Membukukan Dongeng Poso, Merawat Ingatan, Menghidupkan Imajinasi

0
61
Dongeng Pada Marari. Dongeng ditulis ulang oleh Indry Kainina dalam buku Dongeng Laolita to Poso . Penulisan dongeng merupakan bagian dari gerakan literasi Mosintuwu yang didukung oleh Badan Bahasa Kemendikbud Ristek RI. Ilustrasi : Nai Raiket

Sekumpulan anak muda yang tergabung dalam Komunitas Dongeng Poso sedang mengumpulkan kembali laolita atau cerita dongeng yang pernah didengar orang-orang tua mereka turun temurun. Bukan gerakan literasi semata. Lebih dari itu, mereka sedang mendorong minat baca dan menjaga imajinasi yang semakin tergerus oleh perubahan teknologi.

Selama hampir setahun, sejak 2024 Dina Ancura, Kezia Audriana Putri Tabunggi, Eca Torokano,Ferny Evaristha To’umbo, Aurel Miranda Sewang dan Indry Kanina mengumpulkan cerita dari orang tua di rumah, hingga pergi menemui para tetua di kampung untuk melacak dongeng yang dahulu sering diceritakan kepada anak-anak di rumah atau saat ada hajatan di kampung. Mereka menemukan puluhan cerita, baik yang sudah pernah didengarkan sebelumnya maupun yang baru mereka ketahui.

Sumber laolita lainnya adalah buku 150 Laolita to Poso, buku berisi kumpulan dongeng rakyat Poso yang dikumpulkan oleh antropolog Belanda, N.Adriani dan A.C Kruyt yang terbit tahun 1902 silam.

Yang menarik, semuanya diceritakan dalam bahasa Bare’e, dan umumnya dengan topik tentang hubungan antar manusia dan manusia dengan alam serta tentang fenomena geologi. Uniknya lagi, cerita-cerita ini lekat dengan desa tertentu. Ambil contoh Watu mPoga’a yang dekat dengan warga Kelurahan Pamona atau Watu Yano yang erat dengan warga Desa Dulumai.

Menerjemaahkan Hingga Menulis Ulang

Karena cerita yang mereka kumpulkan itu berbahasa Bare’e, maka Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menerjemaahkannya kedalam bahasa Indonesia

Misalnya laolita Watu mPoga’a, tentang sejarah penyebaran masyarakat suku Pamona dimasa lalu. Atau cerita Watu Yano, tentang seorang ibu dan bayinya yang berubah menjadi batu di Desa Dulumai, ujung selatan Kecamatan Pamona Puselemba.

Baca Juga :  Kekayaan Danau Poso, Menuju Geopark

Ada juga kisah tentang kesombongan Boti, seekor kera di sebuah hutan yang selalu ingin memperdengarkan suara nyanyiannya tanpa memperdulikan hewan lain yang sedang beristirahat terganggu.

Workshop menulis dongeng di Dodoha Mosintuwu
Workshop menulis dongeng di Dodoha Mosintuwu

Laolita, menjadi salah satu sumber pengetahuan lokal tentang sebuah peristiwa, tempat, alam dan kebijakasanaan. Bagi masyarakat Poso, mendongeng sudah menjadi bagian dari tradisi kebudayaan yang masih hidup sampai saat ini, meskipun semakin sedikit yang melakukannya didalam keluarga.

Masyarakat Kabupaten Poso sesungguhnya sangat dekat dengan dongeng. Mulai dari kisah tentang hubungan manusia dengan binatang, cerita hubungan antar binatang hingga kejadian-kejadian yang penandanya masih bisa kita lihat sampai hari ini.

Dari puluhan laolita yang dikumpulkan oleh 6 orang pelajar dari beberapa sekolah di Poso ini, mereka kemudian mendiskusikan mana yang akan dipilih untuk ditulis ulang. Proses ini dibantu oleh Lian Gogali (peneliti dan penulis) dan Iin Hokey (pemerhati budaya Poso) serta Mochamad Ariyo Zidhni (Ayo Dongeng Indonesia). Hasilnya dipilih 9 cerita untuk ditulis Kembali. Pemilihan 9 cerita ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti nilai cerita, konteks cerita,

Menulis ulang laolita bukan pekerjaan mudah. Sebab, banyak kata dalam bahasa aslinya yang penerjemahannya memerlukan diskusi dengan beberapa orang budayawan untuk mengerti konteks yang sedang dibahas.

Konteks itu berkaitan dengan situasi Poso dimasa lampau dan relevansinya saat ini. Misalnya dalam kisah tentang konflik antara burung Alo dan Pune berkaitan dengan kepemilikan perhiasan. Diceritakan tentang Alo yang meminjam perhiasan milik Pune, namun tidak mau mengembalikannya. Pelajaran dari cerita ini adalah manusia harus menepati janji dan tidak boleh menguasai apa yang bukan menjadi haknya.

Baca Juga :  Menelisik Sesar Purba dan Kisah Cinta yang Tragis di Pada Marari

Para penulis muda ini melakukannya perlahan-lahan dan hati-hati melalui proses training menulis, membaca ulang dongeng dan kembali menulis.

Saling Memberi Masukan Selama Proses Penulisan

Selama proses penulisan ulang dongeng ini, Eca, Dina, Verny, Aurel, Kezhia dan Indry mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan tentang menulis dan bagaimana Teknik mendongeng yang menarik orang untuk mendengarkannya.

Ariyo Zidhni mengajak mereka mengenal teknik dasar bercerita yakni bagaimana menyatukan intonasi suara, mimik muka dan gerak tubuh yang padu dengan apa yang sedang diceritakan.

Yang menarik, ke enam anak mud aini selain praktek mendongeng, juga mereka saling memberikan masukan dan tips satu sama lain.

“Belajar mendongeng itu membutuhkan proses dan kebesaran hati untuk mendengar masukan dari teman apa kekurangan kita dan apa yang perlu diperbaiki”kata Verny mengenai proses yang mereka lalui selama proses penulisan.

“Jangan menunduk dan seperti membaca saja.”komentar Eca setelah Dina menceritakan Nyanyian Boti yang ditulisnya. Mereka saling memberi masukan, tidak ada yang tersinggung. Yang mendapat masukan, menjadikannya sebagai evaluasi untuk meningkatkan kemampuannya.

Mendongeng atau menuliskannya Kembali dirasakan oleh Dina memberikan banyak manfaat buat dirinya. Selama proses penulisan, selain kosakatanya semakin bertambah, dia merasa punya wawasan baru tentang Poso dan isu-isu lingkungan serta budaya.

Beberapa penelitian memang menyebutkan, dongeng bukan hanya memberikan manfaat bagi pendengarnya, tetapi juga bagi si pendongeng sendiri.

Menjaga Dongeng Poso Ditengah Perubahan Zaman

“Dongeng dalam versi modern memang lebih terasa nyata, tetapi jangan lupa hal itu justru dapat mengikis daya khayal anak-anak yang dulu berkembang karena mendengarkan cerita melalui lisan dan penggambaran.”kata psikolog Viska Erma Mustika dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Jogjakarta mengenai manfaat dongeng di era digital. Dia menyarankan para orang tua mendongengkan kembali anak-anaknya pada malam hari sebelum tidur.

Baca Juga :  Bapasiar, Tradisi Natal Tahun Baru di Poso
Anak-Anak penting mendengarkan dongeng untuk menjaga daya ingat dan imajinasinya
Anak-Anak di Desa Dulumai mendengarkan cerita dari orang tua di Baruga. Para ahli mengatakan, anak-anak penting mendengarkan dongeng untuk menjaga daya ingat dan imajinasinya. (foto :dok.Mosintuwu)

Selain meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak-anak yang semakin berkurang di era digital, mendongeng diyakini sangat efektif menjembatani kesenjangan emosional antara anak dengan orang tuanya.

Lian Gogali mengatakan, menulis ulang dongeng Poso merupakan salah satu cara merawat kebijaksanaan orang-orang tua agar tidak hilang dari ingatan masyarakat.

Kekhawatiran hilangnya kebijaksanaan warisan leluhur itu sangat beralasan. Sejumlah riset menunjukkan adanya penurunan daya ingat masyarakat kita karena teknologi sudah mengambil alih hamper semua pekerjan yang memerlukan otak. Kini semua ingin dikerjakan secara instan dan memperoleh hasil instan. Tidak ada lagi ruang untuk mengetahui bagaimana prosesnya, karena ingin langsung pada hasil.

Hal yang kemudian membuat fungsi otak semakin berkurang. Karena itu dongeng menjadi salah satu cara untuk memgembalikan fungsi-fungsi yang sudah semakin berkurang itu, terutama pada anak.

Eko Setiawan, Dosen Jurusan Etnomosukologi ISI Surakarta, dalam artikelnya di harian Kompas edisi 21 Februari 2021, Melemahnya Ingatan, Matinya Imajinasi menyebut, teknologi memutus rantai ingatan yang erat bersentuhan dengan lapis imajinasi. Ingatan manusia, menurut dia semakin pendek sementara imajinasi semakin sempit atau picik.

Karena itu mengumpulkan, menuliskan kembali dan menceritakan dongeng kepada anak-anak bukan hanya sekedar menghibur, menyampaikan kebijaksanaan leluhur. Tetapi lebih dari itu, mendongeng adalah upaya menjaga ingatan manusia agar tetap waras dan tidak terseret perubahan yang tidak kita kenal.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda