Menengok Sejarah Festival Danau Poso, Mengembalikan Roh Perhelatan untuk Rakyat

0
491
Dokumentasi pelaksanaan Festival Danau Poso pertama 1989. Dok : Iin Hokey

Tidak akan ada festival Danau Poso tanpa Abdul Karim Bouw dan Yustinus Hokey. Tapi, orang-orang banyak yang melupakannya. Menengok kembali sejarah Festival Danau Poso merupakan salah satu jalan kembali ke  roh Festival Danau Poso sebagai perhelatan rakyat. Perhelatan ini mengusung semangat kebersamaan dan kegembiraan yang berakar pada tradisi kebudayaan rakyat dengan menempatkan Danau Poso bukan sekedar lokasi kegiatan tapi bagian dari ekosistem kebudayaan tersebut – Redaksi.

*****

Balon gas yang membawa kain bertuliskan Festival Danau Poso 1989 dilepaskan ke udara diiringi tarian pepoinaya. Saya beruntung menjadi bagian dari saksi hidup. Peristiwa di tanggal 22 November 1989 itu masih lekat diingatan. Saat itu saya masih berusia 15 tahun.

Setahun sebelum hari itu, di wilayah Pamona berlangsung Pekan Raya Pemuda Gereja ( PRPG ). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka PRPG tidak melulu membahas soal agama. Sebaliknya, para pemuda-pemudi yang hadir menggelar berbagai pertunjukan seni tradisi. Seni tradisi yang digelar menggambarkan tradisi kehidupan masyarakat di sekeliling Danau Poso. Tarian, kayori, musik hingga olahraga danau semuanya menjadi bagian dari kegiatan antar para pemuda pemudi yang hadir . Mereka berasal dari berbagai gereja yang bergabung di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

Hadir dalam kegiatan PRPG saat itu adalah  Kepala Dinas Pariwisata Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, Abdul Karim Mbow. Abdul Karim terkesima bukan hanya pada keindahan Danau Poso tapi pada gelaran tradisi seni yang dibawakan dalam beragam bentuk. Saat itu, Abdul Karim Mbow sedang mencari bentuk atau model yang tepat untuk mempromosikan pariwisata di  wilayah Tentena , secara khusus Danau Poso. Muncullah ide sebuah kegiatan budaya yang lebih besar dari pada PRPG dengan melibatkan seluruh daerah di Sulawesi Tengah.

Ayah saya, Yustinus Hokey, akrab dipanggil Ngkai Tinus  oleh masyarakat di Wingke Ndano menjadi orang yang dihubungi untuk membahas ide Festival Danau Poso itu. Ngkai Tinus telah mengenal Abdul Karim saat membuat film dokumenter tentang Danau Poso untuk diputar di Taman Mini Indonesia Indah. Saat ide Festival Danau Poso muncul, Abdul Karim mengajak Ngkai Tinus mendiskusikannya. Keduanya sepemahaman bahwa ide tentang Festival Danau Poso tidak bisa sim salabim langsung dilakukan.

Baca Juga :  Politik Pangan di mata Perempuan Poso

Hal yang dilakukan pertama kali adalah penelitian partisipatif dengan masyarakat di sekeliling danau Poso.  Abdul Karim bersama Ngkai Tinus berjalan keliling dari satu desa ke desa lain. Alih-alih sosialisasi rencana Festival Danau Poso, warga di setiap desa dimintai pendapat mengenai rencana Festival Danau Poso termasuk masukan mengenai tradisi apa saja yang bisa digelar bersama-sama. Secara tidak langsung, masyarakat dilibatkan untuk menyusun materi Festival Danau Poso.

“Menyerap aspirasi masyarakat” demikian yang saya ingat disampaikan oleh Ngkai Tinus.

Dokumentasi warga membersihkan lokasi Festival Danau Poso pertama. Dokumentasi pelaksanaan Festival Danau Poso pertama 1989. Dok : Iin Hokey

Hasil percakapan dengan masyarakat di sekeliling Danau Poso dituangkan dalam rencana Festival Danau Poso yang pertama. Seluruh kabupaten di Sulawesi Tengah menjadi peserta Festival Danau Poso. Warga di sekeliling Danau Poso khususnya di wilayah Tentena dan sekitarnya bukan hanya menjadi peserta tapi tuan rumah bersama.

Antusiasme terhadap rencana penyelenggaraan Festival Danau Poso ditunjukkan oleh seluruh warga. Sukarela, warga membersihkan lahan di belakang STT GKST untuk dijadikan arena Festival Danau Poso. Rumah-rumah warga dibuka untuk menampung kontingen dari kabupaten lain dan pengunjung yang datang. Di rumah nenek, kami menyiapkan tempat tidur. Rumah kami menjadi salah satu tempat menginap untuk kontingen dari Kabupaten Toli-Toli. Beberapa rumah yang ada di gang juga disiapkan menjadi penginapan peserta lainnya. Belum ada hotel saat itu. Anak-anak muda bergotong royong membangun tenda untuk menginap tidak jauh dari arena. Semua orang sibuk terlibat, tanpa pamrih.

Saya mengambil bagian menjadi salah satu penari untuk meramaikan Festival Danau Poso. Setiap sore hari sepulang sekolah, saya dan teman-teman berkumpul untuk latihan.  Tariannya bernama tari Pepoinaya.  Penarinya merupakan gabungan sanggar tari dari Poso dan grup tari dari Tentena. Sanggar ini dibawa binaan ibu Roos Lumentut dan Pak Rein Puragombo.

Baca Juga :  Sempadan Danau Poso : Menjaga Hak Hidup Warga atau Untuk Keuntungan Investor ?

Festival Danau Poso pertama kali digelar pada tanggal 22 – 28 November 1989. Pelaksanaan FDP selama 1 minggu ini bertempat di lahan berukuran setengah hektar. Tepatnya di dekat Goa Pamona, kelurahan Pamona. Pelaksanaan festival dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah Abdul Aziz Lamadjido dan  Direktur Jenderal Pariwisata Pos dan Telekomunikasi ( Parpostel ), Joop Ave.

Festival Danau Poso pertama tahun 1989 dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah dan Direktur Jenderal Pariwisata Pos dan Telekomunikasi ( Parpostel ), Joop Ave. Dok : Iin Hokey

Diiringi tarian Pepoinaya, pelepasan balon gas ke udara membawa kain bertuliskan Festival Danau Poso 1989 menyambut dimulainya Festival Danau Poso pertama. Tidak ada artis penyanyi ibukota yang dihadirkan untuk menarik pengunjung. Orang datang karena rasa memiliki, penasaran dan ingin merasakan langsung suasana di arena. Semua ingin berpartisipasi meski hanya dengan menonton beragam atraksi dan lomba.

Di siang hari ada lomba perahu dayung. Ada lomba renang menyeberang dari Watu mPamgasa Angga. Pada malam hari, ada pagelaran kesenian dan tradisi yang ditampilkan kabupaten lain yang jadi peserta. Selain pagelaran seni,  terdapat pameran hasil-hasil bumi.

Setiap kabupaten yang hadir terlibat secara aktif dalam seluruh pagelaran seni tradisi. Kabupaten Poso , kabupaten Toli-toli, Kabupaten Luwuk, Kabupaten Donggala.  Masing-masing mempersembahkan gelaran masakan tradisional, beragam seni tradisional, kerajinan tradisional, pakaian tradisional, upacara adat. Khusus untuk seni tradisional, semua digelar secara bergantian setiap malamnya. Satu kabupaten setiap 1 hari. Malam pagelaran seni kota Palu, malam pagelaran seni Kabupaten Luwuk, malam pagelaran seni kabupaten Toli-toli, malam pagelaran seni Kabupaten Donggala. Tidak ada persaingan antar Kabupaten. Yang ada adalah apresiasi atas kekayaan budaya dari masing-masing daerah.

Terdapat juga rumah-rumah panggung yang dibuat khusus untuk Festival Danau Poso. Di dalam rumah panggung ini diisi berbagai pameran kerajinan dan kekayaan alam dari setiap kabupaten. Untuk pertama kalinya saya melihat banyak hal dari banyak kabupaten. Yang paling berkesan buat saya adalah kerajinan lukisan dinding, bukan dari cat di kanvas, tapi cengkeh yang disusun sedemikian rupa. Susunan ini membuat berbagai bentuk,  burung Garuda, kapal dan sebagainya. Untuk pertamanya saya menyentuh bahkan memegang kerang mutiara dari Kabupaten Luwuk. Dari Palu dan Donggala, saya melihat langsung alat tenun dan kain donggala yang sangat mahal harganya.

Baca Juga :  Burung–Burung di Danau Poso : Menjaga Ekosistem, Mengenalkan Kita dengan Arogo
Dokumentasi pelaksanaan Festival Danau Poso pertama 1989. Dok : Iin Hokey

Panggung dibuat terapung di atas danau. Panggung dirancang oleh para seniman. Bagian bawa panggung terbuat dari kayu yang berbaris di atas air. Papan menjadi alas panggung. Berlatar papan tripleks yang ditulis dengan cat “ Festival Danau Poso”. Bagi saya yang saat itu masih remaja, terlihat seperti perahu yang mengapung di atas danau. Panggungnya terbuka. Sebagai latar hanya ada papan tripleks ditulis pakai cat. Tulisannya Festival Danau Poso. Untuk menuju ke panggung, dipasang jembatan kayu. Penonton dengan antusias menonton dari tepian danau. Tepuk tangan bergema setiap akhir penampilan. Benar-benar ajang kebudayaan. Pengunjung menikmati dan mengapresiasi.

Bagi banyak orang yang pertama kali datang ke Danau Poso, mereka bukan hanya menikmati keindahan danau, tapi juga mendapatkan banyak keluarga baru. Tinggal di rumah-rumah penduduk membuat semuanya saling berkenalan. Beberapa menjadikan Festival Danau Poso sebagai ruang berkumpul kembali dengan sanak saudara yang datang dari berjauhan. Perjumpaan yang hangat menjalar hampir di semua tempat di Tentena yang berudara sejuk dan dingin saat itu.  Tidak ada perbedaan suku dan agama. Semua menyatu.

Tentu saat itu kontes Putri Danau Poso sudah ada. Waktu itu  tahapannya masih sangat simpel. Peserta cukup memperagakan pakaian trdisional dan pakaian santai. Kesederhanaan itu merembet pada suasana yang tercipta. Tidak ada persaingan penampilan, semua orang nyaman dengan apa yang mereka miliki. Itu sebab, meskipun lokasi FDP becek karena hujan, pengunjung tidak terlalu peduli. Arena Festival Danau Poso tetap ramai.

Saya menduga kuat, itu karena Festival Danau Poso dimiliki oleh masyarakatnya bukan oleh kelompok tertentu bahkan bukan milik pemerintah. Masyarakat yang memiliki festival membuat Festival Danau Poso bukan sekedar sebuat event tahunan tapi sebuah perayaan kebudayaan.

Penulis : Iin Hokey

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda