Ketiadaan akses informasi, maupun akses ekonomi dan sosial politik terhadap masyarakat miskin merupakan salah satu penyebab semakin terpinggirkan, dan terpuruk. Sementara itu mereka yang kaya, memiliki akses informasi, sosial politik yang luas semakin kaya dan melebarkan kekuasaannya. Korupsi, kolusi dan nepotisme juga menjadi bagian yang meminggirkan rakyat miskin, meskipun mereka adalah pemilik negeri ini.
Dalam konteks masyarakat yang patriakhi, perempuan adalah lapisan terbawah dalam seluruh keterpurukkan tersebut. Dalam konteks konflik, perempuan ditempatkan sebagai korban saja dan tidak melihatnya sebagai aktor dan agen perdamaian. Akibatnya, perspektif pembangunan pasca konflik juga adalah milik laki-laki.
Sebagai milik laki-laki, suara perempuan tidak hanya tidak didengar tapi juga terpinggirkan dan terbungkam. Pembangunan pasca konflik yang demikian menyebabkan bangunan masyarakat menjadi timpang dan kekerasan tetap dipelihara.
Padahal, dalam pengalaman selama konflik maupun pembangunan pasca konflik di Poso, menunjukkan bahwa inisiatif-inisiatif perdamaian yang dimunculkan oleh perempuan lebih bersifat massif dan memiliki dampak yang signifikan bagi rekonsiliasi dalam masyarakat. Inisiatif-inisiatif ini muncul dalam kehidupan keseharian. Pengalaman keseharian masyarakat korban menjadi konteks yang digumuli lalu diperbaiki oleh perempuan dengan mengacu pada kehidupan sehari-hari. Misalnya di lingkungan pasar sebagai sesama pedagang, atau di lingkungan arisan ibu-ibu. Hal yang sehari-hari menjadi wilayah untuk membangun perdamaian.
Itupula sebabnya mengapa gerakan perdamaian oleh perempuan seringkali tidak diekspos oleh media massa dan karenanya tidak dianggap sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembangunan perdamaian. Media massa memilih mengekspos kegiatan-kegiatan pertemuan besar yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, yang seluruhnya didominasi laki-laki, dengan jabatan tangan dan pembicaraan bombastis tentang rancang bangun perdamaian. Pengalaman pembangunan perdamaian menunjukkan bahwa pertemuan-pertemuan yang mengandalkan representasi agama, suku dan identitas lainnya pada akhirnya hanya berakhir di pemberitaan dan menjadi milik orang yang memiliki akses untuk membaca.
Sementara itu kenyataan bahwa investasi di wilayah pasca konflik ini menyerbu dan secara masif menggusur tanah-tanah para petani, menyingkirkan para perempuan, pelan dan pasti melenyapkan kehidupan masyarakat miskin. Maka, upaya perjuangan merebut hak bagi rakyat masih harus dilanjutkan. Terutama para perempuan.
Perempuan Poso dalam Sekolah Perempuan menggambarkan ragam aktivitas dan kreativitas masyarakat akar rumput memperoleh akses informasi, akses sosial politik, terutama memperjuangkan hak ekonomi sosial budaya dan hak sipil politik mereka dalam konteks pasca konflik.