Workshop Mendongeng menjadi salah satu daya tarik di Festival Dongeng Anak Poso yang diselenggarakan oleh Project Sophia Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Ayo Dongeng Indonesia. Tercatat 30 guru, pendamping anak dan remaja serta pecinta dongeng mengikuti workshop mendongeng yang menghadirkan Kak Bonchie dan Kak Yannie dari Ayo Dongeng Indonesia.
“Memberikan petuah berisi nilai-nilai moral dan etika pada jaman sekarang menjadi lebih sulit. Dibutuhkan kreatifitas untuk menarik perhatian anak apalagi remaja untuk mendengarkan lalu mencernanya menjadi sebuah nilai. Itu mengapa workshop mendongeng perlu” kata Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu yang menjadi moderator dalam workshop.
Dalam konteks paska konflik di Poso, kata Lian, mendongeng menjadi pilihan guru atau pendamping anak/remaja untuk bisa memperkenalkan nilai-nilai keberagaman dan perdamaian tanpa terasa membosankan. Kak Bonchie membagikan teknik mendongeng yang disertai lagu juga mendongeng dengan menggunakan alat seperti origami dan tali. Sementara itu, Kak Yannie berbagi teknik mengubah suara dalam mendongeng.
“Mendongeng bukan hal yang sulit, sebaliknya dongeng itu adalah cerita kita sehari-hari. Untuk mendongeng hanya butuh sebuah cerita yang bisa merupakan kejadian sehari-hari, suara yang intens, ekspresi dan gesture tubuh yang menarik” jelas Kak Yannie.
Dengan mendongeng, anak-anak diberikan kesempatan untuk berimajinasi dan meluaskan pikiran mereka tanpa dibebani dengan keharusan-keharusan yang biasanya muncul dalam nasehat. Mendongeng, kata Kak Bonchie mendekatkan kita pada anak-anak untuk memahami nilai dan etika tanpa merasa menggurui. Ini juga disampaikan oleh ibu Karen, salah seorang peserta “ Saya ingin belajar agar anak-anak menjadi lebih cerdas ketika mendengarkan dongeng juga tidak bosan”
Pada akhir workshop yang dilaksanakan pada hari pertama Festival Dongeng Anak, 25 November 2016 di Dodoha Mosintuwu, peserta diajak untuk mempraktekkan dongeng secara berkelompok dan individu. Peserta workshop menyepakati untuk mengembangkan komunitas dongeng di Poso agar kemampuan mendongeng menjadi lebih berkembang.
Dongeng Damai dalam Gambar
Sementara itu masih di hari pertama Festival Dongeng Anak Poso, 75 anak dari usia TK, SD hingga SMP dan SMU ikut meramaikan bercerita dalam gambar .
“ Gambar atau foto adalah alat yang dapat mengekspresikan perasaan, pikiran dan imajinasi tanpa kata. Dengan menggambar, anak-anak diajak melatih ketajaman perasaan dan kepekaan mereka terhadap kondisi sosial di Poso terutama terkait keberagaman. Ini juga cara agar anak-anak menggambarkan harapan mereka tentang tana Poso yang damai” kata Cici Mbaresi , koordinator Project Sophia, penyelenggara Festival Dongeng Anak Poso.
Opi, 9 tahun, bercerita keinginannya menggambar dua sahabat dari berbeda agama saling bergandengan tangan. Gambar ini mengekspresikan keinginan untuk semua anak saling berteman tanpa membedakan agama dan suku.
Selama 3 jam waktu menggambar, gambar yang dihasilkan oleh anak-anak yang berasal dari berbagai sekolah ini luar biasa. Meskipun sebagian besar anak SD menggambar pemandangan alam sebagai latar belakang cerita, nampak kerukunan antar agama dan suku digambarkan melalui orang-orang bekerjasama atau bergandengan tangan. Simbol keagamaan dan suku yang berbeda hidup berdampingan menjadi gambaran situasi yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari atau juga harapan kehidupan di Poso.
“Hasil bercerita dalam gambar ini akan menjadi bahan kampanye harapan anak Poso melalui pameran hingga akhir tahun nantinya. Pameran anak damai Poso ini menjadi doa anak di tahun ini untuk disebarkan menjadi milik orang banyak “ tambah Cici.