Project Sophia:Mencari Sahabat,Meraih Mimpi

0
1556

Hari Minggu itu, ruangan papan berukuran 6 x 10 meter di pusat pemukiman pengungsi Palapa, tiba-tiba riuh dengan ratusan anak-anak, dan beberapa orang tua.Begitu mobil bertuliskan “Perpustakaan Sophia,Ayo Baca,Raih Mimpi-mimpimu” masuk lapangan yang agak berumput liar, anak-anak dari tiga pemukiman pengungsi itu berlarian mendekati mobil, sebagian langsung lari memasuki ruangan berebutan duduk di terpal berwarna biru dan orange. Tergopoh-gopoh beberapa orang tua dari mobil mengangkut kardus-kardus bertuliskan “Kotak Ajaib”. Nampak beberapa penjelasan mengenai isi di masing-masing box kardus. Anak-anak sudah tidak sabar melongok isi box dan mulai mendekat sementara para pembawa box masih kelihatan kebingungan mau meletakkan isi box dimana, hingga menemukan meja tua bekas permainan pingpong setinggi ½ meter dan deretan bangku panjang yang semula diduduki anak-anak.
Dua orang tua yang nampaknya pembina dengan sabar meminta agar anak-anak bersabar hingga isi box yang ternyata adalah ratusan buku-buku itu mulai diatur diatas meja. Anak-anak diajak untuk bernyanyi dan melakukan satu permainan berkelompok. Seseorang kemudian berkomentar “Anak-anak disini seperti kehausan dengan buku-buku dan hiburan, kita jadwalkan jam 2 siang, kata orang tua, mereka sudah datang dan menunggu dari jam 11”

Hari itu adalah perjalanan pertama Perpustakaan Sophia. Pemukiman pengungsi di tiga wilayah Pamona yang dikenal dengan sebutan Palapa, Posunga dan Kajuawu menjadi tempat tujuan pertama. Warga yang memilih menetap di wilayah ini berasal dari desa-desa di wilayah Poso Pesisir, Poso Kota dan Lage yang mengungsi pada saat konflik Poso berlangsung. Keterbatasan ekonomi menjadikan wilayah pemukiman pengungsi ini tidak memiliki fasilitas bagi anak-anak dan remaja untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Mereka bahkan terjebak pada aktivitas yang merugikan komunitas, misalnya perkelahian antar pemukiman.Tidak heran, begitu diumumkan bahwa akan ada kunjungan Perpustakaan Sophia, bukan hanya anak-anak di sekitar pemukiman Palapa yang berdatangan tapi juga dari wilayah lainnya. Bahkan beberapa anak remaja dan pemuda serta orang tua datang bergabung. Empat orang balita turut datang bersama orang tuanya. Terlihat juga dua orang nenek nampak antusias melihat kotak-kotak kardus.

Saat itu sudah pukul 14.05, ketika buku-buku, kertas origami, buku gambar, pensil warna sudah selesai disusun, Lian Gogali, dari Institut Mosintuwu menyampaikan selamat datang di harta karun Perpustakaan Sophia dan mempersilahkan anak-anak untuk memilih aktivitasnya: membaca, membuat origami, atau menggambar. Tidak menunggu lama, seperti sedang berburu harta karun sebenarnya, anak-anak langsung menyerbu lokasi yang sudah disiapkan.

Beberapa langsung menemukan kesukaannya, sementara yang lainnya masih menelusuri buku-buku yang tersedia. Semua mencari tempat duduk yang nyaman untuk dipakai duduk membaca. Terpal menjadi kumpulan tempat duduk yang dipilih banyak anak-anak, sementara beberapa memilih di sudut ruangan bahkan di luar ruangan, jauh dari suara riuh. Semua anak memiliki satu buku untuk dibacanya, namun sesekali memanggil temannya dengan antusias untuk melihat apa yang sedang dibacanya, seperti sedang menemukan pengetahuan atau informasi yang baru. Beberapa kali sekelompok anak tertawa bersama saat mengomentari penemuan mereka. Sementara itu yang lain nampak serius membaca sendiri, tidak peduli dengan keramaian di sekitarnya. Seorang anak balita bernama Talita nampak serius membolak-balik buku, melihat gambar, kadang keningnya berkerut seakan memahami bukunya dan tidak menghiraukan ibunya yang berpamitan pulang rumah sebentar untuk mengajak kakaknya yang lain datang membaca.

Baca Juga :  Suara Anak dan Wajah Keberagaman Indonesia di GNRC Indonesia

Kelompok lain di tengah ruangan nampak sedang mendemonstrasikan cara membuat origami. Buyung, Nanda dan lima anak lainnya dari Kelurahan Pamona yang ikut dalam rombongan mengajak anak-anak yang berminat untuk membuat origami bergabung bersama dengan mereka. Beberapa menit kemudian, di ujung lain ruangan, Chery anak Sanggar Mosintuwu yang kebetulan bertempat tinggal di Palapa, nampak mengajari rombongan ibu-ibu membuat origami bunga. Dalam 30 menit setelah menguasai origami bentuk bunga, ibu-ibu lain mulai meminta tambahan kertas origami dan mulai menyebar tempat duduk.

Kelompok puzzle tidak kalah seru di bagian lain ruangan. Bukan hanya anak-anak yang terlibat dalam menyusun puzzle, tapi juga orang tua nampak penasaran dan bergabung.Mereka yang memilih aktivitas menggambar dan mewarnai sangat bersemangat menggambar buku-buku komik bergambar hitam putih, setelah semua buku mewarnai habis.

Selama kurang lebih dua jam, anak-anak dan orang tua tetap berdatangan ke ruangan papan yang sebagian dindingnya sudah berlubang dan rapuh. Aktivitas membaca,menggambar dan bermain origami itu tidak terputus, tidak berhenti. Meskipun berpindah-pindah tempat duduk, semua sangat menikmati bacaannya. Beberapa anak nampak menghilang sejenak dari ruangan lalu beberapa menit kemudian muncul kembali di ruangan membawa lebih banyak kawannya. Ibu-ibu mulai mencatat resep masakan dan mencari-cari buku-buku kesehatan. Mereka mendatangi pengelola perpustakaan keliling menyampaikan saran agar ada buku bacaan soal kesehatan dan resep masakan tradisional yang bahannya bisa diperoleh di sekitar mereka.

Tidak ada yang lebih bahagia pada saat itu selain anak-anak dan semua pengunjung Perpustakaan Sophia ketika akhir perjalanan pertama Perpustakaan Sophia ditutup dengan pemutaran film Denias. Gelak tawa dan komentar-komentar  dalam bahasa daerah menyertai setiap adegan perjuangan Denias yang berasal dari pedalaman Papua memperoleh kesempatan untuk belajar. Mungkin mereka sedang berpikir tentang diri sendiri, tentang mahalnya pengetahuan bagi mereka yang miskin.

“Bisa datang tiap hari, kak?Kapan datang lagi kak?”, atau “Bisa pinjam bukunya bawa di rumah kak?” atau “Boleh ajak teman satu sekolah ikut datang kalau datang lagi” mewakili perasaan gembira anak-anak ini saat dikunjungi oleh Perpustakaan Sophia.

Perjalanan pertama Perpustakaan Sophia disambut luar biasa oleh  sahabat-sahabat kecil, besar,tua dan muda di pemukiman pengungsian. Jadi jawabnya “Kami akan datang lagi, menemui sahabat-sahabat kami”

Catatan Perempuan Poso: Liputan ini dapat juga dibaca dalam blog Project Sophia http://sophialibrary.blogspot.com/p/journey-of-project-sophia.html, dalam dua bahasa.Hari Minggu itu, ruangan papan berukuran 6 x 10 meter di pusat pemukiman pengungsi Palapa, tiba-tiba riuh dengan ratusan anak-anak, dan beberapa orang tua.Begitu mobil bertuliskan “Perpustakaan Sophia,Ayo Baca,Raih Mimpi-mimpimu” masuk lapangan yang agak berumput liar, anak-anak dari tiga pemukiman pengungsi itu berlarian mendekati mobil, sebagian langsung lari memasuki ruangan berebutan duduk di terpal berwarna biru dan orange. Tergopoh-gopoh beberapa orang tua dari mobil mengangkut kardus-kardus bertuliskan “Kotak Ajaib”. Nampak beberapa penjelasan mengenai isi di masing-masing box kardus. Anak-anak sudah tidak sabar melongok isi box dan mulai mendekat sementara para pembawa box masih kelihatan kebingungan mau meletakkan isi box dimana, hingga menemukan meja tua bekas permainan pingpong setinggi ½ meter dan deretan bangku panjang yang semula diduduki anak-anak.
Dua orang tua yang nampaknya pembina dengan sabar meminta agar anak-anak bersabar hingga isi box yang ternyata adalah ratusan buku-buku itu mulai diatur diatas meja. Anak-anak diajak untuk bernyanyi dan melakukan satu permainan berkelompok. Seseorang kemudian berkomentar “Anak-anak disini seperti kehausan dengan buku-buku dan hiburan, kita jadwalkan jam 2 siang, kata orang tua, mereka sudah datang dan menunggu dari jam 11”

Baca Juga :  Serial Luka Dendam

Hari itu adalah perjalanan pertama Perpustakaan Sophia. Pemukiman pengungsi di tiga wilayah Pamona yang dikenal dengan sebutan Palapa, Posunga dan Kajuawu menjadi tempat tujuan pertama. Warga yang memilih menetap di wilayah ini berasal dari desa-desa di wilayah Poso Pesisir, Poso Kota dan Lage yang mengungsi pada saat konflik Poso berlangsung. Keterbatasan ekonomi menjadikan wilayah pemukiman pengungsi ini tidak memiliki fasilitas bagi anak-anak dan remaja untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Mereka bahkan terjebak pada aktivitas yang merugikan komunitas, misalnya perkelahian antar pemukiman.Tidak heran, begitu diumumkan bahwa akan ada kunjungan Perpustakaan Sophia, bukan hanya anak-anak di sekitar pemukiman Palapa yang berdatangan tapi juga dari wilayah lainnya. Bahkan beberapa anak remaja dan pemuda serta orang tua datang bergabung. Empat orang balita turut datang bersama orang tuanya. Terlihat juga dua orang nenek nampak antusias melihat kotak-kotak kardus.

Saat itu sudah pukul 14.05, ketika buku-buku, kertas origami, buku gambar, pensil warna sudah selesai disusun, Lian Gogali, dari Institut Mosintuwu menyampaikan selamat datang di harta karun Perpustakaan Sophia dan mempersilahkan anak-anak untuk memilih aktivitasnya: membaca, membuat origami, atau menggambar. Tidak menunggu lama, seperti sedang berburu harta karun sebenarnya, anak-anak langsung menyerbu lokasi yang sudah disiapkan.

Beberapa langsung menemukan kesukaannya, sementara yang lainnya masih menelusuri buku-buku yang tersedia. Semua mencari tempat duduk yang nyaman untuk dipakai duduk membaca. Terpal menjadi kumpulan tempat duduk yang dipilih banyak anak-anak, sementara beberapa memilih di sudut ruangan bahkan di luar ruangan, jauh dari suara riuh. Semua anak memiliki satu buku untuk dibacanya, namun sesekali memanggil temannya dengan antusias untuk melihat apa yang sedang dibacanya, seperti sedang menemukan pengetahuan atau informasi yang baru. Beberapa kali sekelompok anak tertawa bersama saat mengomentari penemuan mereka. Sementara itu yang lain nampak serius membaca sendiri, tidak peduli dengan keramaian di sekitarnya. Seorang anak balita bernama Talita nampak serius membolak-balik buku, melihat gambar, kadang keningnya berkerut seakan memahami bukunya dan tidak menghiraukan ibunya yang berpamitan pulang rumah sebentar untuk mengajak kakaknya yang lain datang membaca.

Baca Juga :  Ketika Anak Muda Merawat dan Memperpanjang Ingatan tentang Desa

Kelompok lain di tengah ruangan nampak sedang mendemonstrasikan cara membuat origami. Buyung, Nanda dan lima anak lainnya dari Kelurahan Pamona yang ikut dalam rombongan mengajak anak-anak yang berminat untuk membuat origami bergabung bersama dengan mereka. Beberapa menit kemudian, di ujung lain ruangan, Chery anak Sanggar Mosintuwu yang kebetulan bertempat tinggal di Palapa, nampak mengajari rombongan ibu-ibu membuat origami bunga. Dalam 30 menit setelah menguasai origami bentuk bunga, ibu-ibu lain mulai meminta tambahan kertas origami dan mulai menyebar tempat duduk.

Kelompok puzzle tidak kalah seru di bagian lain ruangan. Bukan hanya anak-anak yang terlibat dalam menyusun puzzle, tapi juga orang tua nampak penasaran dan bergabung.Mereka yang memilih aktivitas menggambar dan mewarnai sangat bersemangat menggambar buku-buku komik bergambar hitam putih, setelah semua buku mewarnai habis.

Selama kurang lebih dua jam, anak-anak dan orang tua tetap berdatangan ke ruangan papan yang sebagian dindingnya sudah berlubang dan rapuh. Aktivitas membaca,menggambar dan bermain origami itu tidak terputus, tidak berhenti. Meskipun berpindah-pindah tempat duduk, semua sangat menikmati bacaannya. Beberapa anak nampak menghilang sejenak dari ruangan lalu beberapa menit kemudian muncul kembali di ruangan membawa lebih banyak kawannya. Ibu-ibu mulai mencatat resep masakan dan mencari-cari buku-buku kesehatan. Mereka mendatangi pengelola perpustakaan keliling menyampaikan saran agar ada buku bacaan soal kesehatan dan resep masakan tradisional yang bahannya bisa diperoleh di sekitar mereka.

Tidak ada yang lebih bahagia pada saat itu selain anak-anak dan semua pengunjung Perpustakaan Sophia ketika akhir perjalanan pertama Perpustakaan Sophia ditutup dengan pemutaran film Denias. Gelak tawa dan komentar-komentar  dalam bahasa daerah menyertai setiap adegan perjuangan Denias yang berasal dari pedalaman Papua memperoleh kesempatan untuk belajar. Mungkin mereka sedang berpikir tentang diri sendiri, tentang mahalnya pengetahuan bagi mereka yang miskin.

“Bisa datang tiap hari, kak?Kapan datang lagi kak?”, atau “Bisa pinjam bukunya bawa di rumah kak?” atau “Boleh ajak teman satu sekolah ikut datang kalau datang lagi” mewakili perasaan gembira anak-anak ini saat dikunjungi oleh Perpustakaan Sophia.

Perjalanan pertama Perpustakaan Sophia disambut luar biasa oleh  sahabat-sahabat kecil, besar,tua dan muda di pemukiman pengungsian. Jadi jawabnya “Kami akan datang lagi, menemui sahabat-sahabat kami”

Catatan Perempuan Poso: Liputan ini dapat juga dibaca dalam blog Project Sophia http://sophialibrary.blogspot.com/p/journey-of-project-sophia.html, dalam dua bahasa.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda