“ Air itu sangat berharga melebihi intan permata bagi kami perempuan. Tidak ada air, tidak ada kehidupan “ Diana, warga Bukit Bambu memberikan pendapatnya di Radio Mosintuwu bersamaan dengan hari air se-dunia 22 Maret 2018. “Kita harusnya bersyukur tinggal di wilayah air di Kabupaten Poso, tapi ini, banyak air di sekitar tidak ada air di rumah” keluhnya.
Danau, sungai dan laut , ketiga jenis air ini ada di Kabupaten Poso. Sayangnya kekayaan air tidak menjadi jaminan tersedianya akses air bersih yang cukup bagi masyarakat. Kelurahan Bukit Bambu di wilayah Poso Kota dan Kelurahan Pamona yang berada di tepi Danau Poso adalah salah satu cerita miris akses masyarakat pada air. Seperti keluhan Diana, perempuan adalah pihak yang paling mendapatkan kesulitan karena akses air yang minim ini.
Sejak tahun 1950an masyarakat kelurahan Bukit Bambu, kecamatan Poso Kota Selatan merasakan kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Bukan tidak ada usaha untuk mengalirkan air ke daerah di sebelah timur pusat kota Poso ini. Di Kelurahan Bukit Bambu terdapat 2 sumur yang menjadi sumber air masyarakat yang jaraknya sekitar 100 meter dari pemukiman, namun hanya cukup untuk kebutuhan minum saja. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, masyarakat Bukit Bambu harus pergi ke Dusun Pantende di kelurahan Sayo yang jaraknya lumayan jauh.
Hingga saat ini untuk bisa mendapatkan air, Diana dan banyak perempuan lainnya di kelurahan ini harus bangun lebih pagi sejak pukul 5 pagi mengantri di sebuah sumur untuk bisa mendapatkan air.
Hal yang sama dan lebih aneh terjadi di kelurahan Pamona. Kelurahan yang terletak tepat di tepi Danau Poso ini sangat sering tidak mendapatkan akses air. Lia, misalnya seringkali harus mengandalkan air hujan untuk mandi bahkan untuk memasak. Jika musim kemarau sebagian besar masyarakat harus menimba air di Danau Poso dan terpaksa membeli air galon untuk memasak. Meskipun membayar biaya Air PAM, tidak menjadi jaminan ketersediaan air. Selain kesulitan akses air untuk kebutuhan sehari-hari, akses air untuk persawahan di wilayah sekitar Danau Poso sangat sulit sehingga menyebabkan beberapa petani harus berebutan air.
“Dalam sebulan sangat beruntung kalau air mengalir 3 hari” ujar Lia.
Apapun kondisinya , pada saat keluarga kekurangan air, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya . Perempuan yang sudah mengalami beban ganda, selalu memastikan agar makanan tersedia sehingga membutuhkan air , menunggu air hingga tengah malam agar bisa dipakai keesokan harinya. Lalu keesokan harinya harus memastikan agar air bisa digunakan untuk keperluan lainnya.
“Saya harus bangun pagi jam 4 subuh setelah terjaga sampai jam 1 subuh supaya bisa dapat air di sumur. Harus antri” cerita Diana, warga Bukit Bambu. “ Kalau tidak cepat antar jergen di dalam antrian air bisa keduluan yang lain, kalau tidak dijaga jergen penampung airnya, nanti malah bisa ditukar orang lain” sambungnya.
Bukan hanya kewajiban menyediakan air, perempuan memiliki kondisi khusus yang menempatkan air sebagai hal paling penting. Dalam kondisi dimana perempuan mengalami haid, kebutuhan air menjadi wajib untuk tidak menimbulkan penyakit baru, demikian pula saat menyusui bayi.
“Sewaktu baru melahirkan, kami harus membeli 5 air galon setiap hari supaya bisa beraktivitas karena saya harus menyusui dan tidak bisa pergi timba air di sungai” cerita Mama Santi di Bukit Bambu.
Meskipun mengalami kesulitan akses air bertahun-tahun , tidak ada upaya yang serius mengagendakan program akses air dalam perencanaan pemerintah desa atau kabupaten Poso . RPJMDes dan APBDes yang dirancang di desa tidak memperhatikan isu air sebagai hak asasi warga. “Padalah tidaklah berguna kalau kita punya gedung bagus, apapun gedungnya, jika tidak ada air mengalir setiap hari” cetus Martince, koordinator program Usaha Desa Institut Mosintuwu yang juga warga Desa Bambu ini.
Karena itu, saat ini Institut Mosintuwu mendorong agar Pemerintah Desa dan masyarakat mengagendakan upaya serius pemenuhan akses air bagi masyarakat dalam RPJMDes . Mendorong kebijakan pemerintah desa untuk membuat kebijakan dan memikirkan secara serius akses pada air menjadi prioritas kelompok perempuan yang saat ini diorganisir oleh Institut Mosintuwu.