“Pada suatu malam, pintu rumah saya diketuk. Ketukan pintu yang membawa kabar baik untuk saya dan keluarga saya. Saya diajak ikut Sekolah Perempuan Institut Mosintuwu. Saya tidak tamat SD. Tapi, di Sekolah Perempuan, saya mengalami banyak perubahan dan saya belajar banyak. Saya juga belajar banyak tentang toleransi antar umat beragama. Sekarang saya dipercaya menjadi ketua RT” sambil menahan air mata haru, Irna, anggota sekolah perempuan Mosintuwu dari Desa Pandayora, Pamona Puselembah menuturkan kesaksiannya. Gemuruh tepuk tangan dan teriakan penuh semangat menyambut sambutannya yang menggugah.
Bukan hanya Irna, pagi hari itu, tanggal 7 November 2015, sekitar 350 perempuan dari 40 desa di Kabupaten Poso dan Morowali nampak berbalut warna-warni busana daerah, berwajah ceria dan tersenyum bangga. Dengan langkah mantap, satu persatu berjalan ke panggung menerima sertifikat dan kalung tanda kelulusan di Wisuda Sekolah Perempuan Mosintuwu. Mereka adalah para ibu rumah tangga, nelayan, petani, penjual di pasar tradisional yang telah menggenapi satu tahun penuh program sekolah perempuan Mosintuwu angkatan ke tiga yaitu sejak bulan Agustus 2014 sampai bulan Oktober 2015. “Selamat, dan mari meneruskan perjuangan menciptakan perdamaian dan keadilan” kata Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan berulang-ulang sambil memberikan sertifikat. Lian didampingi oleh Husnia Mangun, perwakilan dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Kabupaten Poso yang mengalungkan tanda kelulusan.
Sejak tahun 2010, Sekolah Perempuan Mosintuwu merangkul perempuan desa dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, suku, agama dan usia. Ide Sekolah Perempuan awalnya digagas untuk pemulihan dan perdamaian pasca konflik bersenjata di Poso dengan perempuan sebagai agen perubahan. Sejalan waktu, ide bergulir menjawab tantangan terkini, yaitu peran aktif perempuan dalam pembangunan desa untuk menyambut UU tentang Desa no.6 tahun 2014 yang dipercaya menjadi alat perjuangan yang penting bagi pemajuan perempuan dan masyarakat pada umumnya.
Kurikulum Sekolah Perempuan Institut Mosintuwu disusun dalam sembilan komponen, yaitu: 1) Agama, Toleransi dan Perdamaian; 2) Gender; 3) Perempuan dan Budaya; 4) Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi; 5) Perempuan dan Politik; 6) Ketrampilan Berbicara dan Bernalar; 7) Hak Layanan Masyarakat; 8) Hak ekonomi, sosial dan budaya dan Hak Sipil Politik; dan 9) Ekonomi Solidaritas. Isi kurikulum telah menjalani perubahan sejak angkatan pertama Sekolah Perempuan karena mengikuti perubahan tantangan di lapangan.
Proses belajar di sekolah perempuan Mosintuwu, bukan saja mendapat pengetahuan baru tetapi menciptakan pengetahuan bersama dari pengalaman para perempuan.
“Awalnya, kami tidak ada apa-apanya sebelum ikut Sekolah Perempuan Mosintuwu, tapi sekarang dengan dukungan dan semangat dari Sekolah Perempuan, kami bisa hadir dan duduk bersama dengan para pejabat penting di sini, bahkan sampai difasilitasi ikut kegiatan di Jogja untuk belajar terus agar pulang kembali ke desa membangun” ujar Fatimah, salah seorang peserta dari Poso Pesisir dalam penyampaian kesan-pesan.
“Sekolah Perempuan Mosintuwu-lah yang membuat kami berani, membuat kami dapat mencapai cita-cita untuk membangun desa,” komentar Fidar, peserta lain dari Bada, wilayah Lore Selatan.
Arini, anggota sekolah perempuan dari Desa Wera, menyampaikan rasa syukurnya “Dulu saya tidak tahu membaca dan menulis. Setelah saya ikut sekolah perempuan, saya sekarang sudah tahu membaca dan menulis. Saya ingin terus belajar agar dapat berguna untuk masyarakat” Arnice dari desa Wawondula di Kabupaten Morowali, setelah mengikuti materi toleransi di Sekolah Perempuan mampu menganalisa akar dan dampak konflik, menyadari bahwa konflik yang dulu terjadi di Poso juga ternyata berdampak di Morowali.
Ibu Hadrah, seorang muslim dari Desa Kilo, tidak sanggup menahan tangis bahagianya ketika menceritakan dampak sekolah perempuan baginya “ Dulu saya selalu berontak kalau mau lewat di wilayahnya orang Kristen, apalagi mau singgah makan. Benci sekali. Ya Allah, syukur alhamdulillah saya bisa ikut sekolah perempuan Mosintuwu. Semua kecurigaan saya bukan cuma hilang tapi saya yakin saya harus jadi bagian yang kampanyekan hilangkan prasangka antar agama. Saya bahagia sekali”
Sekolah perempuan menjadi ruang alternatif bagi para perempuan di Kabupaten Poso untuk tidak lagi menjadi korban, sebaliknya mentransformasi diri menjadi penyintas, bahkan para agen perdamaian, dan pejuang keadilan. Hal ini senada catatan Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu dalam wisuda dengan tema ‘Perempuan maju, bersuara, bergerak untuk Perdamaian dan Keadilan’ , Katanya: “Wisuda, bukanlah mengakhiri seluruh proses belajar bersama di sekolah perempuan. Sebaliknya, wisuda merupakan langkah awal bagi seluruh lulusan untuk secara sungguh-sungguh, bertekun dan tulus bergandengan tangan untuk menjaga perdamaian yang telah diciptakan, dan memperjuangkan keadilan. Karena itu wisuda adalah simbol untuk proses belajar lainnya, yaitu menciptakan pengetahuan baru saat mempraktekkan pengetahuan sesungguhnya di desa”
Kabar baik muncul di wisuda Sekolah Perempuan Mosintuwu, khususnya peluang besar bagi perempuan untuk memimpin upaya perdamaian dan perjuangan keadilan. Anggota DPRD Kabupaten Poso menyetujui dua Ranperda dalam Program Legislasi Daerah Kabupaten Poso tahun 2016. Kedua Ranperda yang diusung oleh Institut Mosintuwu itu adalah Ranperda Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Desa, dan Ranperda Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan Pembangunan Desa. Kabar ini langsung disambut sorak gembira oleh seluruh anggota sekolah perempuan. Ya, langkah memimpin desa untuk tanah Poso yang damai dan adil adalah mimpi besar lulusan sekolah perempuan, tantangan utama setelah wisudah sekolah perempuan.
“Pada suatu malam, pintu rumah saya diketuk. Ketukan pintu yang membawa kabar baik untuk saya dan keluarga saya. Saya diajak ikut Sekolah Perempuan Institut Mosintuwu. Saya tidak tamat SD. Tapi, di Sekolah Perempuan, saya mengalami banyak perubahan dan saya belajar banyak. Saya juga belajar banyak tentang toleransi antar umat beragama. Sekarang saya dipercaya menjadi ketua RT” sambil menahan air mata haru, Irna, anggota sekolah perempuan Mosintuwu dari Desa Pandayora, Pamona Puselembah menuturkan kesaksiannya. Gemuruh tepuk tangan dan teriakan penuh semangat menyambut sambutannya yang menggugah.
Bukan hanya Irna, pagi hari itu, tanggal 7 November 2015, sekitar 350 perempuan dari 40 desa di Kabupaten Poso dan Morowali nampak berbalut warna-warni busana daerah, berwajah ceria dan tersenyum bangga. Dengan langkah mantap, satu persatu berjalan ke panggung menerima sertifikat dan kalung tanda kelulusan di Wisuda Sekolah Perempuan Mosintuwu. Mereka adalah para ibu rumah tangga, nelayan, petani, penjual di pasar tradisional yang telah menggenapi satu tahun penuh program sekolah perempuan Mosintuwu angkatan ke tiga yaitu sejak bulan Agustus 2014 sampai bulan Oktober 2015. “Selamat, dan mari meneruskan perjuangan menciptakan perdamaian dan keadilan” kata Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan berulang-ulang sambil memberikan sertifikat. Lian didampingi oleh Husnia Mangun, perwakilan dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Kabupaten Poso yang mengalungkan tanda kelulusan.
Sejak tahun 2010, Sekolah Perempuan Mosintuwu merangkul perempuan desa dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, suku, agama dan usia. Ide Sekolah Perempuan awalnya digagas untuk pemulihan dan perdamaian pasca konflik bersenjata di Poso dengan perempuan sebagai agen perubahan. Sejalan waktu, ide bergulir menjawab tantangan terkini, yaitu peran aktif perempuan dalam pembangunan desa untuk menyambut UU tentang Desa no.6 tahun 2014 yang dipercaya menjadi alat perjuangan yang penting bagi pemajuan perempuan dan masyarakat pada umumnya.
Kurikulum Sekolah Perempuan Institut Mosintuwu disusun dalam sembilan komponen, yaitu: 1) Agama, Toleransi dan Perdamaian; 2) Gender; 3) Perempuan dan Budaya; 4) Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi; 5) Perempuan dan Politik; 6) Ketrampilan Berbicara dan Bernalar; 7) Hak Layanan Masyarakat; 8) Hak ekonomi, sosial dan budaya dan Hak Sipil Politik; dan 9) Ekonomi Solidaritas. Isi kurikulum telah menjalani perubahan sejak angkatan pertama Sekolah Perempuan karena mengikuti perubahan tantangan di lapangan.
Proses belajar di sekolah perempuan Mosintuwu, bukan saja mendapat pengetahuan baru tetapi menciptakan pengetahuan bersama dari pengalaman para perempuan.
“Awalnya, kami tidak ada apa-apanya sebelum ikut Sekolah Perempuan Mosintuwu, tapi sekarang dengan dukungan dan semangat dari Sekolah Perempuan, kami bisa hadir dan duduk bersama dengan para pejabat penting di sini, bahkan sampai difasilitasi ikut kegiatan di Jogja untuk belajar terus agar pulang kembali ke desa membangun” ujar Fatimah, salah seorang peserta dari Poso Pesisir dalam penyampaian kesan-pesan.
“Sekolah Perempuan Mosintuwu-lah yang membuat kami berani, membuat kami dapat mencapai cita-cita untuk membangun desa,” komentar Fidar, peserta lain dari Bada, wilayah Lore Selatan.
Arini, anggota sekolah perempuan dari Desa Wera, menyampaikan rasa syukurnya “Dulu saya tidak tahu membaca dan menulis. Setelah saya ikut sekolah perempuan, saya sekarang sudah tahu membaca dan menulis. Saya ingin terus belajar agar dapat berguna untuk masyarakat” Arnice dari desa Wawondula di Kabupaten Morowali, setelah mengikuti materi toleransi di Sekolah Perempuan mampu menganalisa akar dan dampak konflik, menyadari bahwa konflik yang dulu terjadi di Poso juga ternyata berdampak di Morowali.
Ibu Hadrah, seorang muslim dari Desa Kilo, tidak sanggup menahan tangis bahagianya ketika menceritakan dampak sekolah perempuan baginya “ Dulu saya selalu berontak kalau mau lewat di wilayahnya orang Kristen, apalagi mau singgah makan. Benci sekali. Ya Allah, syukur alhamdulillah saya bisa ikut sekolah perempuan Mosintuwu. Semua kecurigaan saya bukan cuma hilang tapi saya yakin saya harus jadi bagian yang kampanyekan hilangkan prasangka antar agama. Saya bahagia sekali”
Sekolah perempuan menjadi ruang alternatif bagi para perempuan di Kabupaten Poso untuk tidak lagi menjadi korban, sebaliknya mentransformasi diri menjadi penyintas, bahkan para agen perdamaian, dan pejuang keadilan. Hal ini senada catatan Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu dalam wisuda dengan tema ‘Perempuan maju, bersuara, bergerak untuk Perdamaian dan Keadilan’ , Katanya: “Wisuda, bukanlah mengakhiri seluruh proses belajar bersama di sekolah perempuan. Sebaliknya, wisuda merupakan langkah awal bagi seluruh lulusan untuk secara sungguh-sungguh, bertekun dan tulus bergandengan tangan untuk menjaga perdamaian yang telah diciptakan, dan memperjuangkan keadilan. Karena itu wisuda adalah simbol untuk proses belajar lainnya, yaitu menciptakan pengetahuan baru saat mempraktekkan pengetahuan sesungguhnya di desa”
Kabar baik muncul di wisuda Sekolah Perempuan Mosintuwu, khususnya peluang besar bagi perempuan untuk memimpin upaya perdamaian dan perjuangan keadilan. Anggota DPRD Kabupaten Poso menyetujui dua Ranperda dalam Program Legislasi Daerah Kabupaten Poso tahun 2016. Kedua Ranperda yang diusung oleh Institut Mosintuwu itu adalah Ranperda Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Desa, dan Ranperda Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan Pembangunan Desa. Kabar ini langsung disambut sorak gembira oleh seluruh anggota sekolah perempuan. Ya, langkah memimpin desa untuk tanah Poso yang damai dan adil adalah mimpi besar lulusan sekolah perempuan, tantangan utama setelah wisudah sekolah perempuan.