi dalam 6 dusun, penduduk terbesarnya adalah etnis Rampi, Moma dan Uma ditambah suku Bugis dan Toraja. Meski sudah beragam, seluruh penduduk yang berjumlah 2.318 jiwa menurut data BPS tahun 2024 itu tunduk pada aturan adat.
Luas hutan adat Ngata Toro adalah 1.747 hektar, yang dibagi dalam beberapa zona tradisional, antara lain Wanangkiki (zona inti), Wana (zona rimba), Oma (zona pemanfaatan). Zona inti dan zona rimba adalah tempat untuk mengambil hasil hutan non kayu berupa, damar dan gaharu. Sedangkan zona pemanfaatan adalah tempat mengambil rotan.
Rukmini mengatakan, ini bukan luas sesungguhnya hutan adat. Dia menyebut berdasarkan sejarah, luas hutan adat adalah 23.704 Ha.
“Luas ini yang masih harus terus kami perjuangkan”katanya dalam percakapan bersama saudara-saudaranya dari Poso.
Dalam keragaman etnis di Toro, yang berkaitan dengan pemanfaatan alam wilayah adat Ngata Toro, seperti kepemilikan tanah, harus tunduk pada Katumpuia Hangkani atau kepemilikan bersama. Artinya tidak bisa diperjualbelikan bahkan disewakan kepada siapapun. Hak warga hanya terbatas pada pemanfaatan yang diatur lembaga adat.
Bukan berarti pemilikan pribadi tidak diakui. Ada aturan yang mengakui hak individu yang disebut Katumpuia Hadua, dimana tanah yang sudah dikelola untuk pertanian, umumnya oleh yang pertamakali membuka lahan itu, yang disebut Popangalea. Status ini disebut Dodoha. Ini yang dibolehkan untuk jual beli.
Perkembangan kampung tentu terjadi. Semakin banyak dan beraga, orang yang datang untuk tinggal di Toro. Tentang hal itu Said Tolao mengatakan, semua yang sudah menjadi warga Ngata wajib menaati aturan yang hidup disini.
“Siapapun dia, agama apapun dan suku apapun. Kalau sudah jadi warga Toro maka wajib menghormati aturan yang berlaku disini”katanya tegas.
“Rima Tana mu todu risitu langi nu hunaka”imbuh Andreas Lagimpu. Dimana tanah dipijak. Disitu langit dijunjung. Dalam banyak kisah. Prinsip ini sudah mulai diabaikan. Apalagi oleh yang merasa mayoritas.
Percakapan seru diakhiri oleh panggilan makan siang. Tina Ngata menutup persamuhan dengan kalimat Nadea Belona, terimakasih banyak.