“Mengetahui bumi yang ditinggali, sejarah pembentukannya dan ekosistem yang terbentuk setelahnya, kami yakini akan membantu merencanakan bentuk pembangunan berkelanjutan “
Lian Gogali, ketua tim Ekspedisi Poso menyampaikan argumentasi mengapa perjalanan Ekspedisi Poso bukanlah sekedar perjalanan keliling titik-titik penting geosite, tapi sebuah proses belajar mengenal bumi yang didiami agar bisa merancang pembangunan yang berkelanjutan . Pernyataan ini disampaikan dalam percakapan bersama anggota tim ekspedisi Poso dengan SKPD Kabupaten Poso dari berbagai kedinasan di ruang Bappelitbangda, 8 November 2024. Diskusi ini dilakukan sebagai rangkaian dari proses bersama untuk menyusun dokumen rencana induk geopark Poso. Geopark Poso diharapkan menjadi tema pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Poso.
Di akhir Oktober hingga minggu kedua November 2024, tim Ekspedisi Poso yang terdiri dari para ahli Geologi, Arkeologi, Antropologi, Biologi dan Ekonomi, ahli kebencanaan serta Pariwisata Berkelanjutan, selama dua pekan melakukan perjalanan ke 19 titik dari 24 titik situs geologi dan arkeologi yang akan ditetapkan sebagai warisan geologi oleh Kementerian ESDM.
Perjalanan dimulai pada tanggal 4 November 2024 dengan mengunjungi situs Conical Hill yakni bukit batu gamping kerucut di tengah sawah yang ada di wilayah Posunga, Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba. Selanjutnya, situs Ketidakselarasan Petirodongi yang ada di tepi jalan penghubung antara Kelurahan Petirodongi dengan Kelurahan Tendeadongi. Situs ini menjadi salah satu bukti ilmiah bahwa dahulu wilayah ini adalah dasar samudera yang terangkat ke permukaan. Dari Petirodongi, tim kemudian melanjutkan perjalanan ke situs Batu Gamping Malihan Wawondoda di Kelurahan Sawidago, Pamona Utara. Lokasi yang berada diketinggian lebih dari 900 mdpl ini berupa dinding batuan raksasa yang secara geologi, juga menunjukkan bahwa lokadi ini dahulu adalah dasar lautan yang terangkat ke permukaan sekitar 0,3 hingga 65 juta tahun lalu.
Pada hari yang sama tim juga mengunjungi Gua Tangkaboba dan Gua Latea. Di dua lokasi yang yang sudah populer sebagai destinasi wisata di wilayah Kelurahan Tentena dan Sangele ini, tim memeriksa kembali jenis batuannya berupa batuan karst dan stalaktit yang ada di mulut gua. Lokasi ini oleh Badan Geologi disebut memiliki banyak makna. Dari sisi fungsi, ini merupakan kunci proses tektonik di Kabupaten Poso, selain itu sebagai bukti ilmiah dahulu air Danau Poso sampai ke wilayah itu.
Lokasi lain di Kecamatan Pamona Puselemba yang menjadi calon Warisan Geologi adalah Gua Pamona dan Air Terjun Saluopa. Oleh Badan Geologi, Air Terjun Saluopa disebut Travertin Saluopa. Ini menggambarkan lokasi itu secara geologi adalah bukti kunci proses pengendapan mineral kalsium karbonat secara kimia pada air tawar. Selain itu, di sisi pariwisata, kawasan ini menjadi salah satu daya tarik penting menarik wisatawan datang ke Kabupaten Poso.
Perjalanan Ekspedisi Poso Ketiga ini juga melakukan perjalanan untuk melihat batuan Sekis Hijau dan Sekis Biru serta Gneiss di Desa Kuku dan Panjoka, Kecamatan Pamona Utara. Gneiss adalah batu gamping yang berubah menjadi marmer dengan warna abu-abu kehitaman. Sedangkan Sekis hijau menurut Badan Geologi terbentuk pada suhu tekanan rendah. Bagi para peneliti, menemukan sekis hijau dan biru menjadi sangat penting untuk memahami proses terbentuknya sebuah wilayah yang berlangsung jutaan tahun lalu.
Di wilayah Pamona Timur, terdapat tiga situs geologi yang dikunjungi. Zeolit Pompangeo, Foliasi di Desa Taripa dan Filit Pompangeo di Desa Matialemba. Geolog di Nanyang Technologies Universtity Singapura (NTU) Dr Abang Mansyursyah S Nugraha, menjelaskan zeolit adalah jenis mineral yang berguna untuk menyerap polutan dan bahan penyaring air di dalam tanah. Dekat dengan lokasi situs Zeolit Taripa adalah batuan filit di Desa Matialemba. Menurut dosen Petrologi dan Geologi Ekonomi Universitas Tadulako, Riska Puspita, filit adalah batuan metamorf berfoliasi dengan tekstur halus. Menurutnya, batuan ini terbentuk dari perubahan batuan sedimen pada metamorfisme tingkat rendah hingga menengah.
Jika sebelumnya wilayah Pamona menjadi tujuan utama perjalanan Ekspedisi, kali ini di wilayah Poso Pesisir terdapat 2 titik yaitu mata air panas Pantangolemba dan hipostratotipe formasi Puna Tangkura. Mata air panas di Pantangolemba sejauh ini telah dikembangkan warga meskipun masih terbatas penggunaannya dan baru diakses mereka yang ada disekitar Kabupaten Poso. Sementara itu di lokasi yang disebut hipostratotipe formasi Puna Tangkura terdapat lokasi yang struktur lapisan batuan dan tanahnya seperti berlapis. lokasi ini terdapat singkapan perselingan antara batulempung karbonatan dan batupasir halus. Tidak jauh dari lokasi ini, tim geologi menemukan adanya bukti sesar yang membentuk kawasan itu jutaan tahun lampau.
Perjalanan tim Ekspedisi Poso ke wilayah Lore juga menemukan pelajaran mengenai kebumian yang luar biasa. Seperti halnya situs geologi yang juga punya potensi pengembangan pariwisata, di situs air terjun desa Kolori, juga terdapat situs arkeologi bernilai tinggi yang bisa menjelaskan darimana sumber batuan untuk membuat patung-patung megalit diwilayah itu. Disini, dalam satu lokasi ada dua situs penting, yakni bekas bengkel untuk membuat megalit dan air terjun yang menjadi penanda sesar atau patahan. Tidak jauh dari lokasi ini ada Palindo, situs megalit paling terkenal di Kabupaten Poso. Hanya berjarak sekitar 5 kilometer, terdapat permandiam air panas Lengkeka. Namun karena kondisi jalannya yang belum baik, waktu tempuh ketiga lokasi ini menjadi lebih lama.
Perjalanan ini bukan hanya sekedar memeriksa ulang data yang dikirimkan oleh Badan Geologi. Namun juga mengajak masyarakat sekitar lokasi untuk terlibat membicarakannya setelah tim selesai mengunjungi lokasi. Pada malam harinya, dilaksanakan diskusi terfokus bersama warga.Diskusi hari pertama dilaksanakan di Baruga Kelurahan Pamona. Dalam diskusi yang diikuti perwakilan warga dari Petirodongi, Pamona, Sangele, Tentena dan Sawidago. Keterlibatan warga disekitar lokasi situs geologi menjadi salah satu aspek penting dalam konsep Geopark atau Taman Bumi yakni, mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar dengan berazaskan perlindungan keanekaragaman geologi, hayati dan budaya yang ada dikawasan itu.
Meski lebih banyak memeriksa data geologi, namun sisi arkeologi, budaya dan keanekaragamam hayati yang ada di kawasan itu juga ditelisik untuk melihat bagaimana saling pengaruh antara kondisi geologis suatu wilayah dengan kondisi keanekaragaman hayati didalamnya. Demikian pula cerita rakyat yang mempengaruhi masyarakat di sekitar. Semua kajian yang dilakukan nantinya akan memperkuat narasi setiap situs saat dikembangkan menjadi wilayah penelitian atau kepariwisataan.
Meski secara umum situs-situs ini tidak begitu menarik bagi wisatawan umum. Namun sangat menarik jika dikembangkan sebagai kawasan wisata minat khusus. Terutama bagi para mahasiswa, peneliti hingga mereka yang senang mempelajari sejarah bumi. Bukan hanya di wilayah Pamona bersaudara. Bukti-bukti geologi yang menunjukkan proses terbentuknya wilayah Poso dan Sulawesi juga bisa dilihat dari Hipostratotipe di tebing Desa Tangkura, Kecamatan Poso Pesisir Selatan. Situs ini menunjukkan bukti genangan laut di Kabupaten Poso sekitar 2,5 juta tahun lalu.
Proses verifikasi kembali atas situs-situs geologi ini menemukan adanya beberapa temuan baru. Misalnya pada titik situs breksit, tim Ekspedisi Poso menemukan adanya situs Konglomerat yang menunjukkan, jutaan tahun lalu wilayah ini adalah dasar lautan.
Proses verifikasi yang dilakukan oleh tim gabungan ahli di Ekspedisi Poso selanjutnya akan dikirimkan kembali ke Badan Geologi. Selanjutnya, akan di dilakukan FGD untuk penetapan Warisan Geologi. Kegiatan yang didukung oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah ini dilaksanakan oleh Yayasan Dodoha Pakaroso Mosintuwu. Dokumen Warisan Geologi menjadi langkah awal untuk menuju Geopark Poso.
Menggali Cerita Rakyat dan Potensi Pengembangan Pariwisata di Situs Geologi Poso
Usai menyusuri situs-situs geologi di siang hari. Pada malam harinya tim Ekspedisi Poso melakukan diskusi terfokus dengan warga Desa Taripa, Poleganyara dan Desa Matialemba. Warga yang datang menceritakan keanekaragaman hayati dan kebudayaan di wilayahnya.
Neni Muhidin, tim ahli yang menggali kebudayaan dan cerita rakyat menanyakan hubungan antara situs-situs geologi dengan kebudayaan masyarakat sekitar. Dia mendapati satu cerita tentang terbentuknya Danau Toju yang lokasinya berdekatan dengan Filit Matialemba dan Zeolit Taripa.
Salah satu cerita legenda yang lekat dengan masyarakat Taripa adalah terjadinya Danau Toju di Desa Tiu. Dahulu Telaga Toju sangat luas dan menjadi sumber ikan yang memenuhi kebutuhan warga setempat. Danau Toju bermula dari cerita seorang ibu yang sedang menjahit pakaian dalam keadaan menstruasi. Saat sedang menjahit, jarumnya tiba-tiba jatuh dari rumah panggung yang ditempatinya. Si ibu lalu menyuruh kucingnya untuk mengambil jarum jatuh. Saat kucing naik kembali ke rumah, setiap satu langkah menaiki anak tangga air selalu mengikutinya. Air berhenti saat kucing menapaki tangga terakhir. Sejak itu air membentuk wilayah Toju menjadi telaga. Sayangnya, Telaga Toju kini tersisa seukuran kolam kecil berair keruh. Sekelilingnya adalah perkebunan sawit.
Dalam diskusi, Maskuri Sutomo, tim ahli ekonomi Ekspedisi Poso menggali cerita tentang potensi dan kendala yang dihadapi warga dalam mengelola kekayaan alamnya, khususnya dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Selain sejumlah objek situs geologi, masyarakat di Pamona Timur juga punya kekayaan alam seperti buah Jongi yang bisa dikembangkan sebagai bahan utama pembuatan jus. Kekayaan alam yang luarbiasa banyak itu hingga kini belum terkelola dengan baik.
“Banyak orang yang datang berkunjung kesini tapi mereka hanya singgah sebentar. Merekal lebih lama di Pendolo karena disana fasilitas seperti penginapan sudah tersedia”kata salah seorang warga yang datang di diskusi terfokus mengenai salah satu kendala pengembangan pariwisata yang mereka hadapi. Selain belum tersedianya akomodasi yang memadai, hingga kini juga belum ada produk khas Pamona Timur yang bisa ditawarkan kepada wisatawan yang datang.
Dalam diskusi bersama warga, terungkap ide-ide mengembangkan situs geologi itu untuk kegiatan ekonomi dan kepariwisataan. Dr. Maskuri Sutomo, tim ahli yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Tadulako mengatakan, pentingnya menyiapkan konsep pariwisata yang bisa membuat wisatawan yang datang kelokasi yang dikunjungi bisa tinggal lebih lama. Hal itu penting agar terjadi perputaran ekonomi.
“Untuk itu penting bagi kita untuk menyiapkan produk-produk ekonomi kreatif yang unik yang bisa ditawarkan kepada wisatawan yang datang”katanya. Selain produk kerajinan dan makanan, paket wisata yang menarik juga perlu disiapkan untuk menarik kunjungan.
Dalam diskusi dengan warga Desa Wera tempat dimana air terjun ini berada, sejumlah warga mengungkapkan masih minimnya kontribusinya terhadap perekonomian masyarakat setempat.
“Wisatawan sekarang hanya datang sebentar. Tidak sempat berbelanja disini. Ada bahkan yang datang sudah lengkap dengan makanan sendiri. Jadi kami sulit juga untuk berjualan”kata ibu Putri salah seorang warga yang tinggal disekitar lokasi air terjun Saluopa. Sedangkan dalam diskusi bersama warga Desa Petiro dan Poleganyara di Kecamatan Pamona Timur, tim ekspedisi juga menemukan persoalan yang sama, yakni masih kurangnya sarana dan prasarana pendukung di lokasi serta belum banyak yang mengetahui objek-objek itu.
Belum tersedianya berbagai produk hasil karya warga sekitar di lokasi-lokasi pariwisata dan lokasi potensi warisan geologi di Kabupaten Poso masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Sebab menurut Oka Agatsya, tim ahli pariwisata berkelanjutan di Ekspedisi Poso, Geopark sejatinya adalah sebuah konsep pembangunan yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan dan mensejahterakan masyarakat.
Dalam diskusi dengan warga Desa Lengkeka, Kolori dan Badangkaia di gedung serba guna Gereja Sion Gintu, warga mengemukakan pentingnya mengatasi kendala infrastruktur seperti jalan. Selain itu mengusulkan agar ada papan informasi disetiap situs sehingga setiap orang yang datang dapat mengetahui apa yang sedang mereka kunjungi. Selain itu mereka mendorong pentingnya melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi dan kepariwisataan.
Perjalanan Ekspedisi Poso yang dilakukan ke tiga kalinya ini merupakan kelanjutan dari perjalanan Ekspedisi Poso yang sebelumnya dilakukan sejak tahun 2019 dan 2020. Jika sebelumnya perjalanan Ekspedisi Poso pertama dilakukan dalam rangka menelusuri keanekaragaman hayati, geologi dan kebudayaan serta potensi bencana dan bagaimana warga meresponnya. Hasil perjalanan Ekspedisi Poso ini menghasilkan usulan agar Kabupaten Poso menjadi geopark. Perjalanan Ekspedisi Poso kedua dilakukan dalam rangka menyiapkan usulan geopark Poso dengan fokus pada penyusunan dokumen warisan geologi. Perjalanan Ekspedisi Poso ketiga kali ini dilakukan dalam rangka penyusunan dokumen rencana induk geopark Poso. Tahapan ini dilakukan setelah usulan penetapan Warisan Geologi mendapatkan respon dari Badan Geologi.
“Menjadikan taman bumi Poso dengan konsep konservasi, pendidikan dan mendukung ekonomi masyarakat, diharapkan bisa menjadi arah pembangunan di Kabupaten Poso” demikian mimpi dari perjalanan Ekspedisi Poso ini. Penyusunan rencana induk geopark Poso ini menjadi langkah awal dalam pembangunan berkelanjutan yang memuliakan bumi, mensejahterakan masyarakat.