Jelajah Waktu : Poso Dulu dan Kini

0
3650
Pameran Foto : Poso Dulu dan Kini . Foto : Dok.Novieta Tourisia

Tanah harapan, demikian kira-kira  cara baru orang Poso bicara tentang Poso. Hal ini yang  tergambar dari keseluruhan semangat pameran foto “ Jelajah Waktu : Poso dulu dan kini” yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Maetala Trails pada tanggal 2 – 9 September 2014. berbicara sangat berbeda dari apa yang selama ini disampaikan oleh media massa, tentang Poso sebagai wilayah kekerasan.

Pameran foto yang ditata apik menyerupai gerbang jalan menuju danau dengan penataan lampu yang indah ini menghadirkan tiga episode berbeda dari kehidupan di Poso. Episode pertama menampilkan kehidupan masyarakat di Poso pada tahun 1940-an, yang sebagian besar menghadirkan foto-foto bangunan penduduk jaman dahulu, bentuk pakaian , alat menenun, alat makan. Episode kedua menampilkan keadaan masyarakat pada tahun 1970-80an antara lain mulai adanya pembangunan jalan, pembangunan jembatan pertama, pelaksanaan tradisi adat dan sebagainya. Episode ketiga menampilkan pemandangan alam yang indah dari Poso, mulai dari air terjun, batu melayang, kuliner khas Poso,  keindahan Danau Poso, sungai dan perbukitan, hamparan sawah dan kehidupan masyarakat Poso saat ini. Episode ketiga ini dilengkapi oleh serangkaian foto kegiatan perempuan dan anak yang diorganisir oleh Mosintuwu melalui Project Sophia dan Sekolah Perempuan.

Pilihan untuk menampilkan foto-foto tersebut dalam pameran tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, proses mengingat ulang sejarah Poso yang pernah hidup. Mengingat diperlukan agar orang Poso tidak kehilangan akar kehidupannya dalam perkembangan modernisasi, termasuk karena peristiwa konflik yang pernah terjadi. Mengingat juga dibutuhkan untuk melakukan refleksi atas sejarah kehidupan orang Poso sehingga mampu memiliki visi memandang Poso ke depan. Kedua, memperkenalkan cara lain membicarakan Poso. Poso yang selama ini diperkenalkan oleh media massa sebagai wilayah penuh kekerasan, adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam yang indah. Memperkenalkan wajah Poso melalui kekayaan alamnya yang indah merupakan sebuah gugatan atas persepsi yang keliru dan menakutkan tentang Poso, sekaligus membangun harapan atas kehidupan di Poso. Hal ini disampaikan oleh Lian Gogali, Ketua Mosintuwu, yang juga salah satu penggagas diadakannya pameran foto ini. Kampanye tentang Poso yang damai dan bahkan adalah tanah harapan dimana kehidupan bisa dibangun adalah salah satu tujuan pameran ini.

Pameran foto yang baru pertama kali diadakan di Kabupaten Poso setelah konflik terjadi, menarik minat banyak orang terutama pada pelajar. Pelajar SMP dan SMU termasuk para guru terbanyak mengunjungi pameran setiap harinya. Antusiasme masyarakat ini terlihat antara lain ketika kunjungan dilakukan bahkan sebelum jam pameran dibuka, yaitu pukul 09.00. Bahkan, beberapa sekolah memberikan tugas khusus bagi pelajar yang berkunjung untuk melakukan catatan dan refleksi atas hasil kunjungannya. Lokasi pameran yang berada di tepi Danau Poso menambah dramatis makna dari dilaksanakannya pameran ini. Apalagi hal ini ditunjang oleh bentuk bangunan unik yang berbentuk ikan dengan keseluruhan strukturnya terbuat dari bambu menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung.

Baca Juga :  Dendangkan Perlindungan Tubuh Anak dan Remaja

Para pengunjung bukan hanya datang dari sekitar Tentena, lokasi dimana pameran diadakan. Beberapa pengunjung dari Kota Poso, bahkan turis dari beberapa negara juga tampak hadir menikmati sajian episode kehidupan di Poso. Rasa takjub atas pengetahuan baru yang diperoleh , diskusi-diskusi kecil hingga perdebatan mengenai foto nampak terjadi disela-sela kunjungan. Seorang pelajar nampak berdiskusi dengan gurunya mengenai mengapa rumah lobo, rumah adat di Poso, sudah tidak lagi ada terlihat. Dua orang tua nampak berdebat mengenai model pakaian adat yang digunakan di dalam foto, sementara yang lain mulai menulis daftar tempat wisata di Poso yang ternyata banyak namun tidak pernah dibicarakan. Harapan agar pameran ini masih akan dilakukan dengan tema-tema berbeda menjadi harapan yang terucap dan tertulis oleh pada pengunjung.

Pameran diramaikan dengan malam seni dan kebudayaan. Sajian tarian tradisional Mo dero yang dilantunkan dengan syair diiringi gendang dan gong membuka malam seni dengan gempita. Tarian Dero adalah salah satu tarian di Poso yang mengalami perubahan besar seiring dengan perkembangan modernisasi dan teknologi musik. Menampilkan tarian dero  ini dimaksudkan untuk mengembalikan makna atas tarian yang terkenal sebagai tarian persahabatan ini. Tampil pula musik khas orang Poso, geso-geso, sebuah biola tradisional yang dimainkan dengan satu senar mengiringi sebuah dongeng. Tidak ketinggalan lagu-lagu karambangan, khas Poso meramaikan malam seni dan budaya ini. Meskipun diiringi hujan deras tidak menghentikan keharuan para orang tua menyaksikan lagi sebagian dari kebudayaan Poso yang sudah hampir hilang, dan anak-anak muda yang antusias mendengar sejarah yang pernah hidup di Poso. Anugerah, salah seorang anak muda kelahiran Tana Poso yang saat ini sedang kuliah di Yogyakarta menyampaikan keyakinannya bahwa Tana Poso bisa terus dijaga bersama-sama.

Novieta Tourisia, penggagas pameran foto dari Maetalla Trails mengatakan bahwa Poso merupakan wilayah yang harus mulai dikenal dengan cara yang berbeda, ini akan memberikan kekuatan kehidupan bagi orang di Poso sendiri. Hal itu yang mendorong Maetalla Trails aktif dalam mengkampanyekan keindahan alam di Poso.  Ya, langkah ini memupuk harapan akan kembalinya kedaulatan orang Poso atas kebudayaannya, atas sejarahnya sendiri. Semoga.

Baca Juga :  Cerita Buruh Poso di Hari MarsinahThe Labour Stories in Marsinah's Day

Tanah harapan, demikian kira-kira  cara baru orang Poso bicara tentang Poso. Hal ini yang  tergambar dari keseluruhan semangat pameran foto “ Jelajah Waktu : Poso dulu dan kini” yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Maetala Trails pada tanggal 2 – 9 September 2014. berbicara sangat berbeda dari apa yang selama ini disampaikan oleh media massa, tentang Poso sebagai wilayah kekerasan.

Pameran foto yang ditata apik menyerupai gerbang jalan menuju danau dengan penataan lampu yang indah ini menghadirkan tiga episode berbeda dari kehidupan di Poso. Episode pertama menampilkan kehidupan masyarakat di Poso pada tahun 1940-an, yang sebagian besar menghadirkan foto-foto bangunan penduduk jaman dahulu, bentuk pakaian , alat menenun, alat makan. Episode kedua menampilkan keadaan masyarakat pada tahun 1970-80an antara lain mulai adanya pembangunan jalan, pembangunan jembatan pertama, pelaksanaan tradisi adat dan sebagainya. Episode ketiga menampilkan pemandangan alam yang indah dari Poso, mulai dari air terjun, batu melayang, kuliner khas Poso,  keindahan Danau Poso, sungai dan perbukitan, hamparan sawah dan kehidupan masyarakat Poso saat ini. Episode ketiga ini dilengkapi oleh serangkaian foto kegiatan perempuan dan anak yang diorganisir oleh Mosintuwu melalui Project Sophia dan Sekolah Perempuan.

Pilihan untuk menampilkan foto-foto tersebut dalam pameran tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, proses mengingat ulang sejarah Poso yang pernah hidup. Mengingat diperlukan agar orang Poso tidak kehilangan akar kehidupannya dalam perkembangan modernisasi, termasuk karena peristiwa konflik yang pernah terjadi. Mengingat juga dibutuhkan untuk melakukan refleksi atas sejarah kehidupan orang Poso sehingga mampu memiliki visi memandang Poso ke depan. Kedua, memperkenalkan cara lain membicarakan Poso. Poso yang selama ini diperkenalkan oleh media massa sebagai wilayah penuh kekerasan, adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam yang indah. Memperkenalkan wajah Poso melalui kekayaan alamnya yang indah merupakan sebuah gugatan atas persepsi yang keliru dan menakutkan tentang Poso, sekaligus membangun harapan atas kehidupan di Poso. Hal ini disampaikan oleh Lian Gogali, Ketua Mosintuwu, yang juga salah satu penggagas diadakannya pameran foto ini. Kampanye tentang Poso yang damai dan bahkan adalah tanah harapan dimana kehidupan bisa dibangun adalah salah satu tujuan pameran ini.

Pameran foto yang baru pertama kali diadakan di Kabupaten Poso setelah konflik terjadi, menarik minat banyak orang terutama pada pelajar. Pelajar SMP dan SMU termasuk para guru terbanyak mengunjungi pameran setiap harinya. Antusiasme masyarakat ini terlihat antara lain ketika kunjungan dilakukan bahkan sebelum jam pameran dibuka, yaitu pukul 09.00. Bahkan, beberapa sekolah memberikan tugas khusus bagi pelajar yang berkunjung untuk melakukan catatan dan refleksi atas hasil kunjungannya. Lokasi pameran yang berada di tepi Danau Poso menambah dramatis makna dari dilaksanakannya pameran ini. Apalagi hal ini ditunjang oleh bentuk bangunan unik yang berbentuk ikan dengan keseluruhan strukturnya terbuat dari bambu menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung.

Baca Juga :  Konferensi Perempuan Poso: Kami Diabaikan dan Dimiskinkan oleh Pembangunan

Para pengunjung bukan hanya datang dari sekitar Tentena, lokasi dimana pameran diadakan. Beberapa pengunjung dari Kota Poso, bahkan turis dari beberapa negara juga tampak hadir menikmati sajian episode kehidupan di Poso. Rasa takjub atas pengetahuan baru yang diperoleh , diskusi-diskusi kecil hingga perdebatan mengenai foto nampak terjadi disela-sela kunjungan. Seorang pelajar nampak berdiskusi dengan gurunya mengenai mengapa rumah lobo, rumah adat di Poso, sudah tidak lagi ada terlihat. Dua orang tua nampak berdebat mengenai model pakaian adat yang digunakan di dalam foto, sementara yang lain mulai menulis daftar tempat wisata di Poso yang ternyata banyak namun tidak pernah dibicarakan. Harapan agar pameran ini masih akan dilakukan dengan tema-tema berbeda menjadi harapan yang terucap dan tertulis oleh pada pengunjung.

Pameran diramaikan dengan malam seni dan kebudayaan. Sajian tarian tradisional Mo dero yang dilantunkan dengan syair diiringi gendang dan gong membuka malam seni dengan gempita. Tarian Dero adalah salah satu tarian di Poso yang mengalami perubahan besar seiring dengan perkembangan modernisasi dan teknologi musik. Menampilkan tarian dero  ini dimaksudkan untuk mengembalikan makna atas tarian yang terkenal sebagai tarian persahabatan ini. Tampil pula musik khas orang Poso, geso-geso, sebuah biola tradisional yang dimainkan dengan satu senar mengiringi sebuah dongeng. Tidak ketinggalan lagu-lagu karambangan, khas Poso meramaikan malam seni dan budaya ini. Meskipun diiringi hujan deras tidak menghentikan keharuan para orang tua menyaksikan lagi sebagian dari kebudayaan Poso yang sudah hampir hilang, dan anak-anak muda yang antusias mendengar sejarah yang pernah hidup di Poso. Anugerah, salah seorang anak muda kelahiran Tana Poso yang saat ini sedang kuliah di Yogyakarta menyampaikan keyakinannya bahwa Tana Poso bisa terus dijaga bersama-sama.

Novieta Tourisia, penggagas pameran foto dari Maetalla Trails mengatakan bahwa Poso merupakan wilayah yang harus mulai dikenal dengan cara yang berbeda, ini akan memberikan kekuatan kehidupan bagi orang di Poso sendiri. Hal itu yang mendorong Maetalla Trails aktif dalam mengkampanyekan keindahan alam di Poso.  Ya, langkah ini memupuk harapan akan kembalinya kedaulatan orang Poso atas kebudayaannya, atas sejarahnya sendiri. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda