Pemuda dan ayahnya sangat terkejut, ketika nenek, ibunya sendiri menunjuk tegas ke arahnya, membentak: diam kataku!! “Darah dan daging! Basono cucuku. Tetapi…tetapi moralnya yang rusak perbuatannya yang terlalu keji adalah lawanku- lawan kebenaran. Dan kamu, Taucepa! Sebagai anakku kamu harus tegar! Siapkan sidang mahkamah adat besok…ya besok! Aku mau jatuhkan hukuman kepada si penjahat keji itu!!”..
Penonton spontan bersorak menyambut keputusan si nenek. Seorang penonton bahkan berteriak : woo..mantap, nenek!!…
Adegan di atas merupakan bagian puncak adegan pertunjukan rakyat yang dibawakan oleh anak-anak sanggar Lintuyadi-Mosintuwu. Decak kagum dan tepuk tangan mengiringi penampilan anak-anak sanggar anak Lintuyadi di Festival Budaya Daerah. Membawakan seni pertunjukan rakyat dengan judul: WERINDA, anak-anak sanggar memukau penonton. Tampil di urutan ke lima, dari 18 Kecamatan di Kabupaten Poso, penampilan sanggar Lintuyadi dianggap berbeda karena terdiri dari anak-anak muda berusia 12 – 16 tahun sementara peserta lain terdiri dari para orang tua dan pemuda. Meskipun di panggung terlihat masih sangat muda namun tetapi mampu memainkan dengan sangat baik peran-peran menantang seperti menjadi nenek, orang tua, pembantu,pemuda dan pemudi termasuk membawa topik yang berat yakni isu keadilan. Selain itu Sanggar Lintuyadi mengemas pertunjukan rakyat dalam tarian rakyat, teater dan pertunjukan musik dalam 25 menit.
Cerita rakyat dimulai oleh pengantar menarik oleh narator dengan pertanyaan menantang: apakah keadilan menjadi milik semua masyarakat termasuk masyarakat dari kelas bawah? Kisah ini berawal dari seorang pemuda kaya bernama Basono di desa yang mencintai seorang perempuan bernama Werinda yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya. Namun cinta Basono ditolak Werinda karena telah mencintai pemuda lain juga dari kelas bawah bernama Tadoa. Basono pun merencanakan pembunuhan Tadoa dibantu oleh teman-temannya. Setelah berhasil membunuh Tadoa, Basono mendesak ayahnya yang adalah pimpinan di desa untuk menggunakan kekuasaannya memaksa Werinda agar mau menikah dengannya. Desakan ayah Basono, Tancepa, dibalas Werinda dengan pernyataan mengenai pembunuhan Tadoa oleh Basono. Meskipun takut, Werinda memberanikan diri menanggung resiko menceritakan kejadian sebenarnya yang kemudian didengar langsung oleh nenek Basono, seorang pemimpin perempuan terkemuka di desa. Kisah memuncak ketika Nenek Basono menuntut pertanggungjawaban Basono.
Bentakan Nenek Basono, menghentak panggung. Hesti, siswa SMP kelas 2 yang berperan sebagai nenek membuat semua penonton berdecak kagum, ketika dengan tegas menegur Basono, cucunya: diam!!!ayo teruskan Werinda. Setelah mendengar kisah dari Werinda tentang pembunuhan Tadoa, Nenek memutuskan untuk membuat pengadilan rakyat terhadap Basono. Arjuna, satu-satunya pemeran mahasiswa yang berperan sebagai ayah Basono menyela kuatir dan berkata: tapi nenek, Basono cucumu. Hesti langsung menyambar pernyataan dengan kalimat tegas: “Darah dan daging! Basono cucuku. Tetapi…tetapi moralnya yang rusak perbuatannya yang terlalu keji adalah lawanku- lawan kebenaran. Dan kamu, Taucepa! Sebagai anakku kamu harus tegar! Siapkan sidang mahkamah adat besok…ya besok! Aku mau jatuhkan hukuman kepada si penjahat keji itu!!”..
Percakapan Nenek pimpinan adat,ayah Basono dan Basono menjadi puncak adegan pertunjukan rakyat yang ditutup dengan syair lagu tentang keadilan dan kemanusiaan bagi seluruh masyarakat apapun posisi politik dan sosial ekonominya. Penonton tidak henti-hentinya bertepuk tangan ketika sanggar Lintuyadi mengakhiri pertunjukannya. Banyak diantara penonton yang tidak percaya bahwa para pemeran adalah anak-anak Sanggar yang berumur 12-16 tahun. Dalam usia mereka yang muda belia, pesan tersebut tersampaikan dengan jelas pada penonton.
Latihan 4 bulan di Rumah Mosintuwu, tidak sia-sia. Kekaguman penonton tersambut. Sanggar Lintuyadi didaulat sebagai penampil terbaik dari seni pertunjukan rakyat se-Kabupaten Poso. Piala yang diterima menjadi modal menambah kepercayaan diri anak-anak di Sanggar Lintuyadi dan meningkatkan kemauan mereka mengembangkan diri sekaligus meluaskan perkawanan bukan hanya antara anak-anak dari warga eks pengungsi dan warga lokal namun juga dari komunitas yang berbeda latarbelakang agama dan suku.